Festival Krakatau dan Gebalau Budaya Lampung*
Oleh Oyos Saroso H.N. Sejak menjadi orang Lampung pada 1997, saya mau tak mau harus bersirobok dengan gelaran pesta tahunan: Festival Krakatau. Dari 1997 hingga 2014 saya nyaris tidak pernah tertarik dengan Festival Krakatau, selain acara karnaval da...

Oleh Oyos Saroso H.N.
Sejak menjadi orang Lampung pada 1997, saya mau tak mau harus bersirobok dengan gelaran pesta tahunan: Festival Krakatau. Dari 1997 hingga 2014 saya nyaris tidak pernah tertarik dengan Festival Krakatau, selain acara karnaval dan Tur Krakatau. Dua tangkai acara itu pun, sepanjang penyelenggaraan Festival Krakatau, acap membuat saya masygul. Masygul, karena saya tahu betapa dominannya ‘mental proyek’ dalam penyelanggaraanya sehingga kerap mengabaikan substansi tujuan Festival Krakatau itu sendiri. Karnaval terasa monoton, Tur Krakatau pun terjebak seremoni.
Beberapa tahun lalu, publik di Lampung pasti masih ingat dengan acara Tur Krakatau pada even Festival Krakatau. Panitia memboyong para duta besar dan perwakilan negara sahabat ikut naik kapal dan berkunjung ke Gunung Anak Krakatau. Mereka mendapatkan perlakuan istimewa. Sebaliknya, para jurnalis, fotografer, bloger, dan penggiat media sosial harus berjuang keras hanya sekadar untuk mendapat tiket. Kalaupun dapat tiket, tidak ada jaminan selama perjalanan akan mendapatkan jatah konsumsi yang sama dengan para tamu elite.
Panitia Festival Krakatau kala itu mungkin menyangka dengan mengundang para dubes maka turis asing akan berbondong-bondong berkunjung ke Gunung Anak Krakatau melalui Lampung. Lalu, mereka akan membelanjakan uangnya di Lampung. Dan itu artinya kita untung besar. Padahal, para pelaku industri wisata pun tahu bahwa selama ini turis asing lebih banyak mengunjungi Gunung Anak Krakatau melalui Pantai Anyer atau Carita. Alasannya logis: lebih murah, lebih cepat, dan dengan pengalaman perjalanan yang tetap eksotis.
Bagaimana dampak kehadiran para dubes yang diboyong ikut Tur Krakatau tiap penyelenggaraan Festival Krakatau? Sejauh ini publik di Lampung, setidaknya saya, belum pernah mendengar ada ekspose yang menggambarkan bahwa kehadiran mereka berdampak sangat signifikan terhadap kunjungan turis asing di Lampung lalu berkunjung ke Gunung Krakatau.
Festival Krakatau 2014
Penyelenggaraan Festival Krakatau 2014 agak berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Selain tidak memboyong para duta besar, festival kali ini juga menampilkan pembacaan “Syair Lampung Karam” dan pameran lukisan karya Diro Aritonang. Dua even itu setidaknya menjadi bukti bahwa kali ini panitia sadar bahwa pelibatan seniman dalam Festival Krakatau itu penting. Apalagi, yang dijadikan maskot even itu memang peninggalan sejarah yang berkaitan dengan meletusnya Gunung Anak Krakatau.
Yang belum saya temukan dalam penyelenggaraan Festival Krakatau adalah penghargaan panitia dan Pemerintah Provinsi Lampung kepada para relawan wisata dan kebudayaan Lampung. Yakni, mereka yang selama ini bekerja tanpa pamrih mempromosikan wisata dan kebudayaan Lampung. Di antaranya adalah para aktivis media sosial, bloger, fotografer, jurnalis, dan media massa. Padahal, bisa diyakini, kesuksesan hast tag ‘KrakatauFest’ sebagai trending topic di Twitter, beberapa hari lalu, tidak lepas dari kerja-kerja mereka.
Meski agak berbeda dibanding Festival Krakatau tahun-tahun sebelumnya, kesan bahwa Festival Krakatau sebagai sebuah upacara rutin belum hilang. Sebabnya jelas: pertama, panitia utama festival tetap pihak lama (Dinas Pariwisata)—yang berarti melibatkan orang-orang lama. Kedua, pola penyelenggaraan tetap sama, yakni menyerahkan pada pihak ketiga tanpa ada informasi luas bagaimana proses lelang atau proses penunjukkannya. Ketiga, publikasi yang minim dan tidak berkesinambungan.
Publik yang selama ini berkecimpung di dunia wisata pasti tahu bahwa sejarah Festival Krakatau jauh lebih tua dibanding Jember Fashion Festival (JFF) di Jember dan Festival Musi (FM) di Palembang. Namun, harus diakui gaung dua festival yang jauh lebih belia usianya itu lebih besar secara nasional. Padahal, soal praktik pelaksanaaan tangkai even, saya kira eksotisme hasil eksplorasi tapis Lampung pada Parada Budaya Lampung di ajang Festival Krakatau tidaklah kalah dengan eksplorasi mode di ajang JFF.
Saya meyakini Festival Krakatau pada masa-masa mendatang kualitasnya tak akan pernah bergeser jauh (menjadi lebih baik) kalau tidak ada ‘revolusi mental’. Lama-lama Festival Krakatau akan menjadi seremoni yang terasing dari masyarakatnya.
* Tulisan ini juga dimuat Lampung Post 5 September 2014