Politik Eksistensial
Oleh Jauhari Zailani Hiruk pikuk Pemilihan Umum 2014, adalah Panggung sandiwara. Cerita kehidupan manusia dan berkutat soal kekuasaan. Rasa pantas dan layak menjadi penguasa. Penasaran anak manusia yang memimpikan dan yang pernah terhempas dari kekua...

Oleh Jauhari Zailani
Hiruk pikuk Pemilihan Umum 2014, adalah Panggung sandiwara. Cerita kehidupan manusia dan berkutat soal kekuasaan. Rasa pantas dan layak menjadi penguasa. Penasaran anak manusia yang memimpikan dan yang pernah terhempas dari kekuasaan. Parade manusia pengejar kuasa, menghiasi ranah publik dari segala sisi dan arah. Manusia dibimbing ambisi kekuasaan yang tergopoh-gopoh menggamit kuasa. Sementara sederetan manusia kecewa, kembali menggelar impian “nikmatnya” kekuasaan yang tercampak darinya.
Doktrin “uang” mampu membeli kekuasaan telah membius umat manusia. Dari hari ke hari membawa-bawa ilusi “siapa yang menguasai media, akan menggenggam dunia”. Upaya mengejar kekuasaan, bukan lagi impian, tetapi sudah di depan “mata”. Aneka daya dan upaya hanyalah syariat yang harus dilakoni oleh seorang jagoan zaman yang sedang mendekati panggung kekuasaan.
Harta dan uang, diyakini sebagai jalan mudah menggapai. Uang dan “gada” sebagai pembeli suara dan dukungan di “pasar bebas”. Aneka warna rupiah, telah dihamburkan ke atas, ke bawah, ke samping kiri dan kanan. Uang dolar telah berputar dari rekening pengejar kuasa dan penjual jasa. Masa lalu dirinya, dan keluarganya menjadi jaminan pemikat.
Berbagai tokoh dan “tokoh” telah menyatu di depan “super market” kekuasaan. Kian meyakinkan diri menuju orang-orang yang sedang mengejar “impian kekuasaan”. Ilusi bahwa kekuasaan dan kekuatan telah menyatu, dalam diri-diri pengejar bayang-bayang. Berbagai sifat raga dan jiwa telah meregang dan menerjang palang tuk menjangkau kuasa. Gulungan kertas telah ditulisi tentang kebaikan diri dan kelompoknya. Untuk sebuah promosi politik di pasar bebas.
Untuk sebuah promosi, segala cerita dan daya di pakai. Cerita mengemuka, dari yang fiksi maupun non fiksi. Daya dipergunakan dari yang ada maupun yang diada-adakan. Fakta dan yang nyata atau yang rekayasa. Upaya rekayasa citra menjadi pilihan yang realistis bagi sebuah perjuangan “mengejar impian”. Nama diri dan kelompok yang memang bagus, ditonjol-tonjolkan. Dijual di tempat-tempat yang bagus pula. Gaya penjajaan di tempat-tempat ibadah menjadi sah dan baik. Atas nama ibadah, para penjual “nama baik” menjajakannya di tempat-tempat ibadah. Mesjid dan gereja menjadi tempat yang strategis untuk membaguksan yang tak perlu dibagu-baguskan pun sudah bagus. Promosi kebagusan di tempat yang bagus, upaya sistimatis menutupi keburukan.
Tiba-tiba saja, “dunia” kita disesaki oleh nama-nama. Nama-nama itu, oleh media massa di cetak dan ditayangkan menjadi tokoh-tokoh. Bahkan dunai “pasar” telah menabalkan tokoh-tokoh karbitan menjadi idola dan panutan baru, dan bahkan pemberi inspirasi bagi generasi ini dan mendatang. Hari-hari ini dan kedepan, suka atau tidak, media massa, akan menjejali kita nama-nama baru. Kita dipaksa mengenal “tokoh-tokoh” yang berasal dari antah berantah. Seperi halnya, lima tahun silam Soetan Batugana dengan wajah yang antik itu, selalu menghiasi televisi kita. Kini, entah di mana, dan siapa pula yang hendak menggantikan perannya.
