Kopi dan Pisang Goreng

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Di lorong menuju dapur kantor penulis, ada sedikit sudut yang dijadikan tempat pertemuan informal antarbanyak unsur. Ada guru besar, tukang kebun, penjaga gedung, dan sebagainya. P...

Kopi dan Pisang Goreng

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Di lorong menuju dapur kantor penulis, ada sedikit sudut yang dijadikan tempat pertemuan informal antarbanyak unsur. Ada guru besar, tukang kebun, penjaga gedung, dan sebagainya. Pada jam tertentu menjelang siang, mereka melakukan ‘ritual’ ngopi bersama. Siapapun boleh hadir tanpa syarat. Mereka berbicara informal tanpa harus takut apa yang akan dibicarakan didengar oleh dinding yang ada. Isu yang dibawa pasti kekinian. Dari yang remeh-temeh sampai berat. Makanan ringan yang menjadi favorit adalah pisang goreng panas hasil pembelian atau bawaan relawan saat itu. Relawan ini juga tidak didominasi oleh seseorang, bisa saja pada kesempatan yang sama membawa hal yang sama, namun pada kesempatan lain tidak ada satupun yang membawa.

Pertemuan informal seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Hampir di setiap lembaga punya wilayah seperti ini. Hanya saja yang satu ini khas, karena selalu memosisikan kopi dan pisang goreng menjadikan makanan favorit yang tidak tergantikan. Bahkan seolah-olah keduanya adalah pasangan ideal dalam menemani “ngrumpi tingkat makrifat” para pesertanya. Disebut demikian karena peserta selalu menghindari untuk bicara gibah, atau membicarakan aib orang lain. Paling sering topic yang menjadi bahasan adalah penulisan jurnal ilmiah, dan bagaimana mensikapi hidup dalam pusaran ketidakpastian.

Sebelum lebih jauh kita menjelajah dunia ide, maka kita pahamkan dulu sejarah pisang goreng. Menurut penelusuran beberapa sumber ditemukan informasi pada tahun 1511, orang Portugis datang ke kawasan Melayu. Mereka senang sarapan pisang yang telah dibuka kulitnya, dilumuri tepung, dan digoreng. Lalu, makanan ini diadopsi oleh orang Melayu termasuk Indonesia. Biasanya adonan pisang goreng dilumuri adonan kental yang terbuat dari campuran tepung, telur, sedikit garam, dan gula. Setelah itu, barulah pisang digoreng.
Pisang yang biasanya digunakan adalah pisang kepok karena pisang ini memiliki kadar air yang tidak terlalu banyak dibanding pisang lainnya, sehingga cocok untuk diolah sebagai pisang goreng. Selain itu, pisang yang digunakan adalah pisang yang tidak terlalu masak. Karena, tingkat kematangan pisang akan memengaruhi cita rasanya.

Sementara sejarah minum kopi di Indonesia menurut sumber yang ada; budaya minum kopi di Indonesia tumbuh sebagai kebiasaan yang dilakukan sejak jaman Belanda. Belanda menanam kopi secara besar-besaran melalui program tanam paksa. Menurut beberapa sumber, kopi di Indonesia pertama kali dibawa oleh pria berkebangsaan Belanda sekitar tahun 1646 yang mendapatkan biji arabika mocca dari Arab. Ternyata ngopi sambil makan pisang goreng itu memadukan Portugis dan Belanda, dan sekarang ada di meja terhormat bangsa ini, dari rakyat sampai pejabat menjadi penyuka kelas berat.

Kita simak dengan seksama, ternyata kebiasaan orang asing itu sudah lama terserap oleh budaya nusantara. Hal itu diakui merupakan kebudayaan asli negeri ini. Hanya “kemasannya” yang kemudian membedakan dalam perkembangannya. Jika kita telusuri ternyata banyak sekali perbuatan keseharian kita adalah hasil dari akulturasi budaya masa lampau yang panjang dan menyejarah. Anehnya perkembangan yang panjang itu akhir akhir ini sering diberi label politik identitas manakala dibenturkan dengan kepentingan yang namanya “politik”; guna memuaskan libido ingin berkuasa dari sebagian golongan kecil pada masyarakat luas, dilakukan dengan cara dari yang terhormat sampai yang maksiat.

DNA seseorang ditelusuri keasliannya apakah orang asli atau bukan. Kemudian DNA juga digalurkan dengan ideologi politik; akibatnya muncul sen. Namun karena “kepentingan untuk merebut kekuasaan”,  maka pertimbangan politik dikedepankan.

Pola berpikir “jika – maka” sering digunakan untuk membangun narasi berhadap-hadapan, bukan kebersamaan. Akibatnya, setiap akan ada perhelatan yang berlabel “pemilihan”, maka selalu dibangun “parit” pemisah sosial; “orang kita versus bukan orang kita”. Akibatnya, perhelatan tidak pernah berakhir damai, akan tetapi “dendam politik” yang berkepanjangan. Apalagi jika dalam prosesnya disertai agitasi, ancaman, dan tekanan. Maka,  sempurnalah perhelatan politik apapun namanya, menjadi ajang persemaian subur bibit perpecahan sosial.

Mari kita kembali ke bumi, memandang segelas kopi. Di sana ada jasa gula yang tidak pernah meronta. Jika kopi terlalu pahit gula akan d salahkan. Jika kopi terlalu manis, juga gula yang disalahkan. Namun jika rasa kopi itu nikmat, gula tidak pernah disebut. Mari kita terus berbuat baik, tidak perlu memelihara dendam dengan apapun labelnya. Gula tidak pernah salah namun dia tidak sempurna, karena sekali dia berulah maka “sakit gula” akan mendera.

Pun demikian dengan “pisang”. Apa pun dibuat padanya, tetap nama pisang akan dibawa; dari pisang rebus sampai pisang keju, lekat nama tetap terpatri. Kekonsistenan untuk menjaga marwah adalah suri teladan yang dapat kita petik: “sekali pisang tetap pisang, sekalipun seribu nama melabelinya”.

Selamat menikmati kopi hangat!