Smart TOD: Masa Depan Kota-Kota Indonesia

Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik, ASEAN Eng. Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Infrastruktur & Pembangunan Kewilayahan Urbanisasi adalah keniscayaan. Di Indonesia, proses ini berjalan dengan kecepatan tinggi. Pulau Jawa, Sumatera, Bali,...

Smart TOD: Masa Depan Kota-Kota Indonesia
Dr. Eng. IB Ilham Malik

Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik, ASEAN Eng.
Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Infrastruktur & Pembangunan Kewilayahan

Urbanisasi adalah keniscayaan. Di Indonesia, proses ini berjalan dengan kecepatan tinggi. Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua masing-masing menyaksikan pertumbuhan kota yang masif. Bersamaan dengan itu, tantangan-tantangan klasik kota modern mulai bermunculan: kemacetan yang parah, polusi udara, penggunaan lahan yang tidak terkendali, hingga kesenjangan akses antara pusat dan pinggiran kota.

Untuk mengatasi berbagai persoalan ini, dunia telah mengembangkan berbagai pendekatan. Salah satunya yang kini menjadi perhatian banyak negara adalah Transit Oriented Development (TOD), yakni pembangunan kota yang berpusat di sekitar simpul transportasi publik, dengan prioritas pada kemudahan akses, jarak pendek antara tempat tinggal, kantor, dan pusat kegiatan lainnya. Namun, perkembangan zaman menuntut lebih. Dunia kini bergerak menuju konsep baru: Smart TOD — sebuah pengembangan kawasan berorientasi transportasi publik yang diperkuat dengan penggunaan teknologi digital, energi terbarukan, dan prinsip keberlanjutan.

Bagi Indonesia, Smart TOD adalah jawaban strategis untuk membangun kota-kota yang lebih manusiawi, lebih ramah lingkungan, dan lebih siap menghadapi masa depan.

Setiap Pulau Kebutuhannya Berbeda

Karakter kota-kota di Indonesia sangat beragam, sehingga pendekatan Smart TOD pun perlu disesuaikan dengan kebutuhan lokal.

Pulau Jawa, yang menjadi rumah bagi 60% penduduk Indonesia, menghadapi tekanan kepadatan yang ekstrem. Di sini, Smart TOD harus mampu mengintegrasikan transportasi umum antar moda — kereta, bus, LRT, MRT — sambil memperbaiki keterjangkauan hunian di sekitar simpul transportasi. Penggunaan teknologi seperti sistem informasi perjalanan real-time, kartu pembayaran terpadu, dan pengelolaan lalu lintas berbasis kecerdasan buatan perlu diterapkan.

Sumatera memiliki peluang besar. Dengan proyek Jalan Tol Trans Sumatera dan pengembangan kereta api lintas provinsi, Smart TOD dapat diarahkan untuk memperkuat konektivitas antarkota dan menciptakan koridor pertumbuhan baru. Kota-kota seperti Medan, Palembang, dan Pekanbaru bisa menjadi pionir dalam pengembangan kawasan TOD berbasis logistik dan perdagangan.

Bali, sebagai pulau pariwisata, menghadapi tantangan berbeda: beban mobilitas wisatawan yang sangat tinggi. Smart TOD di Bali perlu mengedepankan konsep green mobility — memperbanyak jalur pejalan kaki, jalur sepeda, penggunaan bus listrik, dan membangun kawasan wisata berbasis transit.

Kalimantan, dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), adalah lahan emas untuk menerapkan Smart TOD dari nol. Di sini, kota baru bisa dirancang sejak awal untuk ramah kendaraan listrik, menggunakan Internet of Things (IoT) untuk manajemen kota, serta mengembangkan jaringan pejalan kaki dan sepeda yang aman dan nyaman.

Sulawesi dan Papua membutuhkan pendekatan berbasis komunitas. Kota-kota di sini, banyak yang bertumbuh dari pola permukiman tradisional, harus mengembangkan TOD yang memperhatikan budaya lokal, mendukung konektivitas antarwilayah, dan mendorong pemerataan pembangunan.

Dengan memahami kebutuhan masing-masing pulau, pengembangan Smart TOD di Indonesia dapat lebih efektif, adil, dan berkelanjutan.

