Demokrasi dan Periuk Nasi
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Hajatan nasional masih cukup lama akan digelar. Namun, pada saat ini aromanya sudah mulai berhembus kencang. Semua gerak langkah bangsa ini selalu terkait dengan hajatan tersebut,...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Hajatan nasional masih cukup lama akan digelar. Namun, pada saat ini aromanya sudah mulai berhembus kencang. Semua gerak langkah bangsa ini selalu terkait dengan hajatan tersebut, sehingga tidak jarang pimpinan partai politik, pejabat negara, atau siapapun dia yang berkeinginan maju pada gelanggang itu sudah mulai membangun citra diri bahwa dirinya layak maju untuk dipilih. Ini dibuktikan dengan tampilan diri melalui baliho di mana-mana atau media lain yang dirancang untuk ini. Bahkan, ada yang membangun citra melalui pola jemput bola.
Untuk para elite ataupun perseorangan biarkan mereka mencari panggung, bahkan berebut panggung; untuk menampilkan pesona diri, citra diri dan entah apa lagi yang intinya “jual diri” agar menjadi nominasi untuk dapat bertanding pada kontes pemilihan itu. Terlepas apakah dia sebagai orang nomor satu di negeri ini, di provinsi, daerah tingkat dua, atau sekadar institusi independen lainnya, tetapi inti persoalannya atas nama demokrasi untuk mendapatkan seorang pemimpin harus dilakukan dengan cara mengumpulkan suara terbanyak.
Pada banyak kajian yang ditampilkan adalah bagaimana perilaku masa mengambang bagi para pemilih sebelum terjadinya proses pemilihan, apapun bentuk pemilihan itu; atas nama demokrasi mereka seolah “piala bergilir” yang diperebutkan setiap adanya hajat demokrasi, dan ditinggalkan setelah pesta usai. Namun, ada unsur lain yang sering luput dari pandangan masa, bahkan pisau analisis, yaitu kelompok penghubung antara yang dipilih dengan yang memilih. Kelompok ini sering menyebut diri tim sukses, mediator, dan masih banyak lagi sebutan lain yang terkadang terkesan sangat keren.
Apapun pemilihannya, kelompok ini selalu hadir dengan membawa cita-cita untuk memenangkan tokoh yang diusung, walaupun pada tataran praksis, nanti dulu kita memercayainya. Sebagai contoh, beberapa dekade lalu saat seorang sahabat mencalonkan dirinya untuk maju sebagai kepala daerah. Kelompok ini mengusulkan diadakannya dapur umum di rumah calon. Alasannya, untuk megakomodasi keperluan mereka yang tidak sempat pulang ke rumah. Demikian juga fasilitas komunikasi, mereka minta setiap orang dibekali peralatan komunikasi lengkap dengan pulsanya, setiap minggu mereka minta isi pulsa, padahal alat itu lebih banyak untuk kepentingan pribadi dibandingkan untuk mensukseskan calon yang diusung.
Berikutnya minta fasilitas kendaraan roda dua dan roda empat. Alasannya, agar mobilitas mereka menjadi lincah dan cepat; walaupun pada kenyataannya fasilitas itu lebih banyak untuk kepentingan pribadi. Padahal, mereka sebenarnya tidak kemana-mana. Mereka di rumah saja. Begitu waktu makan siang tiba, mereka berbondong-bondong ke dapur umum, bertelepon ria seolah sibuk jika di hadapan sang calon. Begitu calonnya kalah, mereka hilang seketika seperti ditelan bumi, sampai hari ini sang calon gagal tadi harus menjual rumah untuk menutupi hutang hutangnya saat pencalonan. Ternyata posisi demokrasi dengan periuk nasi untuk kelompok ini tidak terlalu jauh.
Kondisi lebih seru lagi mereka yang terpilih mewakili keterwakilan dari kelompoknya. Posisi yang diperoleh dengan tidak mudah dan tidak murah ini, menjadikan pemikiran keterwakilan menjadi prakmatis. Kursi panas dan mahal yang mereka duduki diperoleh dengan atasnama demokrasi karena mewakili suara terbanyak, ternyata tidak menjadikan mereka nikmat, justru berfikir bagaimana kursi ini mendapatkan hasil yang sebanyak banyaknya, paling tidak mengembalikan modal apa yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan kursi itu.
Mereka berupaya menjaganya, atasnama demokrasi dengan berlindung di balik kalimat “amanah konstituen”; maka apapun harus dilakukan, termasuk mendapatkan sesuatu dengan ketidakpatutan. Lagi lagi ternyata demokrasi dengan periuk nasi untuk kelompok ini juga tidak jauh panggang dari api.
Kondisi seperti di atas ternyata jika kita telisik akan semakin panjang kasus yang dapat dihimpun dan dideskripsikan di tengah masyarakat. Kejadian serupa ini boleh dikatakan duapuluh tahun terakhir hampir menjangkiti semua elemen masyarakat. Termasuk juga lembaga yang bernama perguruan tinggi. Sekalipun citranya mengatakan adalah keteladanan demokrasi melekat padanya, ternyata perilaku pecundang pun tidak terhindari.
Lagi-lagi demokrasi dan periuk nasi berkelindan begitu lekat pada sisi apapun. Sebelum pemilihan para pecundangnya tiarap, begitu ada calon yang menang terlepas itu pilihannya atau bukan, mereka bersorak kegirangan karena ikut menang; dan yang kalah diposisikan seolah lawan mereka. Begitu pembagian rezeki mereka tidak mendapatkan yang diharapkan; mulai sumpah serapah dan guman berseri, mengalir dari mulutnya, sambil nyelonong pergi satu persatu.
Penyelamatan periuk nasi ternyata sering tidak diakui secara jujur, lebih banyak yang mengatakan ini tergolong kebutuhan tingkat rendah menurut teori Maslow. Secara fisik pendapat itu benar adanya; bahkan banyak yang berkilah dengan jargon “Tidak semua orang begitu” atau “Orang lain bisa begitu, saya tidak”. Adagium ini makin panjang jika kita teruskan dan itu sah-sah saja; persoalannya adalah jika itu berupa fisik periuk atau ketel, dengan nasi. Namun, jika itu diabstrakkan periuk nasi bisa berubah menjadi investasi, tabungan abadi, tambang yang tergali, kebun yang terlindungi, jabatan duniawi, dan masih banyak lagi. Jenis periuk nasi yang serupa ini sulit untuk dihindari, dan lebih sulit lagi untuk mengakui.
Ternyata jebakan demokrasi yang paling mengerikan adalah ada pada diri sendiri. Demokrasi secara ontologi itu baik karena menjadi hakiki, namun apakah dia akan bertiwikrama menjadi raksasa yang menakutkan atau menjadi Dewa Wisnu pembawa kedamaian, tergantung kita memasangkan “baju” epistemologi dan aksiologi padanya. Untuk ini kita boleh beda, tetapi perbedaan itu bukan menceraiberaikan, akan tetapi justru memperteguh keberadaan kita.
Demikian juga dengan tulisan ini, jika itu terkena pada diri hanya faktor kebetulan dan silahkan untuk introspeksi, tidak perlu membela diri apalagi mengambil garis memusuhi. Kajian filsafat memang tak bertepi, kebenaran hakiki yang dicari.
Selamat ngopi pagi!