Manisnya Garam, Asinnya Gula

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pagi menjelang siang saat menghadiri rapat evaluasi penyelenggaraan program doktor pada fakultas tertua di Lampung, saya duduk bersebelahan dengan guru besar muda. Muda dalam penge...

Manisnya Garam, Asinnya Gula

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Pagi menjelang siang saat menghadiri rapat evaluasi penyelenggaraan program doktor pada fakultas tertua di Lampung, saya duduk bersebelahan dengan guru besar muda. Muda dalam pengertian kepangkatan, walaupun jika di lihat usia sudah tidak muda lagi. Ia melontarkan isi hati yang cukup menohok. Salah satunya adalah bagaimana perilaku lembaga yang seharusnya ternyata beda dengan kenyataannya dalam pengertian umum.Ia berharap hal itu terjadi pada lembaga yang sedang kita perbincangkan ini.

Saya jadi teringat seorang sohib waktu sama sama menguji mahasiswa strata dua. Ia  asli orang Minanga , Ogan Komering Ulu itu. Ia pernah berkata “Saudara ini strata 2 tetapi rasa strata 1”. Ucapan itu merupakan komentar tentang tesis pascasarjana (strata dua) yang digarap asal-asalan.

Secara jujur jika kita ingin melihat fenomena yang ada, hal tersebut banyak kita jumpai di tengah masyarakat, bagaimana kebalikan dari yang seharusnya, membuat seolah garam menjadi manis, dan gula menjadi asin. Bisa dibayangkan jika kita melihat Jenderal berkelakuan prajurit, pejabat berperilaku rakyat, Badan Layanan Umum statusnya, tetapi kinerjanya Satuan Kerja, dan hal ini masih banyak lagi jika kita telisik secara teliti.

Namun sayang kesadaran akan itu semua datangnya selalu terlambat, sehingga perbaikan yang dilakukan menjadi sangat rumit dan melelahkan. Kondisi ini diperparah lagi karena jika disampaikan ingatan kepada penyelenggara kewenangan, justru bukan terimakasih yang didapat, tetapi garis demarkasi “kamu bukan orang saya”; akibatnya terjadi proses pembiaran oleh para pemangku kepentingan, maka sempurnalah jadinya pembalikan rasa manisnya garam, asinnya gula.

Perilaku memposisikan yang salah ini bisa saja tidak terencana, tetapi terjadi akibat ketidaktahuan, atau kitadcermatan dalam berorganisasi. Jika ini yang menjadi dasar berpikir, berarti itu sah sah saja. Namun persoalannya adalah memang memposisikan diri untuk berada pada posisi yang salah, karena ada maksud tertentu untuk memenuhi kepentingan priibadi atau kelompoknya; sehingga apapun dilakukan demi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sempurnalah jadinya predesposisi yang mengatakan “berada pada tempat yang salah pada waktu yang salah” menjadi sangat nyaman. Strategi seperti ini justru ditemukan pada sistem organisasi baik yang sederhana sampai yang komplek; dari pengelolanya yang pendidikan formalnya rendah; sampai yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Karena itu sangat tergantung kepada niatan dari para pemangku jabatannya. Dengan kata lain makin canggih pengelolalanya, maka makin edvan cara yang ditempuh untuk melakukannya.

Oleh karena itu pemutarbalikan sistem di dalam organisasi sangat tergantung kepada yang mengendalikan organisasi. Jika organisasi tadi dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan, maka memberi rasa manis pada garam, memberi rasa asin pada gula; bisa saja dilakukan, karena semua aturan sudah disusun dan dibangun sedikian rupa agar kebertukaran posisi menjadi sah, bahkan nyaris sempurna. Sekarang ukurannya tinggal norma moral saja, apakah semua itu secara norma tidak melanggar, atau memang sengaja dibenturkan.

Ternyata di sini benar adanya sebuah adagium yang mengatakan “segenggam kekuasaan lebih penting dari sejuta kebenaran”.  Tinggal kekuasaan itu mau dijadikan alat mencapai kesejahteraan umat, atau mensejahterakan diri dan golongannya saja. Kekuasaan adalah sesuatu yang netral, menjadi tidak netral saat kekuasaan itu digunakan oleh penguasanya; karena tergantung untuk tujuan apa dan gunanya untuk apa.

Tuhan sudah berfirman dalam Al Quran Surah Muhammad ayat 36 “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu”. Penulis tidak memiliki ilmu untuk menafsir ayat; akan tetapi mari kita merenungkannya jangan-jangan kita semua terlalu hanyut dengan dunia, sehingga berbuat apa saja hanya untuk mengejar dunia.

Mari kita melakukan instrospeksi dan memperbaiki diri mumpung masih diberi waktu; semoga saat kita di panggil “pulang” semua tugas dan kuwajiban sudah kita selesaikan dengan baik dan benar sesuai syariat.

Selamat ngopi di Jumat pagi….