Kedepan, tokoh-tokoh kita itu, akan memaksa kita untuk menonton di media massa. Tokoh-tokoh itu akan berbicara dalam berbagai forum tentang aneka isu. Pagi hari di radio ia berbicara tentang Batubara, siang harinya ia mengulas tentang harga BBM, malam hari kita saksikan ia berbicara di televisi tentang penegakan Hukum. Pada kali lain, ia berbicara Ekonomi mikro, ekonomi makro, hingga ia pun berbicara soal etik dan moral. Sesuatu yang jauh dari apa yang dipikirkannya selama ini.
Pendek kata, dunia politik adalah panggung indah bagi tokoh-tokoh itu, dan laokn yang amat menyebalkan bagi kebanyakan orang yang lain. Tokoh-tokoh kita itu, hanyalah satu atau ribuan politisi, yang harus bermetamorfosa dari “bukan siapa-siapa” menjadi seseorang. Media massa menjadikan tokoh-tokoh kita itu, dari orang yang gagap bicara, tiba-tiba menjadi fasih berbicara tentang apa saja. Karena bagi politisi, bicara adalah soal keberadaan. Kian sering menjadi sumber berita, akan semakin populer. Dalam politik, kepopuleran itu semacam keharusan. Semacam “tuhan ciptaan media massa” yang baru saja menyadarkan esksistensi diri.
Media massa menjadi “pasar bebas” yang ilutif bagi politisi. Tokoh bangkotan maupun tokoh-tokoh karbitan. Lagak dan lagu aktor dalam panggung politik, memabokkan. Lebih terbius lagi para aktor oleh ulah media massa. Pemilu yang riuh rendah, hiruk pikuk suara tetabuhan telah menyesaki jagad Indonesia. Atas nama sosialisasi dan pendidikan politik, udara pekat dengan polusi isu. Aneka isu “gombal” beradu dengan awan putih “ilutif” yang melayang-layang. Awan berarak mengusung wayang-wayang dan dayang-dayang dalam bayangan.
Tokoh ksatria sempat menjadi idola. Sementara tokoh raksasa dihindari. Tetapi dunia sandiwara memang dunia ilusi, dunia rekayasa. Sutradara membuat setting cerita dalam lakon yang mengharuskan adanya tokoh ksatria dan rahwana, tentu saja di antarnya ada segolongan pengabdi. Golongan pengabdi pada golongan putih dikomandani oleh Semar dan anak-anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong. Togog bersama saudaranya memilih menjadi pengabdi kaum raksasa. Sepadan antara panutan dan pengabdi.
Dunia politik kita disesaki tokoh-tokoh ilusi. Peran manusia dalam jagad politik, adalah kepalsuan. Raksasa dan raksesi dipoles “bertopeng” menjadi ksatria. Aneka lambang dan simbol bertaburan. Aneka bintang berkedip di angkasa dan di pematang sawah. Aneka binatang menguik bukan pada tempatnya. Membingungkan. Rakyat terbata-bata membaca peran-peran dan simbol-simbol yang beredar dan berputar. Tak lah kuasa mengudar, mengurai, mengupas peran palsu para aktor.
Haruslah disadari, dalam panggung itu, aneka tokoh pergi dan datang bergantian. Wajah-wajah baru hadir menggantikan wajah lama. Yang menang menggantikan yang kalah. Tentu saja, dalam setiap kompetisi akan ada yang kalah, ada pemenang. Tokoh yang tenang, dan tokoh yang tegang. Ada perenung, ada juga yang menjadi bingung. Kemudian ada tokoh yang membesar, kemudian ada juga yang mengecil. Hukum alamnya memang begitu. Ada yang hadir, ada yang pergi. Ada yang lahir, ada yang mati.
Dalam “pasar bebas” ini, dogmanya adalah “mumpung” di panggung kekuasaan, kuasai panggung. Sejatinya, politisi adalah makhluk eksistensial. Menjadi Togog atau Semar, menjadi satria Arjuna atau culas seperti Sengkuni, menjadi sebuah pilihan peran. Pilihan yang terikat waktu dan tempat. Masa lalu, kini dan akan datang sama saja bagi WS Rendra. Tetapi bagi Nietzsche, Sartre dan gerombolanya, manusia terikat waktu dan tempat. Karena waktu dan tempat menjadi wahana dan membatasi eksistensi manusia.
