Perpecahan dan Kebencian
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Membaca tautan di media yang kita baca ini beberapa hari lalu Mas Hari Wardoyo (HRW) mengunggah tulisan Peter F.Gontha berkaitan dengan pengusaha Amerika yang diloby oleh orang nom...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Membaca tautan di media yang kita baca ini beberapa hari lalu Mas Hari Wardoyo (HRW) mengunggah tulisan Peter F.Gontha berkaitan dengan pengusaha Amerika yang diloby oleh orang nomor satu di negeri ini, memutuskan tidak berinvestasi di negara kita, tetapi justru memilih Negara Gajah Putih. Alasan yang ditampilkan sangat miris sekali karena negara ini masyarakatnya gemar menanam kebencian yang berakibat pada perpecahan.
Jujur membaca artikel itu sedih, marah, gundah, geram dan entah apa lagi berkecamuk dalam alam rasa sebagai warganegara, karena persoalannya hal itu benar adanya. Bahkan membaca dan merenungkannya seolah olah kita berdiri di muka cermin, dengan jujur melihat bercak bercak noda yang ada di wajah kita, yang semua itu tidak mungkin kita hindari. Hanya ada satu pertanyaan: maukah kita jujur mengakui semua itu sebagai kelemahan dan kemudian dicari cara untuk memperbaikinya. Atau malah kita sibuk mencari kambing hitam dengan menyalahkan pihak lain, bahkan negara lain; karena kebiasaan ini seolah menjadi darah daging kita sejak lama.
Kita telisik satu per satu, dari sistem pemilihan, apa pun pemilihan itu; yang selalu memosisikan diri mereka dan kita. Mereka selalu sebagai kata wakil dari musuh yang harus dienyahkan, sementara kita kata wakil dari kelompok yang kita ada di dalamnya dan selalu benar. Belum lagi pola menciptakan “berhala musuh bersama”. Cara ini dibangun melalui stigma bahwa ada ancaman yang tidak terlihat, maka kita harus selalu waspada; celakanya paradigma yang dibangun “ yang berbeda dengan kita itu musuh kita”; karena musuh kita harus dienyahkan bersama. Kita bangun sub sub ordinat untuk menghadapi “musuh” yang tidak lain saudara kita sendiri, satu tanah air, satu lagu kebangsaan, satu bahasa.
Benih-benih kebencian ini ditebar di mana-mana. Tidak peduli apakah itu di perguruan tinggi yang katanya gudang orang pandai arif bijaksana ternyata lebih tajam kebencian yang dibangun, di kantor pemerintah, atau swasta, bahkan sampai di desa desa. Yang mengerikan, rumah ibadah pun juga dijadikan sasaran. Media yang digunakan apa saja: bisa ideologi, agama, partai, bahkan sampai kelompok tani. Pendekatan konfrontatif menjadi mengemuka. Kebencian menjadi subu. Tentu di ujung sana perpecahan sudah akan menunggu.
Ironisnya kementerian yang dibentuk untuk mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan ini menterinya hanya sibuk dari studio ke studio televisi, tidak jelas jejak pekerjaannya, dan apa yang dikerjakan. Akibatnya, semua hanya wacana, retorika, berdalil dan lain sebagainya; tidak ada action plan yang jelas untuk membangun kebersamaan; mengerikan lagi pernyataannya terkadang ikut menyulut kebencian, atau malah mengarah kepada perpecahan.
Pimpinan tertinggi negeri ini bak pemain sepak bola; yang seharusnya berada di bawah mistar gawang, terpaksa harus menjadi penyerang sendiri, bek kanan dan kiri yang seharusnya ada di depan gawang, terpaksa turun mengawal penyerang sampai di muka gawang lawan. Sementara para pemain lain hanya bediri ditempat, terkadang menjadi penonton, sesekali menjadi pemetik bola. Oleh sebab itu tidak aneh jika diantara mereka “dipetik” oleh lembaga rasuah untuk dijebloskan ke dalam kandang besi.
Akhir-akhir ini menjelang masa periodesasi berakhir, makin tampak libido masing masing untuk meraih kekuasaan tertinggi. Hal itu boleh boleh saja, hanya menjadi persoalan mereka menjadi gelap mata, bahwa saat ini mereka adalah pembantu dari suatu sistem kepemerintahan. Akibatnya makin tampak bagaimana orang nomor satu di negeri ini menjadi pedagang sate.
Ironisnya, kebiasaan begini menular ke bawah, kekuasaan di raih dengan segala cara, termasuk melanggar aturan, kepatutan, bahkan etika. Ini dibuktikan dengan tidak adanya lembaga yang utuh dalam pengertian terhindar dari adanya konflik internal yang terbuka, apakah dia organisasi politik, organisasi masa, bahkan sampai perguruan tinggi; di sana berkecenderungan ada kelompok yang diposisikan sebagai “musuh bersama”; atau minimal “bukan orang kita”.
Akibatnya, sinergitas dimaknai secara sempit, yaitu hanya untuk “teman-teman” yang segaris. Mereka yang tidak pada posisi itu harus dipecat, dipinggirkan, atau minimal dibuat tidak betah ada di dalam. Mereka pada akhirnya memutuskan keluar dari garis; dan itu sesuatu yang sangat diharapkan, karena alasan yang keluar justru tampak manis sekali, karena yang bersangkutan mengundurkan diri. Cara eliminasi seperti ini tentu ujungnya sudah kelihatan terbangunnya kebencian sistimatis dan buta, yang berakibat pada perpecahan yang cenderung membiak.
Terimakasih pada Peter F.Gontha dan maturnuwun pada HRW yang telah mengingatkan kepada kita semua, bahwa kebencian yang ditabur,akan kita tuai perpecahan diakhirnya. Tinggal kita bersikap apakah kita akan memposisikan beliau berdua juga sebagai “musuh bersama” atau sebagai sahabat yang mengingatkan kita akan kelalaian yang sudah kita perbuat. Semua kembali pada hati nurani masing masing. Tentu bagi mereka yang berpikir jernih, dan visionerlah yang beranggapan ini pengingat yang harus selalu diingat.
Selamat menikmati kopi hangat.