Minyak Goreng dan Manusia Serakah

Oleh Syarief Makhya Akademisi FISIP Universitas Lampung Setelah Jaksa Agung menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, sebagai tersangka kasus pemberian izin ekspor minyak goreng, terungkap...

Minyak Goreng dan Manusia Serakah
Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)

Oleh Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung

Setelah Jaksa Agung menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, sebagai tersangka kasus pemberian izin ekspor minyak goreng, terungkaplah dengan jelas bahwa penyebab kelangkaan minyak goreng karena sengaja ditimbun untuk kepentingan bisnis yang lebih menguntungan dibandingkan dijual ke masyarakat. Di sini, negara diakali oleh keputusan Dirjen, pejabat eselon satu memberikan izin kepada pengusaha untuk mengekspor migor ke luar negeri.

Dalam logika masyarakat awam alangkah teganya seorang pejabat yang notabene sudah kaya raya bercukupan, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan yang terhormat, berani mengeluarkan izin ke pengusaha dan mengorbankan masyarakat kecil yang dalam beberapa bulan kehilangan migor, kalaupun ada harus membeli dengan harga mahal.

Fenomena pejabat itu adalah sosok manusia serakah. Istilah manusia serakah adalah konsep yang digagas oleh Prof. Arief Budiman (alm) ketika menjelaskan tentang kapitalisme di Indonesia. Dalam pandangan Arief Budiman (1989), manusia serahkah adalah tingkah laku manusia di mana kepentingan diri sendiri secara berlebihan diutamakan; keserakahan yang dimaksud di sini adalah keserakahan harta benda yang ada kaitan dengan dengan kesejahteraan masyarakat.

Fenomena manusia serakah di Indonesia, bukan persoalan akibat hasil dari perjuangan individu akibat kerja keras dan bersaing secara sehat, tetapi karena peran Negara yang tidak melakukan pembatasan kepemilikan dan penguasaan alat produksi serta persaingan yang tidak sehat. Negara di sini melakukan ekspolitative state yaitu melakukan kebijakan yang menguntungkan pengusaha yang memiliki kedekatan terhadap akses kekuasaan.

Di negeri ini, tidak aneh jika sumber daya hanya dikuasi segelintir orang. Tidak ada larangan seseorang menguasai lahan ribuan hektar, memiliki hutan, menguasai pasar yang monopolistik, menguasai puluhan pasar moderen atau mal, dsb.

Kelangkaan minyak goreng, harga minyak goreng mahal atau ambisi pengusaha untuk mengekspor minyak goreng adalah bagian dari sistem ekonomi yang kapitalistik, yang berakibat Negara dikalahkan oleh sistem mekanisme pasar dan tidak bisa melakukan intervensi apa pun.

Presiden Jokowi akhirnya melarang ekspor sawit (bahan baku minyak goreng) dan minyak goreng dengan harapan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri akan membaik hingga membuat harganya bisa turun. Namun, sekarang ini kendati ketersedian minyak goreng memang berlimpah tetapi harga tetap mahal tidak sesuai dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat bawah yaitu Rp 14.000 per liter.

Mengapa? Sekali lagi lima perusahan yang menguasai migor yaitu group Wilmar, group Musim Mas, PT Smart Tbk, Asian Agri yang dimiliki Royal Golden Eagle International (RGEI) dan Perusahan Group Permata Hijau, ini lah yang memainkan harga migor dan menuntut kelayakan kenaikan harga migor. Pada hal dalam pendapat politisi Golkar Nusron Wahid tidak selayaknya mereka menaikan harga migor karena “Apa artinya sebagai produsen kelapa sawit terbesar kalau harga yang didapat rakyat harus mengikuti mekanisme pasar?

Peran Negara?

Apakah manusia serakah bisa diubah? Sepertinya akan sulit karena karakter manusia serakah bukan kodrati, tetapi dalam sistem kapitalisme keserakahan itu harus dikelola supaya pasar bebas tidak terganggu. Jadi, Fenomena kelangkaan migor dan tuntutan produsen migor untuk menaikan harga akan terus berulang tidak hanya pada migor tetapi juga pada barang lain, karena Negara dalam posisi yang sangat lemah dan dikendalikan mekanisme pasar; pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi tidak bermakna.

Sebagaian besar masyarakat, khususnya masyarakat bawah mereka tidak mau tahu dibalik harga minyak gorang sangat mahal, tuntutan mereka harga harus wajar dan sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat. Jadi, dalam perspektif ini, tanggung jawab sepenuhnya dalam mengendalikan mekanisme pasar ada pada peran negara.

Tuntutan aksi unjuk rasa mahasiswa beberapa minggu yang lalu yaitu turunkan harga, adalah cerminan aspirasi publik yang seharusnya segera direspon oleh pemerintah; sebab jika pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat dan masih tetap dikendalikan oleh mekanisme pasar sangat potensial akan terjadi lagi kemorosotan politik dan menimbulkan gejolak yang berkepanjangan.

Apa yang dilakukan pemerintah hanya mengatasi masalah yang sifatnya sementara yaitu dengan mengeluarkan kebijakan BLT minyak goreng sebesar Rp300 ribu untuk tiga bulan kepada masyarakat miskin. Seberapa lama BLT ini akan terus diberikan pada masyarakat atau apakah pasca pemberian BLT selama tiga bulan harga minyak gorang akan kembali turun?

Tidak ada jawaban yang pasti terhadap pertanyaan tersebut. Menurut Research Director at Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal menjelaskan, strategi pemerintah untuk memberikan BLT minyak goreng adalah keputusan jangka pendek. Inti permasalahan mahalnya minyak goreng adalah adanya spekulan di tahap distribusi. Jadi, sekali kehadiran dan peran Negara menjadi menentukan dalam mengendalikan stabilitas harga.***