Belajar dari Dunia

Dalam membangun Smart TOD, Indonesia dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalan negara lain.

Jepang, khususnya Tokyo dan Osaka, telah lama menerapkan prinsip TOD dengan sangat efektif. Kota-kota ini mengembangkan jaringan kereta api perkotaan yang sangat rapat, dengan kawasan komersial, perumahan, dan ruang publik yang tumbuh organik di sekitar stasiun. Hasilnya, penduduk kota lebih memilih berjalan kaki atau naik transportasi umum ketimbang menggunakan mobil pribadi.

Di Eropa, kota-kota seperti Copenhagen dan Zurich mengintegrasikan TOD dengan konsep “15-Minute City”, di mana semua kebutuhan dasar — kerja, belanja, sekolah, rekreasi — dapat dicapai dalam 15 menit berjalan kaki atau bersepeda.

Namun, ada pula pelajaran dari kegagalan. Di Amerika Serikat, sejumlah proyek TOD justru menyebabkan gentrifikasi, di mana harga tanah dan rumah melonjak tajam sehingga penduduk berpenghasilan rendah terpinggirkan. Hal ini menjadi peringatan bagi Indonesia: Smart TOD harus dibangun dengan prinsip inklusi sosial, bukan hanya untuk kalangan menengah atas.

Tiga Langkah Membangun Smart TOD di Indonesia

Untuk mewujudkan Smart TOD yang berhasil, setidaknya ada tiga langkah penting yang harus ditempuh: Pertama, Penyatuan Tata Ruang dan Transportasi. Saat ini, pembangunan kota di Indonesia sering kali berjalan parsial.

Proyek transportasi dibangun tanpa sinergi dengan perencanaan ruang kota. Akibatnya, stasiun kereta atau terminal bus berdiri di tengah kawasan yang tidak mendukung mobilitas pejalan kaki atau integrasi antar moda.

Ke depan, setiap proyek transportasi harus dirancang bersamaan dengan rencana tata ruang sekitarnya. Pemerintah daerah perlu diberi panduan dan insentif untuk mengembangkan peraturan zonasi yang mendorong pengembangan berorientasi transit.

Kedua, Inovasi Pembiayaan. Membangun Smart TOD memerlukan investasi besar. Oleh karena itu, model pembiayaan harus kreatif. Salah satunya adalah dengan menerapkan skema Land Value Capture, di mana kenaikan nilai tanah akibat pembangunan transportasi publik sebagian dikembalikan untuk membiayai proyek tersebut. Selain itu, penggunaan obligasi hijau dan kerja sama dengan sektor swasta dalam bentuk Public-Private Partnership (PPP) harus lebih dioptimalkan.

Ketiga, Pemanfaatan Teknologi Digital. Smart TOD harus menjadi “kota pintar mini” di setiap simpul transportasi. Pemanfaatan aplikasi mobile untuk jadwal transportasi, sistem pembayaran digital, pengelolaan energi berbasis sensor, hingga penggunaan big data untuk memantau pola mobilitas harus menjadi standar baru.

Penggunaan teknologi bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperbaiki pengalaman pengguna dan mempercepat peralihan ke moda transportasi yang lebih ramah lingkungan.

Kota Bukan Sekadar Bangunan, Tetapi Kehidupan

Pada akhirnya, membangun Smart TOD bukan sekadar soal mendirikan apartemen di dekat stasiun. Ini soal bagaimana kita membangun kota sebagai tempat hidup yang layak, adil, dan berkelanjutan.

Kota yang sehat bukan kota yang penuh jalan tol, tetapi kota yang membuat warganya senang berjalan kaki, menggunakan transportasi umum, berinteraksi di ruang terbuka, dan menikmati hidup di dalamnya.

Jika Indonesia ingin benar-benar memanfaatkan bonus demografi dan mencapai visi Indonesia Emas 2045, membangun kota-kota yang berorientasi pada manusia melalui Smart TOD adalah salah satu jalan utama.

Ini bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Mulai dari Papua, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Sumatera hingga Jawa, Indonesia harus berani melangkah ke depan: membangun kota-kota yang lebih cerdas, lebih hijau, lebih manusiawi.***