‘Mbanting Ceki’
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pagi menjelang siang, saya mencoba kontak sohib lama yang sering saya beri label sedulur sinorowedi untuk mengkritisi tulisan saya, agar saya memperoleh koreksi guna perbaikan pada...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pagi menjelang siang, saya mencoba kontak sohib lama yang sering saya beri label sedulur sinorowedi untuk mengkritisi tulisan saya, agar saya memperoleh koreksi guna perbaikan pada masa mendatang. Agak sedikit terperanjat ternyata beliau mengomentari bahwa tulisan selama ini hanya berlaku untuk selingkung, tidak membumi, kurang merakyat; bahkan cenderung ningrat. Beliau menginginkan saya turun dari kayangan idea untuk menulis realitas sosial yang lebih konkret, merakyat, dan bila perlu salin rupa menjadi gembel dulu; agar rasa dapat dihadirkan dalam realita. Pembaca jangan disuguhi yang ndakik-ndakik” (bahasa tinggi) saja, tapi coba itu tukang becak, pemulung, dan masih banyak lagi yang bisa dijadikan bahan dasar menulis. Cerita pewayangan boleh saja diambil sebagai intro tetapi tolong dihindari bahasa pakeliran yang tidak banyak lagi orang mengetahui. Justru bahasa bahasa punakawan itu lebih akrab di telinga; dan itu lebih membumi.
Hujatan beliau sangat mengena, dan beralasan: apalagi beliau adalah “pangsiunan” tulis menulis yang disegani sampai kini dan termasuk pada aliran humanis. Oleh karena itu, tulisan ini diberi judul seperti di atas, mengingat “Ceki” atau “Kao” adalah permainan kartu dari negeri tirai bambu yang sudah lama ada di tengah masyarakat kita, bahkan boleh dikatakan sudah menjadi permaianan yang merakyat. Permainan ini sangat seru jika pemainnya membanting kartunya sambil tertawa terbahak bahak, sampai matanya tinggal segaris.
Saya jadi ingat beberapa puluh tahun lalu, saat masih belum ada teknologi maju seperti sekarang. Kartu ceki ini jadi andalan jika ada muyen di desa desa. Muyen adalah begadang di tempat warga yang memiliki bayi baru lahir. Acara ini dilakukan sampai pusar bayi putus atau bahasa jawa disebut pupak puser. Semalaman dilakukan kegiatan yang berbau perjudian ini. Di sana ada piring yang disiapkan tuan rumah. Jika setiap putaran ada yang menang, maka uang tadi disumbangkan sedikit ke dalam piring ini, yang kemudian diakhir kegiatan diberikan kepada tuan rumah untuk membeli gula kopi dan “pacitan” atau makanan ringan guna kegiatan malam berikutnya. Tampaknya ada semacam substitusi sosial berbentuk rupiah untuk membantu tuan rumah dalam melakukan perhelatan; adapun besarannya tidak ada aturan baku, yang ada semacam kesepakatan tak tertulis “sekihlasnya”.
Berdasarkan sumber sejarah yang ada, permainan kartu ceki di Asia Tenggara hampir pasti diperkenalkan oleh orang Cina. Jenis permainan serta sebagian besar kata-kata untuk permainan kartu ini berasal dari bahasa Cina bagian selatan, ungkap Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680 Jilid 1.
Sementara di Lampung, permainan jenis ini masuk diduga bersamaan dengan diberlakukannya program kolonisasi oleh Belanda. Walaupun belum ada catatan resmi atau hasil penelitian tentang ini; namun asumsi ini didasari permainan ceki yang menjurus keperjudian hidup subur pada desa desa kolonisasi serta daerah perkebunan. Pada saat hari-hari tertentu perkebunan menggaji para “kuli kontrak” yang didatangkan dari Jawa. Menurut catatan sejarah, selalu ada pasar. Di tepi pasar inilah biasanya dibuka lapak perjudian, termasuk judi ceki. Seiring perjalanan waktu, dengan adanya piranti teknologi dan tingkat kesadaran beragama yang makin membaik, kegiatan ini sudah tidak banyak dijumpai lagi di dunia nyata. Diduga beralih perjudian di dunia maya, yang bahasa kekinian disebut judi online.
Sebagai manusia bijak dalam melihat keburukan, di sana ada secercah kebaikan. Dari membanting ceki ternyata ditemukannya tidak ada manfaat sedikit pun dari kegiatan ini kepada kebaikan dari aspek moral. Hanya dampak ekonomi saja yang ditemukan. Itu pun tidak terlalu signifikan untuk direkomendasi sebagai sesuatu yang bermanfaat.
Inilah yang tertinggal dari semua di atas, yaitu kita sering melakukan kegiatan, bahkan berulang kepada kegiatan yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Bahkan tidak jarang menjurus kepada merugikan. Mbanting ceki, miras, dan sederet perbuatan yang tidak ada manfaatnya, tetapi masih dilakukan; sering kita jumpai dimana-mana. Bahkan membanting ceki ala modern berkembang menjadi raksasa. Bisa dibayangkan pejabatnya ada di negeri ini, jika libido cekinya naik, maka pergilah ke negara tetangga yang menyiapkan arena ceki tingkat tinggi. Habislah uang negara dikorupsi dan dihamburkan di meja ceki tingkat tinggi. Tinggal rakyat meratapi nasib yang tidak pernah berubah. Sementara sang tuan penikmat ceki, bisa membayar Pesawat Pribadi hanya untuk melempiaskan nafsu birahi judi.
Orang Jawa punya larangan untuk tidak berbuat “ma lima”. Ma salah satunya adalah “main”. Maksudnya main judi. Orang tua sudah sejak zaman dulu mengingatkan, bagaimana bahayanya bermain judi ini. Namun nafsu ini difasilitasi oleh penjajah untuk merusak mental rakyat. Sayangnya setelah merdeka: sekarang rakyatnya banyak insaf, tetapi pejabatnya banyak kumat.
Selamat menghirup kopi hangat….