Bertawaf dalam Hidup

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila Setiap mereka yang pergi ke Tanah Suci melaksanakan Umroh maupun Haji melaksanakan salah satu rukunnya adalah Tawaf. Arti Tawaf (Arab: ﻃﻮﺍﻑ, thawāf) adalah kegiatan mengelilingi...

Bertawaf dalam Hidup

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila

Setiap mereka yang pergi ke Tanah Suci melaksanakan Umroh maupun Haji melaksanakan salah satu rukunnya adalah Tawaf. Arti Tawaf (Arab: ﻃﻮﺍﻑ, thawāf) adalah kegiatan mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali. Tawaf adalah salah satu amal ibadah yang dilakukan oleh Muslim pada saat melaksanakan haji dan umrah. Tawaf hanya dilakukan di Masjidil Haram.

Adapun jenis jenis Tawaf adalah: (1) Tawaf qudum (ﻗﺪﻭﻡ ) – tawaf “selamat datang” yang dilakukan ketika baru sampai di Mekah. (2) Tawaf ifadhah (ﺇﻓﺎﺿﻪ) – tawaf yang menjadi rukun haji dan dilakukan bagi mereka yang telah pulang dari Wukuf di Arafah. Juga dinamakan bagi tawaf rukun umrah. (3) Tawaf sunah (ﺳﻨﺔ) – tawaf yang dilakukan semata-mata mencari ridha Allah pada waktu kapanpun. (4) Tawaf tahiyyat (ﺗﺤﻴﺔ) – tawaf sunah yang lazim dilakukan saat memasuki Masjidl Haram. (5) Tawaf nazar (ﻧﺬﺭ) – melakukan tawaf untuk memenuhi nazar (janji). (6)  Tawaf wada’ (ﻭﺩﺍﻉ) – tawaf “selamat tinggal” yang dilakukan sebelum meninggalkan kota Mekkah sebagai tanda penghormatan dan memuliakan Baitullah.

Salah satu tatacara Tawaf adalah tujuh kali memutari Kabah, dan kebanyakan para orang alim menyarankan agar setelah putaran lima, berarti putaran enam, berangsur berputar keluar, dan putaran ketujuh sudah berada di luar jalur ramai. Walaupun ini bukan perintah dari Rasullullah, namun sebagai suatu strategi untuk dapat keluar dari kerumunan masa yang begitu tak terhinggahingga jumlahnya. Terutama saat musim haji, karena semua tumpah ruah dipelataran yang sama untuk melakukan kegiatan yang sama.

Saran dari para alim ini seolah menyiratkan pesan kepada kita bahwa demikian halnya dengan peredaran manusia di muka bumi ini. Pada usia 0 sampai dengan 10 tahun, masih dalam pusaran perhatian banyak orang, dan sampai pada puncak kariernya di usia 50 tahun. Begitu menginjak usia 60 tahun mohon bersiap untuk minggir secara perlahan untuk digantikan generasi berikutnya. Sedangkan pada usia 70 tahun; harus dengan ihlas berada pada putaran luar, dan terakhir mohon diri untuk menjadi penonton di Tribun sudah disediakan.kelegowoan seperti ini harus disadari dari awal, dan tidak perlu ada penyesalan karena semua itu berjalan sebagaimana sunatullah. Peristiwa seperti ini terus dan terus berlangsung sepanjang masa.

Keberputaran orbit diri inipun merupakan sunattullah; walaupun tidak ada jaminan apakah semua kita sampai orbit ke tujuh; bisa jadi tidak selamanya, dan atau bisa jadi melampauinya; semua ini hanya Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Mengatur. Adapun perjalanan menapaki orbit tadi tetap setiap individu mengalami pengalaman yang tidak sama. Sama halnya dengan Tawaf, ada yang begitu mudah dan lanca jaya, ada yang dari awal sampai akhir harus berjuang berada pada pusaran lautan manusia, ada juga yang dari awal mudah tetapi saat orbit terakhir untuk keluar mengalami kesulitan dan atau sebaliknya di awali dengan sulit dan di akhiri dengan mudah.  Demikian halnya dengan kehidupan, ada yang begitu mudah dan lancar lancar saja, namun tidak sedikit yang harus banting tulang, lintangpukang untuk mengais rezki di muka bumi Tuhan ini. Ada yang duduk manis mendapatkan yang dimaui, tetapi ada juga yang sudah bertungkuslumus masih juga tak pernah dapat apa yang diharap.

Perubahan eskalasi inilah yang membuktikan kefanaan dunia, karena tidak ada yang mampu memprakirakan apa yang akan terjadi sesaat di depan. Perencanaan boleh saja canggih, namun tetap saja kepastian bukan milik mahlukNYA. Sama halnya dengan Tawaf, kita hanya diperintah untuk berjalanan mengelilingi Kabah, adapun apa yang akan ditemui dalam perjalanan mengelilinginya, itu sangat tergantung kepada ketentuan keilahian.

Hikma yang dapat kita petik dari ibadah Tawaf tadi ternyata sangat besar sekali jika kita ingin berhenti sejenak untuk merenunginya. Kias yang dapat kita petik ternyata Tuhan sudah memberikan peringatan dini kepada kita; tinggal mampukah kita menangkap “sasmito” (pertanda) itu, dan kemudian melakukan koreksi diri agar tidak salah jalan kembali.

Tulisan ini bukan membuat tafsir baru dari rukun keilahian karena bukan maqom dan ahlinya, namun merenungkan kembali akan kebesaran Sang Maha Pencipta, yang memerintahkan untuk melakukan sesuatu itu pasti ada hikma yang terkandung didalamnya; hanya mampukah kita menggunakan anugerah berfikir ini untuk memikirkan hakekat dari ciptaan-Nya.  Jawaban jujur ada di hati kita masing masing.

Selamat ngopi pagi.