Polemik Kepala Desa Subik, Ungkap Ketidakpiawaian Pemkab Lampung Utara

Feaby Handana Suasana gaduh rasanya begitu akrab dengan Pemkab Lampung Utara selama beberapa tahun terakhir. Terbaru, kegaduhan terjadi akibat adanya polemik berkepanjangan dalam persoalan Kepala Desa Subik, Abung Tengah. Penyebab kegaduhan dikarenak...

Polemik Kepala Desa Subik, Ungkap Ketidakpiawaian Pemkab Lampung Utara
Mantan Kepala Desa Subik, Abung Tengah, Lampung Utara (Poniran HS-kiri) ‎didampingi kuasa hukumnya Suwardi (Suwardi dan rekan) menganggap pelantikan Yahya sebagai kepala desa tidak sah.

Feaby Handana

Suasana gaduh rasanya begitu akrab dengan Pemkab Lampung Utara selama beberapa tahun terakhir. Terbaru, kegaduhan terjadi akibat adanya polemik berkepanjangan dalam persoalan Kepala Desa Subik, Abung Tengah.

Penyebab kegaduhan dikarenakan adanya ‎surat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa belum lama ini. ‎Sebab, dalam‎ surat dengan nomor 100.3.5.5/0479/BPD itu, Kemendagri menegaskan bahwa kebijakan Pemkab Lampung Utara yang mengangkat Yahya Pranoto sebagai Kepala Desa Subik pada awal Desember 2022 lalu itu adalah sebuah kesalahan.

Mereka beralasan bahwa pengangkatan itu tak memiliki dalil hukum. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 dan maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 201‎7, semuanya tidak ada yang membenarkan kebijakan tersebut. Pendek katanya, kebijakan itu dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.‎

‎Alasan ini jugalah yang menyebabkan mereka meminta Bupati Budi Utomo untuk mengklarifikasi dan menyelesaikan permasalahan itu sesuai dengan ‎ketentuan dengan tetap menjaga kondusifitas dan stabilitas desa. Tak hanya itu, mereka juga menganggap bahwa bupati dapat memberhentikan Yahya dari posisi yang baru ditempatinya sejak dua bulan terakhir.

Mereka juga menyatakan bahwa Poniran HS dapat kembali menempati posisinya seandainya tidak terbukti bersalah dalam dugaan penggunaan ijazah palsu dan pun demikian sebaliknya. Perkembangan terbaru dari persoalan ini wajib dilaporkan pada mereka.

Respons pihak Kemendagri ini bak dua sisi mata uang. Dari sudut pandang Poniran HS, kesimpulan dari pihak Kemendagri ini cukup menggembirakannya. Sebab, kesimpulan ini dapat sedikit mengobati lukanya akibat diberhentikan dari posisinya semula.

Jika Poniran HS mungkin merasakan sedikit kebahagian, berbeda halnya dengan Pemkab Lampung Utara. Wajah mereka bak terkena hantaman sebuah godam raksasa. Keberadaan surat itu seakan‎ mengungkap kesemberonoan mereka dalam mengatasi persoalan tersebut.

‎Sekeras apapun bantahan dari Pemkab Lampung Utara, publik tetap tidak akan mempercayai alasannya. Mereka tentu akan lebih condong mempercayai isi surat tersebut. Sebab, kesimpulan itu dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam urusan pemerintahan. Orang-orang yang di dalamnya pun bukanlah orang sembarangan. Kredibilitas mereka sudah tak lagi diragukan.

‎Kalau mau jujur, kesalahan yang dilakukan oleh pemkab dalam urusan ini adalah puncak dari kesalahan mereka sebelumnya. Mereka terlihat terlalu terburu-buru untuk mencopot Poniran HS dari posisinya sebagai kepala desa. Padahal, kala itu, kasus dugaan ijazah palsu yang menyeret Poniran HS masih dalam proses banding PTUN Medan. Meski dalam perjalanannya, hasil banding masih tetap menyatakan ijazah yang digunakan itu tidak sah.

Pencopotan Poniran HS dari posisinya itu dituangkan dalam ‎surat keputusan Bupati Lampung Utara dengan nomor B/325/25-LU/HK/2022. Surat itu diterbitkan pada 4 Oktober 2022. Tak terima dengan keputusan tersebut, Poniran pun kembali melakukan perlawanan. Pengajuan kasasi dijadikannya sebagai pilihan utama di samping upaya lainnya.

Menariknya, dalam SK tersebut, pemkab sengaja menyelipkan‎ Pasal 48 ayat 6 dalam Peraturan Bupati Lampung Utara Nomor 44 Tahun 2021. Pada intinya, pasal tersebut berisikan kemungkinan naiknya calon peraih suara terbanyak kedua untuk dilantik sebagai kepala desa terpilih jika calon kepala desa terpilih berhalangan tetap, atau meninggal dunia.

Terselipnya pasal 48 dalam SK tersebut membuat publik menjadi sedikit‎ curiga. Meski begitu, mereka tak ingin berburuk sangka pada pemkab. Sebab, tak mungkin rasanya pemkab sekonyol itu untuk mengangkat Yahya menggunakan dalil hukum yang tidak pas tersebut. Pasal itu khusus digunakan untuk calon kepala desa, sedangkan Poniran HS sudah lebih dari 6 bulan menyandang status kepala desa.

Di samping itu, masih ‎terdapat cara lain yang lebih layak dan bijaksana untuk digunakan jika memang menginginkan posisi kepala desa segera terisi. Langkah yang dimaksud adalah menggelar pemilihan kepala desa antarwaktu karena masa jabatan yang tersisa lebih dari satu tahun. Langkah ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014.

Sayangnya, kecurigaan mereka terbukti benar adanya. ‎Pemkab akhirnya memutuskan untuk mengangkat Yahya Pranoto sebagai pengganti Poniran HS. Dasar pengangkatan pun ternyata sama. Pasal 48 ayat 6 yang menjadi dasarnya. Kebijakan itu terang saja membuat publik geleng-geleng kepala.

Publik khawatir kebijakan serampangan ini akan membuat persoalan ini semakin runyam di kemudian hari. Bisa saja keputusan tersebut dibatalkan atau dianggap tidak sah karena tidak ada dalil hukumnya di masa mendatang. Kekhawatiran mereka pun akhirnya terbukti benar adanya Melalui Kemendagri, Pemerintah Pusat menyatakan kebijakan pemkab tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada.

Lantaran nasi sudah jadi bubur. ‎Pemkab Lampung Utara sepertinya tidak memiliki pilihan lain di samping mengakui secara jantan kekhilafan yang dibuat. Rasanya, publik pun akan dengan tangan terbuka menerima fakta tersebut. Namun, tentu saja langkah itu tak perlu dilakukan sepanjang mereka mampu mematahkan pendapat dari Kemendagri dengan dalil-dalil hukum yang kuat.

Sebelum melangkah ke arah sana, hendaknya pemkab memperhitungkan terlebih dulu akan untung atau ruginya langkah tersebut. Selain semakin menggerus kepercayaan publik, langkah ini berpotensi ‘menyinggung’ Pemerintah Pusat. Sebelum mengeluarkan pendapat, tentunya para pejabat disana telah melakukan kajian secara mendalam.