Lidahmu Bukan Milikmu

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila Sahdan suatu episode dalam Kakawin Ramayana yang digubah oleh Walmiki, menceritakan semua berawal di masa-masa mudanya, ketika Kumbakarna, Rahwana, dan Wibisana menggelar pertapaan he...

Lidahmu Bukan Milikmu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila

Sahdan suatu episode dalam Kakawin Ramayana yang digubah oleh Walmiki, menceritakan semua berawal di masa-masa mudanya, ketika Kumbakarna, Rahwana, dan Wibisana menggelar pertapaan hebat ke hadapan Dewa Brahma. Kisah hidupnya itu tergurat dalam Utara Kanda, kanda (bab) ketujuh Ramayana.

Atas keteguhan tapa, masing-masing dari mereka berhak atas pahala. Rahwana memohon hidup abadi, namun itu menyalahi hukum kodrat. Sebagai gantinya, ia diberikan anugerah tak terkalahkan, baik di kalangan dewa, manusia, asura, maupun makhluk lainnya. Wibisana meminta agar senantiasa dianugerahi kebijaksanaan. Anugerah inilah yang ia genggam, hingga memilih berpihak pada Ramawijaya meski rakyat dan saudara-saudaranya musnah tak terkira.

Kumbakarna yang perkasa, awalnya hendak meminta kesenangan yang abadi (suka sada). Dengan anugerah itu, ia tentu akan senantiasa termasyur, terlebih dengan kesaktiannya yang tiada tara. Jika anugerah itu turun, Kumbakarna tak perlu susah-payah berupaya, sebab segala keinginan akan terpenuhi.

Mengetahui keinginan Kumbakarna itu, para dewa di Kahyangan “membisik” Dewi Saraswati, sang dewi ilmu pengetahuan. Mereka memohon sakti Brahma ini untuk membalikkan lidah Kumbakarna, sehingga “mala petaka” yang lebih besar dapat dihindari. Usulan yang lahir dari sudut pandang para dewa di itu akhirnya dikabulkan. Sebenarnya tidak adil, Kumbakarna yang telah melakoni serangkaian tapa yang berat, namun ketika akan mendapat pahala justru “disabotase”.

Mengabulkan permintaan para dewa, Dewi Saraswati kemudian bergegas menuju lidah raksasa yang berperawakan besar itu. Selanjutnya, dibelokkanlah kata suka sada yang hendak diminta ke hadapan Hyang Catur Muka menjadi kata supta sada yang berarti ‘tidur abadi’. Hanya berbeda satu kata, dari suka menjadi supta, namun hal itu mengubah orientasi hidup Kumbakarna. Ia kalah, senasib dengan leluhurnya yang tak tak mendapat jatah amreta layaknya para dewa meski sama-sama memutar Giri Mandhara. (BaliNesa.id).

Kita tinggalkan gubahan cerita besar karya Walmiki itu; kita fokus pada bagaimana digelincirkannya lidah dengan satu kata saja; maka orientasi menjadi berubah total seratus delapanpuluh derajat. Oleh karena itu, episode ke tujuh dari Ramayana ini ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang telah diucapkan oleh kita melalui lidah itu berarti milik orang lain, karena pesan yang disampaikan itu pasti ada yang ditujukan; jika tidak ada yang ditujukan, berarti kita berbicara sendiri, dan ini memberikan sinyal bahwa kita tidak waras.

Tidaklah salah jika orang arief bijaksana selalu mengatakan “Jaga lisanmu. Mulutmu harimaumu, lidah lebih tajam dari pada pedang yang ada di dunia ini” dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, orang bijak mengingatkan kepada kita semua bahwa ada enam musuh yang berkoalisi “membajak” tubuh itu yakni kama (hawa nafsu, keinginan), loba (sifat tamak), kroda (sifat marah), moha (sifat bingung), mada (mabuk karena minuman keras), dan matsarya (sifat iri hati).

Dominasi keenam musuh itu semakin menjadi-jadi setelah berafiliasi dengan tujuh macam kegelapan, yang di dalam konsep Sanskerta diistilahkan dengan Sapta Timira (tujuh kegelapan). Hal yang dimaksud adalah: surupa (gelap hati karena wajah yang tampan), dana (gelap hati karena bergelimang harta), guna (gelap hati lantaran merasa pandai), kulina (gelap hati karena keturunan), yowana (gelap hati karena masa muda yang enerjik), sura (gelap hati karena mabuk minuman keras), dan kasuran (gelap hati karena terlampau berani).

Kembali ke persoalan awal berkaitan dengan konsep lidah; maka makin jelas bahwa segala ucapan yang keluar karena gerakan lidah itu adalah bukan kepunyaan si pemilik lidah. Betapa dahsyatnya pengaruh lidah ini, maka tidaklah salah jika ada seniman besar yang menggubah hasil keseniannya diberi judul “Memang Lidah Tak Bertulang”. Akibat ketidakbertulangan inilah maka bisa terjadi perdamaian atau peperangan di muka bumi ini, bahkan pahala dan dosa pun bisa diakibatkan oleh gerakan lidah.

Konsekuensinya dalam rangka menjaga lidah, Gus Baha mengingatkan pada kita semua: “Maka tidaklah perlu berlebihan menilai manusia. Tugas pokok manusia itu bukan menilai sesama manusia. Manusia bukan hakim bagi manusia lain. Apa lagi menghakimi hal yang sangat sakral dengan kata kata seperti azab dan hukuman Tuhan”.

Oleh karena begitu besarnya pengaruh lidah ini, maka hanya raja yang mempunyai titah, hanya rasul yang memiliki sabda, dan hanya Tuhan yang memiliki firman. Kesemuanya itu ditangkap oleh pancaindra yang dimiliki oleh manusia atau mahluk. Atas dasar itulah maka ucapan pemimpin adalah ibarat air jika menyejukkan, dan laksana api jika itu membakar. Keduanya dibutuhkan, tentu sesuai dengan konteks apa yang dibicarakan.

Selamat menikmati kopi pagi….