Gelap Mata

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilm- Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Arti kata “gelap mata” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sangat marah sehingga menjadi lupa dan mengamuk. Arti harfiah seperti ini adalah sesuatu yang be...

Gelap Mata

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilm- Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Arti kata “gelap mata” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sangat marah sehingga menjadi lupa dan mengamuk. Arti harfiah seperti ini adalah sesuatu yang bersifat seharusnya; namun menjadi berbeda makna manakala dikaitkan dengan peristiwa yang bersifat abstrak. Karena gelap mata itu bisa melanda siapa saja; tidak berkaitan dengan status, golongan, tingkat pendidikan, dan atau pembeda lainnya; hanya yang membedakan adalah bagaimana menampilkan kegelapmataan itu kepada pihak lain, atau dengan bahasa lain bagaimana mengekspresikannya kepada pihak lain. ini sangat tergantung kepada kepribadian yang bersangkutan.

Jika kita mau jujur dan perlahan melakukan introspeksi diri; ternyata perilaku ekspresif pada masa kanak kanak itu adalah bentuk awal dari perilaku gelap mata. Tampilan meronta, melempar barang yang ada di sekitar, meraung raung dan sebagainya, boleh jadi merupakan bentuk awal dari perilaku gelap mata.

Persoalannya adalah bagaimana perkembangan berikut setelah melalui periodesasi pendewasaan diri; apakah perilaku ini tersentuh pematangan sehingga tampilannya lebih lunak, atau sebaliknya karena tidak memperoleh respons kematangan positif, menjadi lebih inpulsif. Untuk kajian keilmuan psikologi kepribadian ini kita serahkan kepada para ahlinya. Tulisan ini akan lebih focus pada bagaimana perilaku ini berdampak sosial pada saat yang bersangkutan melakukan interaksi sosial dengan pihak lain.

Perilaku gelap mata secara individual bisa saja terjadi saat yang bersangkutan mendapat respon indrawi yang menyulut emosi. Ambil contoh saat seseorang buka puasa yang belum mendasari diri atas keimanan, dan atau hanya menahan haus lapar saja; maka saat mendengar tanda berbuka, yang bersangkutan akan melahap serta menyantap apa yang ada dihadapannya, tidak perduli apa dan punya siapa, bahkan berdoapun lupa. Perilaku kekanakkanakan ini bisa melanda siapapun, kapanpun dan dimanapun.

Jika ini dikaitkan dengan perilaku akibat stimulus dari pihak lain yang membuat ketersinggungan emosi, tidak jarang kita melihat perilaku personal impulsif dengan tampilan bertindak kasar, berucap tidak selayaknya sebagai manusia berbudaya. inilah yang mendorong seseorang pada jurang kesengsaraan yang berkepanjangan. Oleh karenanya tidak salah jika orang bijak memberi peringatan, bahkan ada sahabat yang memasang sebagai status pada alat media sosialnya “mulutmu harimaumu”.

Bisa dibayangkan jika perilaku seperti ini ditampilkan oleh seseorang yang karena tugas sosialnya menjadi seorang pemimpin. Tentu saja suasana atau iklim yang terbangun pada kepemimpinan seperti ini menjadi situasional imfulsif. Karena perubahan kepribadian yang tidak konsisten; sehingga menyusahkan staf atau orang lain untuk bekerjasama. Pepatah jawa mengatakan kepribadian seperti ini sama halnya dengan persamaan “esuk dele sore tempe” (bhs Jawa): terjemahan bebasnya pagi hari kacang kedelai, sore berobah menjadi tempe.

Ketidakkonsistenan akibat kelabilan kepribadian, salah satu bentuk pencirinya adalah gelap mata. Oleh sebab itu tidak salah jika ada test psikologi yang harus dilalui seseorang sebelum memangku jabatan tertentu, guna memperoleh sosok kepribadian yang paling tidak mendekati paripurna. Pertanyaan tersisa, siapkah sistem sosial kita membangun rambu rambu itu guna memperoleh sosok pemimpin yang menjaga integritas dirinya.
Pola penunjukkan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya kepada seseorang atau kelompok orang, ditambah dengan politik transaksional “saya dapat apa, kamu dapat apa”; semakin sempurnalah bangun pyramid kekuasaan menghunjam ke bawah; ini sekaligus membunuh sikap partisipatif yang ada, karena yang akan tumbuh subur “siap perintah, laksanakan”.

Pola seperti ini tidak selamanya jelek, untuk garis komando kemiliteran hal ini tepat, tetapi menjadi berbeda jika diterapkan kepada masyarakat sipil yang memiliki corak bervariasi bak pelangi. Namun tampaknya akhir akhir ini justru merebak dikalangan ini, sehingga ada adagium yang berbunyi “Sipil rasa militer” semakin menguat dan membudaya. Akibatnya memandang orang, atau kelompok orang, yang tidak satu garis komando adalah musuh bersama, atau paling tidak dianggap sebagai kelompok atau individu pembangkang. Akibat lanjut; semua saran, pemikiran jernih sekalipun dianggap sampah dan keruh. Inilah model Gelap Mata Gaya Baru yang menggejala; kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok berkepentingan tertentu untuk memancing di air keruh.

Manakala “cuan berubah menjadi tuan”; maka segala bisa dibeli dengan cara apa pun. Sekali lagi, kelompok pemilik “cuan” yang terusik, bak ular kobra tidur dibangunkan; meradang dan menyerang dan menjadi Gelap Mata semua mau dimangsa. Padahal waktu untuknya sudah tiada, tinggal puing puing masa lalu yang berserak entah di mana.

Selamat ngopi pagi!