Imas Sobariah, Juru Bicara Perempuan di Panggung Teater

Imas Sobariah (Ist) DI Indonesia, sangat sedikit wanita yang menekuni karier di dunia teater, baik sebagai pemain maupun sebagai manajer kelompok teater. Selain  Ratna Riantiarno dari Teater Koma dan Ratna Sarumpaet dari Teater Satu Me...

Imas Sobariah, Juru Bicara Perempuan di Panggung Teater
Imas Sobariah (Ist)
DI Indonesia, sangat sedikit wanita yang menekuni karier di
dunia teater, baik sebagai pemain maupun sebagai manajer kelompok teater.
Selain  Ratna Riantiarno dari Teater Koma
dan Ratna Sarumpaet dari Teater Satu Merah Panggung, nyaris tak ada wanita di Indonesia
yang menggantungkan hidupnya dari dunia teater.
Memang di dunia teater Indonesia ada Tuti Indra Malaon
(meninggal 1989), Dewi Matindas, Niniek L. Karim Christine Hakim, (ketiganya
aktris Teater Populer pimpinan almarhum Teguh Karya) dan Jajang Pamoentjak
(aktris Teater Ketjil). Namun, para perempuan pemain teater itu umumnya
memiliki profesi lain selain sebagai pemain teater. Niniek L. Karim dan Dewi
Matindas, misalnya, adalah psikolog yang juga menjadi dosen di Universitas Indonesia.
Sementara Jajang Pamoentjak dan Christine Hakim adalah pemain teater yang juga
menjadi pemain film.
Di tengah kelangkaan wanita yang menggeluti dunia teater di Indonesia, pada
awal dekade 1990-an muncullah nama Imas Sobariah, 38, seorang pemain teater
dari Teater Satu, Lampung. Imas tidak “lahir” dari sebuah kelompok teater
ternama, tetapi justru membangun teater dengan melibatkan paraa siswa SMA dan
mahasiswa.
Setelah belasan tahun membangun Teater Satu bersama Iswadi
Pratama, suami yang juga sutradara teater, kini Imas Sobariah eksis sebagai
sutradara, penulis lakon, sekaligus manajer teater andal di Indonesia.
Keberhasilan Imas sebagai manajer Teater Satu mengantarkan Teater Satu sebagai teater
garda depan di Indonesia. Majalah Tempo
bahkan memberikan anugerah Teater Satu sebagai Teater Terbaik Indonesia Tahun
2008.
Menyelesaikan studi Jurusan Pemeranan di Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (ASTI) Bandung
pada 1992, sejak remaja Imas memang bercita-cita menjadi seorang sutradara
sekaligus manajer teater. Itulah sebabnya, setelah menyelesaikan pendidikannya
dia bekerja di Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer (almarhum) untuk belajar
sebagai manajer teater. Pengalaman bergabung dengan Teater Ketjil, meskipun
hanya setahun (1992-1993), membuatnya berkenalan dengan para penari Singapura
dan bergabung menjadi penari bersama mereka.
Menyadari tari bukan pilihan hidupnya, Imas kemudian
mendirikan Teater Satu pada 1992 bersama penyair cum-sutradara Iswadi Pratama.
Di Teater Satu yang dipimpin suaminya itu awalnya Imas berperan sebagai pemain.
Dalam perkembangannya kemudian Imas lebih banyak berperan sebagai penulis
lakon, sutradara, dan manajer.
“Para seniman itu mau
seenaknya sendiri.  Kelompok seni
dikelola hanya dengan insting. Nah, saya berusaha keras agar Iswadi Pratama
yang ‘seniman banget’ bisa diimbangi dengan menerapkan manajemen yang bagus di
Teater Satu. Berkat upaya keras itu, alhamdulillah kini para pemain Teater Satu
mendapatkan penghasilan lumayan,” tutur Imas.
Sebagai penulis lakon, tiga karya sudah dihasilkan Imas.
Yaitu Wanci, Kamar Sebelah, dan Si Aruk
dan Pangeran
. Sementara sebagai sutradara, beberapa lakon yang pernah
digarapnya bersama Teater Satu antara lain   Wanci (karya  Imas Sobariah,
1995), Kosong (karya M. Noor, 1996), Lysistrata (karya Aristophanes, 1997), Jerit Tangis di Malam Buta (Rolf
Lauckner, 1998), Antigone (Jean
Anouilh, 2000), Pinangan ( Anton
Chekov, 2004), Pelayan (Jean Genet,
2003), Nyai Ontosoroh (Adaptasi atas
Novel Bumi Manusia Karya Pramudia
Ananta Toer, 2007), dan Hang Li Poh karya
Ann Lee, seorang penulis perempuan asal Malaysia. 
Di antara beberapa garapannya itu, Nyai ntosoroh merupakan garapannya yang paling banyak mendapatkan
apresiasi sangat luas. Itu karena Imas dianggap para penonton dan pengamat
teater berhasil menampilkan semangat perlawanan kaum perempuan di atas panggung
dengan detail.
Di tengah kesibukannya menjadi manajer Teater Satu, Imas
