Fenomena Bachtiar Basri dan Catatan untuk Partai Hari Ini
Ferdi Gunsan Partai-partai saat ini dengan mudahnya bergonta-ganti pemimpin. Alasannya bermacam-macam. Tanpa ada jadwal Musda, Rakerda, atau apa pun namanya yang menjadi forum resmi dan diakui partai, seorang pemimpin partai bisa bergeser dari posisi...
Ferdi Gunsan
Partai-partai saat ini dengan mudahnya bergonta-ganti pemimpin. Alasannya bermacam-macam. Tanpa ada jadwal Musda, Rakerda, atau apa pun namanya yang menjadi forum resmi dan diakui partai, seorang pemimpin partai bisa bergeser dari posisinya alias diganti. Semua dikemas seakan-akan memang sudah sesuai aturan. Semuanya akan dicarikan pembenaran atas apa yang sudah diputuskan.
Fenomena PAN Lampung yang terjadi hari ini (Bachtiar Basri diganti lewat forum Muswil Luar Biasa) juga terjadi pada partai-partau lainnya. Misalnya yang pernah terjadu di Partai Demokrat Lampung sebelum dipimpin Ridho Ficardho. Saat itu dalam satu periode kepengurusan sudah gonta-ganti pimpinan. Partai Hanura juga begitu,
Kaderisasi di partai menjadi tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana partai di daerah bisa hidup. Sudah tentu, tanpa uang tidak mungkin dapat bergerak. Mungkin pula inilah alasan para petinggi DPP partai-partai banyak mengincar para kepala daerah sebagai ketua partai tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Padahal, para kepala daerah yang diangkat sebagai ketua partai tersebut sebelumnya bukanlah kader partai yang bersangkutan.
Diangkatnya Bachtiar Basri menjadi Ketua DPW PAN Lampung menggantikan Saad Sobari dan menjadikan Saad Sobari sebagai Ketua Harian adalah suatu keputusan yang biasa di dalam partai saat ini. Namun. hal seperti akan mempunyai dampak yang sangat luar biasa bagi kaderisasi partai. Dan dengan adanya Muwswillub dadakan yang menjadikan Zainudin Hasan sebagai Ketua PAN Lampung menggantikan Bachtiar Basri — yang tidak terdengar ada salah apa-apa dari partai ini– juga hal biasa bagi pimpinan partai pusat.
Bagaimana seseorang yang sudah merintis karir dari bawah sebagai loyalis partai bisa naik jabatan dengan proses AD/ART partai, jika proses estafet kepemimpinan selalu dimainkan di luar aturan partai dengan cara mencari pembenaran. Partai tidak peduli akan hal ini.
Walaupun arus bawah menginginkannya, karena kekuasaan tertinggi partai saat ini ada pada Pengurus Pusat nya dan ketika itu sudah keputusan DPP apapun bentuknya pengurus daerah tidak dapat berbuat apa-apa. Protes lebih lanjut nanti waktunya di Munas, Rakernas atau sebutan lainnya yang jika sudah tiba waktunya para pengurus tersebut tidak punya hak bicara di dalam Munas/Rakernas tersebut dan akhirnya apa yang dilakukan pimpinan partai pusat sebelumnya adalah hal yang lumrah saja, menjadikan pembenaran bahwa tidak ada AD/ART partai yang dilanggar.
Para pimpinan partai di pusat juga tidak terlalu memedulikan itu semua dan tidak takut kehilangan konstituen. Sebab, Pemilu dengan sistim proporsional terbuka adalah memilih perorangan bukan memilih partai. Dan rakyat pemilih pragmatis tidak peduli akan hal ini. Jika tiba waktunya nanti susunan calon legislatif akan digabung antara kader dan calon dari luar nonkader tetapi mempunyai kekuasaan ataupun uang.
Tanpa melakukan hal ini partai tidak mungkin dapat mendulang suara yang akhirnya tidak peduli akan kaderisasi, partai-partai menciptakan gerbong-gerbong yang tidak berkesinambungan, yang penting suara partai naik. Segala sesuatunya sangat instan dan bukan memikirkan bagaimana anak cucu kita nanti mengurus Indonesia ini. Yang penting saya, keluarga saya yang berkuasa saat ini persetan dengan nanti.
Di Lampung, fenomena keluarga menjadi ‘penguasa” partai sudah terbiasa terjadi. Sebagai contoh, Abdurrachman Sarbini (Mance) mewariskan ghirah berpartai kepada Arisandi, anaknya. Sjachroedin Z.P. mewariskan Rico (Bupati) dan Dade (Wakil Bupati), Tamanhuri mewariskan Agung Ilmu, Zulkifli Anwar mewariskan Dendi, yang masih baru Zulkifly Hasan mewariskan PAN Lampung ke Zainudin Hasan. Dan kita belum pernah mendengar para petinggi mewariskan sahabatnya, kadernya secara tuntas untuk menjadikannya Kepala Daerah ataupun pimpinan parpol.
Pewarisan semacam itu sepertinya menjadi hal lumrah. Selumrah konglomerat mewariskan kerajaan bisnisnya kepada anak-anaknya atau raja mewariskakan tampuk kekuasaan kepada putra mahkota atau kerabat dekatnya. “Pewarisan” model itu mungkin jiuga berkembang di bidang lain.







