Esek-Esek Online
Nusa Putra Kematian mengerikan seorang wanita muda di tempat kos tiba-tiba menjadi berita besar setelah diketahui bahwa ia ternyata penjaja cinta yang beroperasi menggunakan media “online”. Seperti biasanya, banyak media mengumbar sem...

Nusa Putra
Kematian mengerikan seorang wanita muda di tempat kos tiba-tiba menjadi berita besar setelah diketahui bahwa ia ternyata penjaja cinta yang beroperasi menggunakan media “online”. Seperti biasanya, banyak media mengumbar semua bukti komunikasinya dengan para pelanggan menggunakan internet secara terbuka, apa adanya. Sungguh, bikin bulu kuduk bergidik.
Sontak mendadak banyak orang meributkan sisi negatif teknologi komunikasi. Terasa sekali ada kekagetan. Macam-macam komentar negatif muncul. Kekagetan berlebihan ini justru membuat kita terkejut.
Sejak kemunculannya, teknologi komunikasi yang menyajikan macam-macam media komunikasi dan interaksi telah digunakan untuk berbagai aktivitas negatif, termasuk menjajakan diri. Jadi, kekagetan yang muncul terkait dengan kasus kematian wanita muda di tempat kos yang terbukti dihabisi penikmat jasanya, tampak berlebihan.
Anak baru gede atau ABG menjual diri bukanlah gejala baru dalam masyarakat kita. Sudah lama terjadi. Bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Medan, Makasar dan banyak kota lain. Juga di kota-kota kecil.
Bahkan usia mereka yang terlibat dalam bisnis esek-esek ini semakin belia. Dalam penulusuran menggunakan metode penelitian kualitatif yang kemudian ditulis dalam buku berjudul Penari Erotis dan Jablay ABG (RajaGrafindo,2015), diuraikan banyak anak belasan tahun yang masih duduk di SMP sudah terampil menjajakan diri. Mereka bahkan mampu membangun jaringan untuk mendapatkan pelanggan.
Pelanggan mereka sebagian besar adalah lelaki berusia di atas empat puluh tahun. Kebanyakan pejabat menengah dari berbagai daerah dan pengusaha. Dalam jumlah yang lebih sedikit berusia di bawah empat puluh yang bekerja di sektor swasta.
Para ABG itu menggunakan telepon genggam sebagai piranti untuk berkomunikasi dengan pelangggan dan membangun jaringan. Menggunakan berbagai fitur, mereka bisa mengirimkan gambar diri dan anggota jaringannya pada calon pelanggan dan pelanggan. Termasuk foto-foto yang tergolong porno. Mereka juga tidak malu menguraikan layanan yang bisa dan biasa dilakukannya. Bahkan ada yang disebut super spesial yang bisa melayani dengan oral, anal, dan vaginal, serta berbagai layanan lain.
Itu berarti apa yang dilakukan oleh “wanita online” yang mati mengenaskan adalah puncak gunung es dari perubahan dan permasalahan bangsa ini. Dengan hati-hati bisa ditegaskan ada dua masalah yang berbeda dan tidak mungkin dipisahkan.
Pertama perubahan-perubahan sangat mendasar dalam keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Kedua, pengaruh dan penetrasi teknologi dalam kehidupan keseharian kita. Keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak mungkin dipisahkan. Karena saling pengaruh memengaruhi.
Kita harus bertanya, apa yang telah terjadi dengan keluarga-keluarga, pendidikan dan masyarakat kita? Perubahan-perubahan mendasar apa yang telah terjadi? Apakah memang sudah terjadi perubahan pola asuh sehingga anak-anak remaja putri kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk memilah, memilih dan mengolah pengaruh lingkungan yang semakin mengerikan?
Nilai-nilai apa yang diserap dan tertanam dalam benak mereka, yang didapatkan dari pengasuhan dalam keluarga? Mengapa mereka begitu gampang menjajakan diri untuk meraih gaya hidup yang pasti menjerumuskan dan menghancurkan dirinya? Mengapa mereka bisa menerima dan meyakini bahwa tubuh adalah komoditi dan seks adalah layanan untuk sekedar dapatkan rezeki demi baju bagus, handphone dan motor? Apakah keluarga telah gagal menanamkan nilai-nilai kemuliaan? Apakah komunikasi di dalam keluarga telah begitu rusak dan macet sehingga para orang tua sampai tidak tahu apa yang dilakukan anak-anaknya di luar rumah? Apakah sama sekali tidak ada nilai dan keteladanan yang dibangun dan dibiasakan dalam keluarga terkait dengan makna hidup dan keberadaan manusia? Apakah memang tidak pernah dibicarakan secara dialogis bahaya seks bebas di dalam keluarga? Apakah anak-anak remaja itu sama sekali tidak pernah mendapatkan pemahaman dalam keluarga pentingnya makna tubuh dan bahaya yang bisa diderita tubuh akibat seks bebas? Apa yang telah hilang dalam banyak keluarga kita? Nilai-nilai apa yang kini ditanamakan pada anak-anak di dalam keluarga?