melatih para siswa dan mahasiswa di Lampung yang belajar teater. Ia juga sering
menjadi pembicara dalam forum nasional dan internasional tentang teater dan
perempuan. Pada forum Woman Playwright International Conference di Jakarta dan Ubud
(2006), misalnya, Imas memberikan materi pada sesi drama. Begitu pula dalam
forum Exchange Playwright di Malaysia (2007). Sejak pertengahan 2008 hingga
akhir 2009 kesibukannya Imas bertambah karena dia menjadi Kepala Operasional
Program Kala Sumatera kerjasama Teater Satu dan Hivos, Netherland.
Meskipun sibuk berteater, Imas mengaku kewajibannya sebagai
seorang istri bagi seorang putri berusia 10 tahun tak pernah dia tinggalkan.
“Kami bertiga menjadi sebuah tim yang sangat kompak. Anak saya, Rarai, sejak
masih bisa berjalan sudah terbiasa melihat kami berlatih teater. Ketika masuk
Sekolah Dasar dia sudah ikut menjadi figuran dalam sejumlah pertunjukan teater,”
ujar perempuan kelahiran Garut, Jawa Barat, 15 Februari 1971 ini.
Imas mengaku, sebagai perempuan yang menulis lakon sekaligus
sutradara, ia tidak memiliki hambatan untuk bekerja. “Kalau sudah total
menekuni dunia seni teater, laki-laki atau perempuan sama saja. Asal manajemen
grup teater digarap secara profesional, grup teater yang dipimpin oleh seorang
perempuan juga akan maju,” ujarnya.
Selain karena memang memiliki ilmu di bidang pertunjukan,
menurut Imas, peran suami selaku mitra kerja sangat besar. “Tapi saya dan suami
juga sering ‘berantem’ karena berbeda konsep artistik dalam menggarap sebuah
pertunjukan. Iswadi Pratama itu seniman yang ingin selalu sempurna dalam
menggarap artistik, sementara saya selaku manajer yang juga paham artistik
selalu menekankan pentingnya efisiensi. Artistik pentas teater bagi saya tidak
harus mewah dan mahal,” kata Imas.
Imas mengaku, sebagai perempuan dia mudah tersentuh oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Tak jarang peristiwa-peristiwa
penting dan berhubungan dengan masalah kemanusiaan itu memberinya inspirasi
untuk menggarap pertunjukan secara spontan. Ketika kios-kois para pedagang kaki
lima di Pasar
Bambu Kuning—pasar tradisional yang berada di tengah Kota
Bandarlampung—dihancurkan dengan buldozer oleh polisi sipil Pemda
Bandarlampung, misalnya, menginspirasi Imas dan Teater Satu menggarap
pertunjukan di tengah-tengah pasar. Lakonnya bercerita tentang nasib rakyat
kecil yang selalu menjadi korban kekuasaan. Selain di Pasar Bambu Kuning, Imas
dan Teater Satu juga pernah melakukan pentas di perkampungan kumuh di daerah
Panjang, Bandarlampung, yang selama ini dikenal sebagai “kawasan malam dan
lingkungan prostitusi” di Lampung.
Saat air menjadi problem di Lampung—dan juga dunia—juga
menginspirasi Imas untuk menggarap pertunjukan berjudul “Air”. Pertunjukan itu
kemudian dipentaskan untuk program kampanye tentang air oleh Uni Eropa.
Kepercayaan yang diberikan Hivos kepada Imas dan Teater Satu
tidak lepas dari keberhasilannya membangun Teater Satu selama 17 tahun terakhir
dan kepeduliannya terhadap persoalan kaum perempuan. Kini, dengan kesuksesan
membangun Teater Satu menjadi grup teater di luar Pulau Jawa yang disegani di Indonesia,
Imas dipercaya Hivos untuk membangun Jaringan Teater Sumatera lewat program
“Kala Sumatera”.
“Kala Sumatera artinya kira-kira adalah kinilah waktunya
para pekerja seni teater di Pulau Sumatera menunjukkan kebolehannya di pentas
nasional. Selama puluhan tahun dunia teater hanya didominasi grup-grup Pulau
Jawa,” kata Imas.
Selain membantu membangun grup-grup teater di seluruh
provinsi di Pulau Sumatera agar memiliki manajemen profesional, para peserta
program Kala Sumatera juga dilatih menjadi penulis lakon dan menjadi sutradara.
Semua pesertanya perempuan. Dalam program ini, setiap grup teater dari tiap
provinsi di Pulau Sumatera mengirimkan calon sutradara dan penulis lakon yang
semuanya harus perempuan.
“Setelah belajar selama beberapa bulan, mereka nanti secara
bergilir akan diberi kesempatan pentas bersama kelompoknya. Yang terbaik akan
diberi kesempatan pentas di Taman Ismail Marzuki, Komunitas Salihara, dan
beberapa pusat kebudayaan negara asing,” sutradara yang juga menulis puisi ini.

 Oyos Saroso H.N.