Jika – Maka

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap akhir semester dosen dan mahasiswa disibukkan dengan ujian dan pengisian nilai pada sistem yang sudah tersedia. Saat sekarang sistem yang ada...

Jika – Maka

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap akhir semester dosen dan mahasiswa disibukkan dengan ujian dan pengisian nilai pada sistem yang sudah tersedia. Saat sekarang sistem yang ada sudah dapat memberikan pelayanan yang baik dan mudah kepada mahasiswa dan dosen, sehingga mahasiswa tidak harus setiap hari mendatangi papan pengumuman, guna melihat hasil ujian yang ditempel oleh dosen.

Demikian juga dosen tidak harus mejanya dikerubuti mahasiswa yang ingin melihat nilai. Semua sudah berbasis sistem tidak lagi merepotkan semua pihak termasuk karyawan bagian administrasi akademik. Semua informasi dapat diakses dimana saja kapan saja, asal ada jaringan internet. Hal seperti inilah yang empat puluh lima tahun lalu masih menjadi mimpinya Pak Ansori Djausal dan kawan-kawan.

Peristiwa ini mengenang balik masa puluhan tahun yang lalu saat penulis menjadi mahasiswa. Saat seperti inilah waktunya dosen ngerjain mahasiswa untuk berbuat apa saja dengan iming-iming atau juga ancaman dengan memberlakukan hukum “jika – maka”. Bahkan pada waktu itu ada dosen yang senyumnya hanya di akhir, pada  bulan Desember, ketika melihat mahasiswa tidak lulus mata kuliahnya cukup banyak. Hal itu berbanding terbalik dengan sekarang: jika banyak mahasiswa tidak lulus berarti kemampuan mengajar dosen dipertanyakan. Dosen seperti ini harus introspeksi diri dan wajib sekolah lagi.

Dengan kata lain, kemampuan metodologi pengajaran bagi dosen sangat penting guna melakukan transfer kemampuan dan keahlian kepada mahasiswanya.

Persoalan “jika – maka”  sekarang tampaknya menjadi sangat bihavioristik dalam kehidupan kita sehari-hari. Hukum sebab akibat ini yang dalam konsep keilmuan lebih dikenal dengan cara berpikir deduktif-hipotetis-verifikatif  atau lebih dikenal dengan lidah kita sebagao deduksi, hipotesis, dan verifikasi.

Pola berpikir yang satu ini awalnya adalah untuk membangun paradigma dalam melihat persoalan, apa pun persoalan itu. Kemudian memunculkan dugaan sementara atau lebih dikenal dengan hipotesis, dilanjutkan dengan mencari rujukan teori dan penelitian atau temuan terdahulu; baru kemudian menentukan metode untuk mengkajinya. Terakhir, menguji dugaan sementara tadi yang kemudian untuk disimpulkan. Bisa jadi, dugaan tadi menjadi pembenaran atau tesis baru, tetapi bisa jadi tidak terbukti. Itulah pola linieritas yang dibangun. Namun,  perkembangan lanjut tidak sesederhana itu dalam kegiatan kehidupan sosial. Justru acap terjadi penyimpangan berpikir yang menjadikan pembenaran cara berpikir. Bentuknya sangat beragam. Namun jika dihimpun paling tidak ada sejumlah kesesatan berpikir berikut ini:

Kesesatan pertama, kesalahan dalam menemukenali persoalan. Persoalan menjadi tidak bersih lagi karena didasari atas kemauan dan keinginan. Jika tidak segaris dengan kemauan dan tidak seiring dengan keinginan pribadi, maka itu tidak benar, dan diposisikan sebagai musuh. Ini bisa kita lihat saat pemilihan apapun, ancaman halus model ini digunakan dengan kalimat paling tidak “Jika kalian tidak sejalan dengan kami, berarti kita bermusuhan”. Bisa dibayangkan bagaimana demokrasi yang kita agung-agungkan itu mau bersemi, manakala kita membangun dengan “demokrasi ancaman”. Akibatnya, narasi-narasi menyesatkan dibangun sedemikian rupa yang intinya jika di luar kelompok maka itu musuh kita. Lebih parah lagi: Yang berpikir beda, itu musuh bersama.

Kesesatan kedua, kesalahan dalam memilih metode. Berbicara metode adalah berbicara “cara” untuk memecahkan persoalan. Karena ketidakmampuan menemukenali persoalan, akibatnya cara yang dipilih pun malah menyesatkan. Akibatnya lebih lanjut:  metode otoriter atau “pembunuh berdarah dingin” lebih menjadi pilihan untuk melibas mereka yang dianggap tidak sejalan. Paling tidak membangun halang rintang sosial agar yang mereka anggap berseberangan atau mereka yang dipersepsikan berada di luar kelompok, tidak dapat menikmati “kue” yang mereka bagi. Kata kue di sini lebih mewakili pada hal hal yang abstrak maupun konkret.

Kesesatan ketiga, kesalahan dalam menyimpulkan. Hal ini terjadi karena berangkat dari rasa tidak suka dari awal, atau paling tidak “menarik kesimpulan dahulu baru berpikir”.  Model yang begini menjadikan penyesalan di ujung, namun biasanya ditutupi dengan membangun narasi sublimasi guna pembenaran diri.

Cara berpikir “Jika – maka” yang semula merupakan cikal bakal rekonstruksi berpikir modern yang digadang-gadang oleh Thomas Kuhn melalui Paradigma Berpikir-nya, ternyata pada fase postmodern terjadi penyimpangan dalam perjalannya. Mengerikan lagi akibat dari kesesatan ini menimbulkan korban sosial yang tidak sedikit.

Kesesatan berpikir seperti di atas dapat melanda siapapun, tidak terkecuali mereka yang menyandang gelar guru besar, penguasa lembaga apa pun, golongan apa pun, pimpinan partai sekalipun, apalagi jabatan duniawi yang melekat, bahkan manusia biasapun tidak lepas dari peluang untuk terlanda kesesatan berpikir ini. Tinggal mampukah kita segera menyadari bahwa itu merupakan kekurangan kita sebagai manusia, karena justru pada kekurangannyalah manusia itu menunjukkan kesempurnaannya sebagai manusia. Satu-satunya jalan adalah cepat kembali ke jalan Tuhan. Hanya jalan itulah satu satunya yang membebaskan manusia dari segala beban dunia.

Jauh hari almarhum Dai Sejuta Umat pernah mengatakan dengan tamsil ”Jika Adam membuat satu kesalahan terusir dari surga, bagaimana dengan kita yang penuh berlumuran dosa ingin mendaftar masuk surga? Hanya rahmat dan syafaatlah yang mampu menolong kita”.  Rahmat datang dari Tuhan yang Maha Pemberi, sedangkan syafaat datangnya dari Rasul-Nya.

Ternyata, ”jika- maka” dapat saja menyesatkan. Hanya rahmat-Nya yang mampu memberikan petunjuk. Masalahnya, sebagai manusia mampukah kita menemukan jalan untuk mendapatkan rahmat dari Tuhan guna meluruskan jalan menuju keabadian?

Masihkah kita menganggap yang berbeda itu adalah musuh kita? Jawabannya ada di hati nurani kita masing-masing.  Karena pemeliharaan kesesatan berpikir adalah jebakan ilmiah yang tidak lagi ilmiah.

Selamat ngopi pagi….