Menyelam di Air Dangkal
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila Pada saat akan melakukan cek ulang kesehatan sesuai permintaan dokter yang merawat, terpikir akan menggunakan jalur mana, apakah menggunakan asuransi milik pemerintah (BPJS) atau...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila
Pada saat akan melakukan cek ulang kesehatan sesuai permintaan dokter yang merawat, terpikir akan menggunakan jalur mana, apakah menggunakan asuransi milik pemerintah (BPJS) atau menggunakan jalur privat/mandiri yang lebih simpel dan praktis. Atas pertimbangan ingin mendapatkan pengalaman seperti apa menggunakan jalur asuransi yang katanya ribet alias ruwet itu, diputuskan menggunakan jalur BPJS. Ini sekaligus melakukan penelitian mini dan wisata sosial pada satu rumah sakit swasta — tempat saya diwisatakan Tuhan beberapa waktu lalu.
Petualangan sosial dimulai: identitas diri ditanggalkan, semua membaur seperti Clifford Geertz — seorang antropolog Amerika yang paling dikenal melalui penelitian-penelitiannya mengenai Indonesia dan Maroko dalam bidang agama, perkembangan ekonomi, struktur politik tradisional, serta kehidupan desa dan keluarga. Adapun metodologi yang dipakai lebih pada partisipatif aktif dengan pendekatan etik dan emik berikut segala persyaratannya.
Episode pertama tepat pukul tujuh tigapuluh pagi dimulai dengan mengikuti prosedur melakukan pendaftaran pasien khusus asuransi pelat merah. Barisan itu berisi segala macam masyarakat dari lapisan apapun. Dari tukang becak, tukang ojek, simbok bakul sayur, sopir, pensiunan dan masih banyak lagi, tetapi tidak ditemukan pegawai negeri aktif. Perbincangan mereka mengasikkan: dari soal minyak goreng langka sampai korona. Semua ada, namun tidak ada satu kata pun memperbincangkan politik.
Hiruk pikuk terjadi manakala mereka disuruh antre. Ternyata paling sulit mengatur mereka untuk tertib. Padahal peneliti sudah ikut baris dari pukul tujuh tiga puluh pagi, ternyata terlempar ke nomor urut dua belas, mengasyikkan untuk dinikmati. Mereka senang sekali bergerombol di muka loket dan aroma badan yang khas, untung makan pagi sudah dilakukan dengan baik, jika tidak bisa bisa pusing tujuh keliling.
Pada saat duduk menunggu panggilan, tampak sekali bagaimana mereka menggunakan berbagai cara agar mendapat panggilan terdahulu sekalipun tidak sesuai nomor urut. Cara yang mereka lakukan antara lain menghubungi teman, kerabat, handai tolan yang bekerja di rumah sakit ini untuk mendapatkan sedikit hak istimewa melampaui urutan yang ada. Menariknya, mereka semua sudah menggunakan piranti teknologi komunikasi masa kini, dan tentu bertelepon ria dengan volume suara yang cukup lantang, bahkan sesekali ada yang menggunakan program tatap wajah (video call), berasyik ria tidak peduli mengganggu orang atau tidak bahkan tampak diraut wajahnya rasa bangga.
Hasil dari wawancara tidak tersetruktur ternyata mereka mengeluhkan bagaimana mempersiapkan surat-surat administrasi, terutama di Puskesmas sebagai rujukan. Mereka seolah masuk taman sesat karena harus menunggu dan menunggu yang tidak jelas, dari satu tindakan ke tindakan berikutnya intervalnya lama. Alhasil satu hari penuh mereka hanya untuk mendapatkan satu lembar surat. Ada di antara mereka mengatakan penyakit bisa sembuh bukan karena obat tetapi karena mengurus surat. Ini tantangan tersendiri yang penulis berniat untuk masuk ke dalam taman sesat tersebut guna membuktikan apa yang dikatakan mereka.