Hakikinya, telah terjadi perubahan mendasar dalam keluarga dan pola asuh yang dilami oleh banyak anak kita. Nilai-nilai dan norma-norma keluarga telah banyak bergeser. Bahkan berganti.
Pergesaran dan pergantian itu merupakan akibat langsung dari telah terjadinya perubahan yang sangat mendasar dan besar dalam masyarakat kita.
Orde Baru dengan pendekatan pembangunan, pertumbuhan dan berorientasi perkotaan telah berhasil merubah pandangan dan penghayatan banyak orang tentang uang dan materi. Keberhasilan dikaitkan dengan atribut-atribut material seperti kekayaan, jabatan, pangkat, dan kepopuleran.
Pada zaman Orde Baru dengan sengaja para pejabat tinggi mempertontonkan resepsi pernikahan yang mewah dan meriah. Pastilah presiden sendiri yang memulainya. Tinggal di rumah besar dan mewah dengan jumlah mobil yang banyak. Jabatan identik dengan kekayaan dan gengsi sosial. Bukan identik dengan pengabdian dan komitmen.
Materialisme dan kemewahan yang dengan segaja dipertontonkan ini membawa konsekuensi yang hebat dan berdampak luas. Akibatnya banyak orang berlomba-lomba mengejar materi. Bahkan dengan cara apapun. Tidak penting benar atau tidak. Koentjaraningrat, budayawan dan ahli kebudayaan mencatat berkembangnnya mental menerabas, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Kebudayaan serba benda paling tampak pada gairah yang sangat luar biasa pada pembangunan fisik dengan kecepatan tinggi. Dari jalan tol layang sampai berbagai tugu peringatan. Mal dan pusat perbelanjaan super mewah, dan tempat-tempat ibadah super mewah menggunakan emas di tengah pemukiman yang disesaki rumah orang miskin. Perkantoran pencakar langit tumbuh dengan sangat cepat, dan semakin berkembangnya pusat-pusat hiburan malam yang mewah dan mentereng di berbagai sudut kota.
Tragisnya, semua pembangunan fisik yang luar biasa ini dilakukan di bawah semboyan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan atribut beriman dan bertakwa. Boleh jadi karena itu dibuatlah beragam acara besar-besaran sampai tingkat nasional berupa perlombaan pembacaan kitab suci dan lagu-lagu keagamaan. Ada pembangunan masjid di seluruh Indonesia di bawah yayasan yang duitnya diambil antara lain dari gaji aparat negara.
Sementara pembangunan fisik semakin hebat dan nyata, terjadi di mana-mana, sedangkan pembangunan manusia semakin simbolik dan monoton. Triliunan uang dihabiskan untuk mewajibkan masyarakat Indonesia mengikuti P4 (Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sebuah proses indroktinasi ideologis yang membangun loyalitas tunggal pada penguasa Orde Baru, tentu saja atas nama Pancasila dan Indonesia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Pemerintah secara resmi melarang judi dan pelacuran. Namun memberikan izin untuk berbagai permainan tebak-tebakan huruf dan nomor secara nasional. Dalam konteks ini tidak mengherankan bila sejumlah tokoh mempersoalkan Jan Darmadi yang kini menjadi anggota Watimpres. Karena pada zaman Orde Baru, dia dikenal sebagai salah seorang “Raja Judi”. Sementara lokalisasi pelacuran dan berbagai bentuk hiburan yang berisi kemaksiatan merajalela, pada berbagai strata masyarakat.
Apa yang kini berkembang menjadi pelacuran “online” hakikinya adalah kelanjutan dari seluruh perubahan yang telah lama berjalan dalam keluarga dan masyarakat kita. Tidak terjadi secara mendadak sontak. Pemanfaatan teknologi komunikasi merupakan keniscayaan karena faktanya sudah menjadi piranti utama dan kebutuhan dalam berkomunikasi.
Bila mobil, rumah, peralatan rumah tangga, buku, barang bekas, pakaian, jilbab, pakaian dalam dijual belikan secara “online”, mengapa yang berada dalam pakaian dalam tidak boleh dijual secara “online” pula? Ini hanya sebuah tren, modus yang niscaya dalam dunia yang makin teknologis.
Karena itu tak usah sok kaget, tergagap-gagap dan menjadi reasioner menanggapi pelacuran “online”. Sebab, KEHADIRAN DAN KEMUNCULAN PELACURAN “ONLINE” ADALAH CERMIN REMUK PERUBAHAN MASYARAKAT KITA.
* Dr, Nusa Putra, M.Pd, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ)