Guru Besar Mundur

Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Berita tak sedap datang dari bagian timur negeri ini. Sejumlah guru besar sebuah PTN mengundurkan diri untuk mengajar di program strata tiga  karena berseberangan dengan pimpinan...

Guru Besar Mundur

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Berita tak sedap datang dari bagian timur negeri ini. Sejumlah guru besar sebuah PTN mengundurkan diri untuk mengajar di program strata tiga  karena berseberangan dengan pimpinan fakultasnya berkaitan dengan suatu kebijakan yang tidak bijak. Tentu sikap tegas seperti ini karena bersifat kolektif menjadi viral di dunia maya.

Pada waktu yang sama di bagian barat negeri ini, sejumlah tenaga pengajar di salah satu perguruan tinggi keagamaan juga melakukan aksi protes terbuka dengan pimpinan perguruan tingginya berkaitan dengan kebijakan yang juga tidak bijak dengan memotong renumerasi tanpa komunikasi terlebih dahulu. Anehnya, setiap kebijakan ini ditanyakan untuk klarifikasi, pimpinan perguruan tingginya kabur dengan sejuta alasan.

Jauh sebelum ini, di sebuah perguruan tinggi negeri yang pimpinannya baru-baru ini ditangkap tangan oleh lembaga anti rasuah karena melakukan penyimpangan penerimaan mahasiswa baru, juga memberhentikan tanpa alasan seorang guru besar untuk mengajar di program strata tiga pada universitas itu.Apa yang menjadi alasan pemberhentian itu hanya mereka dan Tuhan saja yang mengetahui. Padahal Guru Besar itu yang menjadi ketua team pendirian dan pembentukan program studi di PTN tersebut.

Pertanyaannya: mengapa petinggi kampus punya perilaku demikian? Salah satu di antaranya hal ini disebabkan mereka serasa pejabat eksekutif di pemerintahan, sehingga perilakunya eksekutif, minta pelayanan eksekutif, dan fasilitas serba eksekutif. Oleh karena itu, ia  “merasa” dapat berbuat apa saja, termasuk memerintahkan siapa saja untuk melayani kepentingannya dan menuruti perintahnya. Mereka lupa bahwa jabatan mereka memiliki periodesasi; yang pada pejabat eksekutif pemerintahan setelah selesai masih mendapat penghargaan secara kelembagaan. Sementara di perguruan tinggi dia menjadi warga biasa, dosen biasa, dan tidak jarang mereka yang berperilaku “sok jago” saat menjabat, begitu selesai masa jabatannya, akan ditinggalkan orang saat berhadapan dengannya. Bahkan jika perlu menghindar apabila berjumpa di jalan. Bahkan ada diantara mantan anakbuahnya mengatakan “lebih baik ketemu demit dari pada ketemu beliau”.

Lebih ironis lagi jika saat penetapan keputusan kinerja, kepemimpinan memberlakukan sistem kolektif kolegial. Pada pemerintahan pimpinan utama dengan wakil ternyata hubungannya sama halnya ban utama dengan ban serep. Wakil akan bertindak sebagai pimpinan jika ada mandat atau karena sesuatu hal. Kasus kisruhnya antara pemimpin dengan wakil pemimpin di eksekutif ini sudah menjadi rahasia umum; bahkan Kota yang kita tinggali ini hubungan kedua posisi ini, pada masa lalu pernah berselisih secara terbuka.

Sementara diperguruan tinggi pimpinan dan wakil pimpinan berlaku kolektif kolegial; jadi semua keputusan baik yang pahit maupun yang manis merupakan keputusan bersama dan menjadi tanggungjawab bersama. Oleh karena itu jika pimpinan utama tersandung masalah, hakekatnya masalah itu adalah masalah bersama, dan tanggungjawab bersama. Bukan malah mencalonkan diri untuk menggantikan pimpinan utama. Secara hukum formal memang tidak ada yang dilanggar, namun secara moral dan kepatutan hal itu tidak memiliki kesantunan sama sekali; bahkan “urat malu” pun sudah putus namanya. Bagaimana tidak: saat bahagia bisa bersama, saat berduka mereka beda. Bahkan sekalipun telah tertera sebagai barang bukti atas keterlibatan, walaupun itu dugaan, ternyata sang wakilpun ngotot ingin menggantikan posisi utama.

Ketiga peristiwa di atas membelah tiga kelompok masyarakat akademiknya. Kelompok pertama, yang mendukung untuk membuka persoalan itu dan menyelesaikannya, termasuk memberikan hukuman bagi yang bersalah, dan memberikan penghargaan kepada mereka yang memang berjasa. Kelompok kedua, mereka yang tidak ambil pusing; ikut menang saja dan hanya menikmati yang menguntungkan mereka. Perkara penyelesaian atau apapun namanya mereka tidak begitu peduli. Bagi kelompok ini baik atau buruk itu tergantung menguntungkan atau tidak baginya. Kelompok ketiga, yang merasa tidak perlu penyelesaian terbuka, karena ini aib sebisa mungkin ditutupi. Soal penyelesaian dibicarakan entah sampai kapan bagi mereka itu tidak penting.

Kelompok guru besar yang menjadi pembuka risalah ini, adalah mereka yang ada pada posisi kelompok pertama. Idealisme mereka terjaga, dan ini merupakan marwah pribadi mereka; hanya mungkin cara yang dipilih untuk setiap orang berbeda. Sedangkan narasi kedua, tampaknya semua jalan sudah mereka tempuh, dan semua mengalami kebuntuan, tinggal satu cara. Itulah cara yang mereka pilih. Sedangkan orang ketiga karena itu personal sifatnya biarkan itu mengalir sebagai sejarah pada lembaga yang telah diperjuangkannya sampai berdarah-darah. Karena pengadilan yang paling adil itu adalah dihakimi oleh Yang Maha Adil.

Selamat ngopi pagi.