Toleransi di Tikungan
Oleh: Sudjarwo Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan Minggu lalu karena kehabisan ide orisinal untuk menulis, maka penulis melakukan penjelajahan data ditemani belahan jiwa, menelusuri jalan Trans Sumatera Lintas Barat. Setelah memeriksa kendaraan...

Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
Minggu lalu karena kehabisan ide orisinal untuk menulis, maka penulis melakukan penjelajahan data ditemani belahan jiwa, menelusuri jalan Trans Sumatera Lintas Barat. Setelah memeriksa kendaraan tua seadanya dan mengisi bahan bakar full tank, perjalanan dimulai dengan tanpa target. Tepat pukul sembilan pagi dengan kecepatan rata-rata limapuluh kilometer per jam, kendaraan tua dengan sopir tua, pengamatan dilakukan sepanjang jalan. Ternyata sampai batas ibu kota Kabupaten Tanggamus, tidak ada sesuatu yang menarik untuk dicermati. Semua berjalan rutin dalam ritme keseharian tanpa sesuatu yang menarik untuk ditulis.
Saat tiba waktu Zuhur, kami ‘berburu’ masjid terbaik di Kotaagung. Bertemulah kami dengan masjid yang halamannya luas dan bangunannya megah. Sayangnya, bangunan ini tidak iconik local content. Semua standar dan tidak ada yang layak untuk ditulis. Semua bangunan ibadah seperti ini.
Selesai melakukan ritual keagamaan, mulai bertanya dengan sesama jamaah tentang stasiun bahan bakar jika ingin menuju pada suatu arah kabupaten berikut. Setelah mendapat kepastian ketersediaan bahan bakar, penjelajahan dimulai. Setelah lebih kurang satu jam perjalanan ditemukan suatu daerah yang unik, yaitu daerah yang posisi geografisnya pada tikungan tajam mendekati sudut sembilan puluh derajat.Pda sudutnya ditemukan masjid yang sangat menarik untuk disinggahi.
Melihat bangunannya, masjid ini biasa-biasa saja. Standar masjid perdesaan dengan pola joglo lama, berhalaman cukup luas, serta ada sedikit kolam air di samping bangunan serta diberi air mancur mini. Namun ada yang sangat menarik dan tidak ditemukan pada masjid lain, paling tidak di provinsi ini, yaitu masjid ini menyediakan air panas dan minuman kopi serta teh gratis selama 24 jam.
Pengunjung kapan saja bisa menyedu sendiri kopi dan teh secara mandiri. Tidak peduli siapa kita: muslim atau non-muslim bisa mendapatkan kopi atau teh gratis. Tamu bisa duduk di beranda masjid dengan leluasa sambil minum kopi atau teh sepuasnya. Setelah minum, cangkir kotor cukup diletakkan dalam ember, nanti akan ada orang yang membersihkan. Di tengah beranda ada kotak amal. Tidak ada kewajiban untuk mengisi. Semua berjalan mengalir begitu saja.
Halaman masjid cukup bersih. Di tepi masjid ada kios buah-buahan yang juga menjual mi instan dan lain sebagainya. Dagangan itu bisa dibeli dengan harga standar. Semua berjalan alami dengan ditingkahi suara gemercik air sepanjang hari. Di sana pengunjung bercengkerama dengan tanpa melihat status sosial, agama, dan suku. Luarbiasa tingkat tolerensi keindonesiaan yang terbangun di halaman rumah ibadah ini.
Ketika penulis melakukanwawancara tak terstruktur terhadap beberapa pengunjung, penulis bertemu sopir travel dengan rute Jakarta – Bandarlampung – Krui. Pria nonmuslim itu selalu menjadikan masjid ini sebagai tempat andalan istirahat paling ideal. Setiap ia lewat di ruas jalan dekat masjid it, ia pasti mampir dan mandi, makan, kemudian ngopi di halaman masjid. Bahkan ia menyilakan penumpangnya untuk juga menikmati kopi panas yang ada di sana. Dengan jujur dia mengatakan sering juga memasukkan sedikit uang ke kotak amal sebagai rasa simpatinya.
Responden lain adalah seorang Tionghoa. Pria inii baru pertama mampir bersama rombongan tur. Ketika diminta kesan mengenai daerah itu di sekitar masjid itu, secara terus terang dia kagum. Dengan aksen khasnya, ia mengatakan daerah itu tampak damai sekali. Tidak ada mata yang menatap tidak suka kepadanya. Dia memborong durian dan mendapatkan pelayanan yang sangat baik dari penjualnya. Ia pun menikmati kopi panas yang disedu sendiri di teras masjid. Itu membuatnya bangga sekaligus haru.
Masih banyak data yang diperoleh. Jika dituangkan di sini semua, maka media ini menjadi karya tulis mahasiswa, rasanya tidak elok. Namun, ada yang dapat ditarik sebagai kesimpulan bahwa nilai-nilai keindonesiaan yang hakiki adalah: toleran ternyata masih ada dan hidup di tengah masyarakat. Tinggal bagaimana kita meneruslestarikan nilai-nilai ini supaya tetap terus hidup dan berkembang sesuai dengan tuntutan zamannya. Soal metodologi, silakan para ahli untuk merumuskan. Sementara materi akan menjadi lebih cantik jika dikemas sesuai dengan zamannya.
Mereka membangun toleransi tidak dengan teriak-teriak atau berswafoto untuk diunggah di medsos agar mendapat perhatian. Semua berjalan mengikuti ritme alam pegunungan yang asri dan ramah kepada siapa pun. Pada waktu bersamaan, bisa terjadi yang muslim melaksanakan ibadah di dalam masjid, sementara yang non-muslim duduk asyik masyuk menikmati kopi panas di tengah dinginnya udara pegunungan. Semua berjalan damai menikmati karunia Tuhan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari semua itu adalah: manakala rasa kemanusiaan mengalahkan ego manusia sebagai individu, maka tampaknya kedamaian adalah bukan sesuatu yang mustahil adanya.
Senja mulai temaram. Kami memuuskan untuk pulang. Perjalanan pulan menjadi tak nyaman karena kada ontraksi pencernaan tua bereaksi lantaran kebanyakan makan durian yang murah meriah.
Selamat ngopi pagi…