Waktu dan tempat menyediakan wahana, yang bagi Bordieaux ditandai sebagai lahan persemaian “pembudayaan” manusia. Melalui pendidikan dan lingkungan “jerat-jerat” manusia bebas terbangun. Mesti diingat, keberadaan manusia adalah kumpulan dari kebiasaannya. Sebuah nama, adalah kumpulan dari kegiatan-kegiatannya. Dalam aktivitas sehari-hari, manusia menjadi cermin diri dan budaya komuntanya. Meski seseorang memiliki sejumlah pilihan dari atribut kebebasannya, manusia diri acap terpenjara oleh “norma” kelompoknya.
Di tengah krisis identias, menjadi diri sendiri menjadi langka. Diri-diri autentik tergerus budaya massa. Seseorang yang berani Jujur dan berani menjadi diri sendiri menjadi sesuatu yang mewah. Memang diperlukan sebuah keberanian untuk menggugat diri sendiri. Harus berani membuka topeng-topeng yang ada di wajahnya. Topeng yang acap menyelamatkan dari goncangan dan ancaman “norma” kelompok. Jika tak kuasa bertindak jujur, seseorang akan larut dan menjadi “Manusia Massa”. Demikian petuah Kierkegaard seratus tahun yang silam.
“Manusia Massa” itu berbahaya, berperilaku tanpa sadar dan tanpa tanggung jawab. Dengan berlindung dibalik kelompoknya, seseorang dengan enteng mengejek bahkan memfitnah temen dan saudara sendiri. Acapkali berapologi “kita hidup dalam sistem”, untuk menutup kepengecutannya. Memang, norma dan etika kelompok telah memenjara, tapi sejatinya manusia memiliki kebebasan memilih. Hanya yang berani dan jujur akan eksis diri, dan menjadi diri sendiri. Bukankah sistem telah mengatur dengan sesuatu, dan sesuatu itu buah dari kesepakatan “kita”?. Adagium yang hanya berlaku sejauh tidak merugikan pihak lain.
Sayangnya “manusia massa” tak sadar, bahwa kelompok selalu dikuasai kelompok dominan. Yang membuat pagar berduri bagi anggotanya. Suatu kali, mungkin saja “kita” bersi”keukeuh” dan jijik pada kelompok lain. Tapi faktanya, mereka secara individu, anggota-angggota kelompok itu, temen-temen dan saudara “sebudaya” juga. Saudara-saudara dari “kerangkeng” budaya yang sama. Sikap seperti itu acapkali sama sekali tidak disadari. Padahal sama saja dengan telah mematikan makna dan spirit “bersama” yang telah di bangun bersama. Bahkan, kemudian “norma” itu menjadi kebanggaan bersama. Tanpa sengaja tindakan dan pilihan itu telah membunuh naluri berkelompok. Hingga dengan sadar atau tidak, tindakan dan pilihan itu telah mengusir temen atau saudara dari kelompok dan menjadi kelompok orang lain, kemduian disebut sebagai musuh.
Acapkali tanpa sadar bertutur dan berujar, bersikap dan bertindak, yang menurut persepsi “kita” sudah teramat benar, namun melupakan satu hal lain, bahwa kebenaran itu tidak pernah tunggal. Pasti ada juga kebenaran yang lain, yang juga diyakini oleh orang lain. Kalau keyakinan itu menjadi pegangan, kemudian menjadi pijakan sikap dan tindak, faktanya: artinya sudah memusuhi orang-orang yang juga meyakini kebenarannya sendiri. Tak sadar, berada dalam struktur dominan, menjadi korban “Manusia Massa” terpenjara dalam “Bius Massa” bernama solidaritas kelompok.
***
Mengingatkan siapa yang dapat diingatkan, sebelum menunjuk pihak liyan salah dan bodoh, barangkali saja diri-diri ini yang telah berubah. Hanya karena gagal membujuk, mempengaruhi, mengajak, mengarahkan, atau memaksakan ide dan keyakinannya, menganggap pihak sendiri yang paling benar, yang lain salah. Padahal, mungkin cuma berbeda.
*Dr. Jauhari Zaelani adalah dosen Universitas Muhammadiyah Lampung