Belajar Peribahasa dari Kasus Ahok dan Gerindra

Oleh Rachmat Hidayat Cahyono Minggu pagi yang indah. Saya duduk santai menikmati ubi gorengan istri saya sambil menyeruput kopi susu bikinan sendiri. Eh, tadi saya bantu ngupas ubinya, lho (ini pamer buat nunjukin saya nggak patriarki hehe). Terus...

Belajar Peribahasa dari Kasus Ahok dan Gerindra

Oleh Rachmat Hidayat Cahyono

Minggu pagi yang indah. Saya duduk santai menikmati ubi gorengan istri saya sambil menyeruput kopi susu bikinan sendiri. Eh, tadi saya bantu ngupas ubinya, lho (ini pamer buat nunjukin saya nggak patriarki hehe). Terus saya kepikiran begini: sebenarnya selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa atau kejadian sekecil apa pun.Dalam kasus Ahok VS Gerindra, misalnya, guru Bahasa Indonesia di kelas malah bisa memanfaatkan momentum itu untuk memomulerkan kembali kearifan lokal Indonesia yang namanya peribahasa.

Lalu saya mengkhayal berada di sebuah kelas pelajaran Bahasa Indonesia di sebuah SMA. Ibu guru, sebut saja namanya Bu Liliana Muliastuti, putar otak agar murid-muridnya yang bandel dan selama ini ngeremehin pelajaran Bahasa Indonesia, bisa tertarik membahas soal peribahasa.

“Anak-anak, sekarang kita belajar peribahasa. Kalian tahu tidak kalo Ahok sekarang dikait-kaitkan dengan peribahasa?”

“Tahu, Bu.”

“Nah, coba kamu Madin Tyasawan,” Bu Lili memanggil nama ketua kelas, “Apa peribahasa yang dikaitkan dengan Ahok?”

“Seperti kacang lupa kulit, Bu,” jawab Madin.

“Bagus. Ada lagi yang lain?”

‘Saya BU,” murid perempuan yang centil, namanya Mia Amalia, tunjuk tangan. “Air susu dibalas dengan air tuba.”

Suasana kelas mulai hidup. Anak-anak sekarang memperhatikan Bu Lili.

“Bagus. Sekarang kita coba menghubungkan tokoh lain dengan peribahasa. Coba kamu, Tri Agus Susanto Siswowiharjo, apa peribahasa yang cocok buat Amien Rais?”

“Tua-tua keladi, Bu,” kata Tri Agus yang dipanggil Tass oleh teman-temannya.

“Boleh juga. Kalau Puan Maharani?”

Murid-murid berebut tunjuk tangan. Bu guru menunjuk muridnya yang berwajah serius, Oyos Saroso H N.

“Coba kamu Oyos?”

“Erh… air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.”

“Bagus. Kalau ARB, Willy?” Bu Lili menunjuk muridnya yang bernama Willy Pramudya.

“Apa ya? Bak intan jatuh ke lumpur, Bu?”

“Masih kurang tepat. Coba yang lain.”

Willy antusias menjawab, “Saya tahu, Bu. Kalau ARB peribahasa yang cocok, awak tak pandai menari, lantai pula dikatakan berjungkit.”

“Hahaha,” seluruh kelas tertawa. Bu Lili menahan senyum.

“Eh, sudah-sudah. Sekarang kamu Iip,” Bu Lili menunjuk muridnya yang paling bandel, Iip Sariful Hanan. “Apa peribahasa yang cocok buat Prabowo?”

Iip serius berpikir, ia melirik Nila, murid perempuan yang paling cakep sekaligus paling seksi di kelas.

“Erh… karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”

“Tumben kamu pintar, Iip.”

“Tapi Bu, perasaan susunya Nila nggak sebelanga-sebelanga amat deh.”
Kelas ribut, tertawa. Bu guru kesal. Nila melempar Iip dengan buku bahasa Indonesia.

“Dasar bandel! Itu pelecehan namanya. Iip, ke sini kamu. Berdiri kamu di pojok kelas, angkat satu
kaki kamu!”

Iip pun patuh menjalani hukuman dari Bu Guru.