Ada kebiasaan baru yang tampak pada masyarakat ini: mereka semua patuh terhadap protokol kesehatan, termasuk tidak merokok; bahkan cenderung berlebihan. Kebiasaan duduk yang berhimpitan mereka tidak lakukan. Namun sikap duduk tidak perlu ditanyakan: ada yang nongkrong di kursi tempat yang harusnya diduduki, menaikkan kaki terutama laki-laki. Sementara ibu ibu tidak satu pun yang tidak menutup aurat, hanya saja kombinasi warna, menjadi sangat pelangi karena rata-rata mereka mengenakan pakaian tidur (daster). Namun kebiasaan untuk berbicara riuh tetap saja, bahkan yang sedang sakit berselimut tebal pun tidak mau tertinggal, berbicara riuh.
Pada saat dilakukan cek silang (cross check) data pada petugas, jawaban mereka bahwa perilaku pasien yang didominasi kelas menengah ke bawah ini sangat sulit di atur, bahkan mereka agak memaksa petugas untuk meminta dilayani lebih awal. Ketegasan untuk membagi nomor urut diperlukan, dan meminta mereka tertib tidak henti hentinya. Diakui terkadang petugas sesekali terpancing emosi, mereka merasa tidak dihargai dan lain sebagainya.
Episode kedua, menuju poliklinik sesuai penyakit yang diderita dimulai. Jumlah peserta terbagi kepada poliklinik yang ada, namun ternyata poliklinik tempat penelitian ini berlangsung justru sangat ramai. Populasi hampir mendekati sembilan puluh persen menumpuk di sini. Tentu ini menarik: ada apa sebenarnya daya tarik yang menjadikan daya dorong mereka untuk menjadi pasien dokter ahli penyakit dalam ini?
Perilaku mereka di tempat ini tidak banyak berubah dibandingkan pada saat di loket pendaftaran. Menariknya, sangat jarang pasien yang rerata lansia ini didampingi oleh pengantar, atau pendamping. Kebanyakan mereka mandiri, dan di dominasi oleh wanita. Sekalipun tertatih-tatih mereka tetap menampilkan perilaku mental trabas. Nomor urut pendaftaran tampaknya sudah sangat terabaikan. Menarik untuk diamati bagaimana perilaku usia senja ini semua minta prioritas mendahului yang lain, dengan alasan hampir sama yaitu lelah. Kemudian mereka sangat irit untuk berbelanja, sekalipun di dekat antrwan ada kantin mini; mereka tidak tertarik. Alasan yang sangat menggelikan, uangnya lebih baik untuk cucu, atau keperluan lain.
Pada saat di cek kepada petugas kantin, kondisi ini dibenarkan mereka, bahwa yang belanja membeli dagangan mereka kebanyakan sesama petugas, sementara pasien yang membeli pada umumnya usia muda. Untuk para lansia mereka tidak berharap karena cenderung tidak mau belanja, bahkan cenderung pelit.
Tatkala ditanya kepada para pengantre secara acak mengapa mereka memilih dokter ini; jawaban mereka rata-rata sama, dokternya ramah, pelayanan yang diberikan tidak membedakan orang yang dihadapi. Semua keluhan didengarkan dengan cermat. Mereka merasa sudah melihat dokternya, penyakit separo sudah sembuh. Walaupun jawaban ini tampaknya hiperbola, tetapi ada yang menarik ialah faktor keyakinan, mendominasi keterpilihan dokter dalam mata dan hati pasien.
Menunggu giliran hampir tiga jam, sambil menikmati tingkah polah pasien memang mengasikkan. Ada yang tidak mau beranjak sedikit pun dari tempat duduk, karena khawatir tidak dapat tempat lagi jika ditinggal untuk sesuatu keperluan. Ada yang sibuk dengan gawainya bercanda ria dengan cucu yang entah di mana, ada yang selalu berpandangan curiga dengan orang lain karena serasa ingin mencuri barang miliknya, ada yang asyik tidur bersandar, ada yang sibuk menemui petugas panggil untuk minta segera dan ini yang paling banyak. Pasien paling sabar tampaknya pada periode ini adalah bapak-bapak. Kebanyakan mereka duduk diam dan entah apa yang dilamunkan.
