Sekolah Berdinding Geribik di Lampung Utara

Oleh: Sudjarwo Guru Besar IlmuIlmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Beberapa hari lalu mata dan rasa dikejutkan oleh berita yang terbaca pada media yang kita cintai ini; ternyata di provinsi yang gemah ripah masih ada sekolah yang berdinding geribik...

Sekolah Berdinding Geribik di Lampung Utara

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar IlmuIlmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Beberapa hari lalu mata dan rasa dikejutkan oleh berita yang terbaca pada media yang kita cintai ini; ternyata di provinsi yang gemah ripah masih ada sekolah yang berdinding geribik. Jika dilihat dari jarak geografis dari pusat pemerintahan daerahnya, Desa Handuyangratu, Kecamatan Bungamayang, Lampung Utara — tempat sekolah berdinding geribik itu berdiri– tidak terlalu jauh. Namun persoalan yang melingkarinya begitu membuat dahi berkerut.

Dr.Syarief Makhya, seorang akademisi Unila dan pemerhati masalah masalah kebijakan publik mengupas masalah ini dengan terang benderang (Baca: Sekolah Berdinding Geribik).

Pada tanggal yang sama pemerintah daerah melalui pimpinan kecamatan bertindak sigap setelah berita sekolah berdinding geribik viral di dunia maya. Mereka berjanji pada Senin, 25 Juli 2022, semua persoalan harus sudah selesai. Kabarnya, sekolah berdinding geribik ditinggalkan bahkan mau diratakan. Para murid akan ditampung di tempat yang layak dan akan dibangun gedung baru. Semoga ini bukan janji angin surga.

Berdasarkan informasi, SDN 1 Handuyangratu memiliki latar belakang yang sedikit “kusut”. Kabarnya, tanah tempat sekolah berdiri bermasalah. Kemudian pemerintah daerah terlalu berhati hati, bahkan cenderung membiarkan karena tidak paham akan memulai mengurai masalah dari mana. Akibatnya, tentu korban terakhir dan paling menderita adalah guru dan murid. Ini terbukti permasalahan ini sampai memakan waktu sepuluh tahun.

Jika kita simak dengan jernih, ada dua hulu persoalan yang kemudian menyatu pada hilirnya yaitu tempat bangunan pendidikan. Hulu yang pertama: akumulasi kecurigaan masyarakat kepada pemerintah yang berlebihan. Masyarakat memandang bahwa semua milik pemerintah itu pasti ada uangnya dan pasti ada permainan di dalamnya, sehingga apa pun bentuknya harus bayar di muka.

Sikap traumatik ini terjadi karena pengalaman masa lampau negeri ini. Pada masa lampau, dengan mengatasnamakan negara, oknum oknum tertentu dapat menguasai lahan masyarakat sesuka hati. Semua itu meninggalkan pengalaman psikologis yang pahit dan sangat sulit untuk dihilangkan dari kenangan kolektif mereka. Hal ini dibuktikan dari beberapa kali ledakan sosial persoalan hak kemilikan atas tanah yang muncul di mana-mana. Kasus Handuyangratu itu baru satu titik saja di negeri ini, yang kebetulan diviralkan dan dikawal oleh para pewarta. Daerah lain yang lebih bermasalah bisa jadi masih banyak lagi dan terlewatkan dari perhatian publik.

Hulu yang kedua: periodesasi kepemimpinan daerah yang tidak menyambung antara kepemimpinan satu dengan berikutnya. Kerap terjadi, wilayah yang warganya tidak memenangkan suara kepala daerah yang sedang memimpin pada satu periode tertentu, maka daerah itu tidak akan mendapatkan perhatian penuh bagi pemimpin daerahnya.

Bisa jadi, daerah tempat sekolah itu berdiri termasuk bukan daerah “kantung suara”  sehingga persoalan yang ada di daerah itu tidak menjadi  perhatian serius . . Padahal jika kita rasional, harga kendaraan roda empat yang dibeli pemerintah derah setiap tahun jauh lebih besar jika dibandingkan dengan untuk membangun satu unit gedung sekolah dasar.

Begitu kedua hulu tadi mengalir dan menyatu, maka akan terjadi kodisi berkelindannya persoalan satu dengan lainnya. Kondisi ini ditambah lagi pergantian kepala unit atau kepala satuan kerja, begitu serah terima pejabat lama tidak memberikan informasi persoalan yang ada.