Setor Muka
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Batasan operasional setor muka pada umumnya dimaknai, “hadir”. Biasanya untuk suatu acara yang dilaksanakan oleh seseorang yang dianggap penting, agar yang bersangkutan (orang pent...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Batasan operasional setor muka pada umumnya dimaknai, “hadir”. Biasanya untuk suatu acara yang dilaksanakan oleh seseorang yang dianggap penting, agar yang bersangkutan (orang penting itu) mengetahui bahwa “si penyetor muka” telah datang. Biasanya “penyetor muka”, setelah terlihat oleh pengundang langsung pulang.
Setor muka dengan cari muka maknanya hampir sama, mungkin kalau dicari batas pemisah perbedaannya, “cari muka” punya konotasi mengharapkan penilaian baik dan punya interes yang sangat kuat. Sedangkan “setor muka” hanya melepaskan kewajiban atau kewajaran tidak terlalu berharap sesuatu penilaian baik, pokoknya dia sudah lihat saya hadir. “Ndak enak waktu pesta anak kita menikah mereka datang ”, demikian alasan bagi penyetor muka.
Namun, ada makna lain saat teknologi sudah seperti sekarang, setor muka lebih memiliki konotasi hadir (tidak absen) dengan menampakkan muka melalui penditeksi wajah. Karena saat sekarang wajah lebih banyak berperan untuk mengkonfirmasi keberadaan seseorang. Mesin deteksi wajah saat ini sudah begitu luas dipakai oleh instansi pemerintah maupun swasta, walaupun semula hanya digunakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan saja. Bahkan akhir akhir ini hampir semua perguruan tinggi mesin absensinya sudah menggunakan diteksi wajah, konon di Lampung beberapa perguruan tinggi sudah menggunakan, bahkan memiliki teknologi terkini, dan tidak lama lagi perguruan tinggi negeri ternama di Lampung akan menggunakan alat ini sebagai pencatat kehadiran.
Urusan pendeteksian wajah kita serahkan kepada para praktisi guna mengoptimalkan penggunaannya sebagai media pelayanan, dengan segala keunggulan dan kelemahannya sebagai cacat bawaan setiap produk budaya manusia, dan ini justru menunjukkan kesempurnaan produk tadi sebagai hasil karya manusia yang selalu memiliki dua sisi keunggulan dan kelemahan. Berbeda dengan ciptaan Sang Maha Karya yang selalu sempurna, sementara kelemahan yang melekat adalah akibat dari ketidakpahaman kita memahaminya sebagai suatu kesempurnaan.
Kaitannya dengan bahasan tulisan ini adalah bahwa “setor muka” itu merupakan suatu kuwajiban hakiki yang dilakukan oleh umat manusia kepada Sang Pencipta. Setiap agama agama langit memiliki cara tersendiri untuk mengatur metoda atau cara umat menghadap dalam rangka setor muka kehadapanNYA. Namun dalam sejarah perjalanan umat manusia soal inilah yang menjadikan perdebatan diantaranya, terutama berkaitan dengan keberadaan, arah dan tuntunan dari penyetormukaan. Bahkan sesama penganutpun sering memposisikan diri pada penilaian paling benar atau paling sempurna, padahal ukuran sebagai parameter bukan ada pada alat, pembilang, dan ukuran dunia lainnya; tetapi lebih kepada tingkat ketakwaan dan keikhlasan.
Persoalan menjadi melebar manakala “setor muka” dikaitkan dengan masalah sosial; dan ini memiliki implikasi yang tidak kecil kaitannya dengan persoalan kehidupan personal. Bisa dibayangkan hanya karena persoalan “setor muka” pada hari raya keagamaan, urusannya jadi satu negara dibuat repot, karena labelnya berubah menjadi “mudik”. Pelabelan ini pula yang pada akhirnya memberikan implikasi luas pada semua sector kehidupan.
Demikian juga pada saat ada pejabat baru dilantik, setor muka dan sekalian cari muka menjadi begitu penting, karena sering dikaitkan dengan jabatan, kedudukan, bahkan pendapatan. Akibatnya, segala cara dilakukan untuk mendapatkan harapan agar menjadi kenyataan, sekalipun itu melanggar aturan, bahkan adab kesopanan.
Retorika didengungkan, ilusi dibangun, musuh bersama diimaginasikan, sehingga perhatian focus pada pengenyahan; akibatnya bukan rekonstruksi yang dikedepankan, akan tetapi lebih kepada destruktif oportunistik, baik pada tataran ideology maupun pada tataran fisik. Oleh sebab itu, model pandangan hidup seperti ini selamanya akan memposisikan diri pada “orang kita” dan “bukan orang kita”. Perbedaan bukan sebagai karunia akan tetapi dianggap sebagai malapetaka, karena konsep pemikiran ini, yang baik itu adalah yang seragam, yang menurut, yang bisa menyenangkan, yang bisa diatur.
Di sinilah sebenarnya merdeka belajar yang hakiki; yaitu memerdekakan diri sendiri dari “menghamba” kepada sesuatu kecuali hanya kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, setor muka yang dituntut bukan hanya menghadapkan muka saja dengan segala aturannya, akan tetapi harus disertai keihlasan untuk penghambasahayaan diri kepada Sang Kholik. Tuhan hanya meminta kita bersabar dan selalu memperbaiki diri saat “setor muka” kehadapan-Nya; karena segala sesuatu yang kita jumpai di dunia ini sudah ditetapkan sebelum kita lahir dilahirkan.
Selamat ngopi pagi!