Saat diwawancarai berkaitan dengan pelayanan, satu di antara mereka mengatakan bahwa antrean paling menyesakkan nanti adalah saat ambil obat di apotek. Waktu yang dihabiskan bisa dua sampai tiga jam. Terbayang oleh penulis bagaimana itu terjadi. Pada satu kesempatan dapat mewawancarai petugas pelayan apotek, ternyata antrean bisa terjadi sedikit kacau. Penyebabnya, pertama, memang pasien sendiri minta berebut ingin dilayani terlebih dahulu. Kedua, kelangkaan obat yang harus menunggu datangnya dari distributor. Ini jarang dipahami oleh pasien terutama yang asuransi pelat merah. Ketiga, memang diakui ada ulah karyawan yang nakal yaitu mendahulukan keluarganya atau kerabatnya.
Akumulasi ketiganya membuat waktu yang disediakan pasien untuk mengambil obat menjadi sangat panjang. Ternyata mereka sebelum mendapat obat harus minum obat dulu yaitu kesabaran yang tak terbatas. Wajah letih, lesu, dan kesal tampak terbersit pada mereka mereka yang antri obat atas nama asuransi pemerintah. Salah seorang responden waktu ditanya sudah berapa lama mengantre, dengan wajah memelas mengatakan sudah dua jam yang lalu.
Acara penelitian mini menjadi bubar, tepat pukul sebelas duapuluh menit; gara-gara mendapat panggilan masuk keruang dokter, dan dokter memanggil dengan panggilan gelar; akibatnya semua yang dilakukan secara “bawah tanah” menjadi berantakan. Sikap perawat yang semula agak ketus berubah menjadi ramah. Semula ingin antre obat sendiri agar merasakan bagaimana keluh kesahnya warga, tidak jadi dilakukan karena obat sudah tersedia di atas meja. Maka penulis saat itu betul betul menyelam di air yang dangkal.
Hikmah yang di dapat dari peristiwa ini adalah bagaimana manusia masih sering terjebak akan penghormatan duniawi, bukan uhrowi. Label simbol keduniaan sering membuat manusia lupa akan keadaan seharusnya, bukan sebagusnya. Pelayanan sumir untuk sekedar menyenangkan atasan tampaknya masih mendominasi konsep layanan.
Kemudian pemahaman hakiki tentang asuransi juga masih sangat dangkal; pemahaman sederhana asuransi adalah bayar duluan, sakit belakangan. Sementara yang privat; sakit duluan bayar belakangan. Ternyata kita selagi sehat membayar terus asuransi kesehatan, ambil contoh selama tigapuluh delapan tahun tidak sakit; begitu sakit harus ikut mengular mengantri dengan segala macam lika likunya.
Hal lain yang tidak kalah menarik pelayanan kesehatannya sudah bagus, tetapi penyertaan persyaratan administrasi yang rumit; membuat orang awam menerimanya sebagai bulan bulanan. Ini seharusnya ada penyederhanaan yang tetap menjaga untuk tidak terjadi peluang korupsi. Selain itu harus ditanamkan kepada petugas asuransi bahwa mereka digaji dari uang nasabah sebagai investor; oleh karena itu harus memberikan pelayanan terbaiknya. Bisa dibayangkan, rumah sakit swasta yang terkenal mengedepankan pelayanan masih menampilkan kondisi seperti ini, bagaimana jika rumah sakit itu berplat merah.
Untuk itu penelitian ini merekomendasi kepada yang ingin menggunakan asuransi kesehatan berpelat merah ini: Pertama, kalau bisa usahan jangan sampai sakit. Kedua, jika terpaksa harus digunakan asuransi tadi, persiapkan mental untuk kecewa, dan tidak perlu protes, karena jika protes sakit akan makin parah. Ketiga, makan pagi yang kenyang sehingga punya stamina yang kuat untuk dikerjain waktu yang entah kapan berakhirnya. Keempat, bersabar sesabar sabarnya; karena tingkat kesabaran pada saat kita masuk dalam sistemnya akan diuji sampai tingkat dewa. Kelima, jangan lupa membawa makanan cemilan sekadarnya untuk menjaga hal hal yang tidak terduga.
Apakah pelayanan ini harus sekelas menteri memperbaikinya, seperti saat seorang menteri buang air kecil di toilet SPBU harus bayar? Walahu ‘alam bishawab.****