Harapan yang Diharapkan
Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Membaca berita dari salah satu media online di Kota Tapis Berseri ini, bulu kuduk jadi merinding. Menurut berita itu, ada keluarga tidak mampu, memiliki anak sembilan, tinggal ti...

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Membaca berita dari salah satu media online di Kota Tapis Berseri ini, bulu kuduk jadi merinding. Menurut berita itu, ada keluarga tidak mampu, memiliki anak sembilan, tinggal tidak jauh dari kediaman orang nomor satu di kota ini, dengan kondisi yang begitu miskin, tetapi tidak mendapatkan bantuan sejak 2020. Rumah kontrakan sudah empat bulan menunggak, kepala keluarga bekerja pemasang batu nisan, anak-anak harus puasa karena tidak ada. Ke mana pemimpin kota? Di banyak berita sang pemimpin rajin hadir pada perestian ini-itu.
Tampaknya instrumen pemerintahan kota yang ada belum mampu mengendus persoalan di bawah. Hanya mampu “memetik” yang dari atas. Andaikata hal ini nanti jadi viral, maka jurus jawaban untuk mengelak dari persoalan sudah disusun sedemikian rupa. Rangkaian penekanan akan dilakukan dari orang nomor satu ke pimpinan daerah Kecamatan, selanjutnya di pimpinan kelurahan, kemudian RW terakhir RT yang menjadi tumbal dengan bantalan alasan “kenapa tidak lapor”.
Apakah masyarakat begini harus lapor juga ke pengacara terkenal di Jakarta yang kemarin memperjuangkan nasib guru honorer? Rasanya urat malu kita semua masih lengkap dan masih berfungsi sebagaimana adanya. Tampaknya yang tidak kita punyai adalah ketajaman berpikir untuk menemukenali persoalan, kemudian mencari pemecahan masalah dengan cara sistematis, dan tidak melanggar aturan. Jadi bukan dengan cara marah-marah ke staf atau bawahan, karena kesalahan itu juga terjadi karena kontribusi pimpinan dalam menciptakan iklim kerja yang tidak kondusif.
Langkah konkret yang sangat ditunggu oleh mereka yang kurang beruntung dalam mengarungi kehidupan ini adalah bantuan yang bersifat “memberi kail”, bukan “memberi ikannya”. Pemberdayaan masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah ada ide cemerlang dari eksekutif, apalagi dari legislatif. Hak inisiatif yang melekat secara kelembagaan tidak pernah terdengar untuk peduli kepada mereka yang kurang beruntung.
Jika kita simak, banyak perusahaan yang sudah memberikan bantuan “tanggung jawab sosial perusahaan” kepada pemerintah kota. Kebanyakan bersifat fisik seperti kendaraan pengangkut sampah, tetapi belum terdengar yang bersifat nonfisik dengan pola pemberdayaan bagi mereka yang kurang beruntung. Bukan bantuan yang bersifat “datang, memberi, lalu pergi”,
Belum lagi Pajak Bumi dan Bangunan, yang seyogianya dapat dianggarkan penggunaannya 0,05 persen saja dari penerimaan kotor. Kemudian dana ini dapat direstetusikan kepada mereka yang tidak beruntung, termasuk warga di atas. Semua ini tinggal kecakapan dan kejeliaan pimpinan dalam menemukenali masalah dan menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah.
Ternyata harapan yang diharapkan pada waktu kampanye pencalonan tidak sesuai harapan, karena banyak pekerjaan yang harusnya dikerjakan; tidak dikerjakan. Pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan, justru menjadi pekerjaan. Apa yang dikampanyekan bahwa dirinya lebih baik dari calon lainnya, terutama oleh pemimpin sebelumnya yang note bone adalah teman sekasur; tidak terbukti. Kalaulah boleh meminjam judul lagu lama di tahun tujuh puluhan; ini adalah “Harapan Hampa”.
Apakah ini merupakan kecenderungan nasional; barangkali terlalu generalis, walaupun untuk kasus kasus tertentu menunjukkan kecenderungan itu. Ini tentu menjadi catatan cerdas bagi para pemilik suara pada masa yang akan datang. Pemih harus bisa memilih pemimpin yang bukan hanya pandai bersilat lidah, tetapi lebih pada cerdas dalam arti luas. Yaitu kecerdasan emosional, kepribadian dan berkarakter. Yang tidak kalah penting adalah selalu hadir di tengah masyarakatnya untuk memberikan pelayanan terbaik.
Selamat ngopi pagi.