Dante
Cerpen Trisha Adelia* “Kamu tahu? Dia adalah cowok terkeren yang pernah aku temuin!” Yogeswari tertawa bahagia sambil menepuk bahu Lasmi, teman sebangkunya di pelajaran kosong. Pelajaran kosong adalah pelajaran favorit setiap murid yang normal....
tahu? Dia adalah cowok terkeren yang pernah aku temuin!” Yogeswari tertawa
bahagia sambil menepuk bahu Lasmi, teman sebangkunya di pelajaran kosong.
Pelajaran kosong adalah pelajaran favorit setiap murid yang normal.
Siapa?” Tanya Lasmi, teman sebangku Yogeswari yang sedikit terkejut saat
melihatnya berseri-seri jatuh cinta untuk pertama kalinya dan membuka
pembicaraan untuk pertama kali. Biasanya mereka berdua adalah sepasang alien
yang saling sibuk dengan dunianya masing-masing. Yogeswari sibuk dengan
buku-buku kunonya, Lasmi sibuk dengan headset gedhe dan stik drum-nya.
tersenyum lebar ke Lasmi dengan mata berbinar-binar. Lasmi memandang balik
teman sebangkunya ini dengan tatapan tidak percaya. Teman yang nampak lebih
menaruh hati dengan buku kuno di sampingnya ini jatuh cinta? Cowok macam apa
yang disukai Yogeswari ini?
Ayo cerita!” Lasmi memajukan posisi duduknya. Saat itu jam kosong, dan itu
adalah pelajaran favorit setiap murid.
mengatupkan mulutnya dan berdeham. “Jadi gini…,”
sederhana di sisi kota itu sudah lama berdiri gagah. Gagah seperti kulit badak
yang tahan gores dan cuaca. Bangunan itu hanya satu tingkat namun cukup luas.
Arsitekturnya gaya Belanda, dengan jendela besar-besar di sepanjang dinding
berwarna krem. Di sisi kanan ruangan berjejer rak buku kayu jati dengan ukiran
klasik dan berisi buku-buku klasik juga. Jam dinding dengan bandul emas berdiri
kokoh di pusat ruangan, menunjuk angka 3
dan mandeg di tempat-nya. Mungkin pada saat itu Belanda telah meresmikan
perpustakaan ini abadi dalam detik penjajahannya, sehingga tidak ada lagi detik
kemudian saat Indonesia telah bebas merdeka.
Mandeg. Begitu julukannya.
siapa yang mau tahan berlama-lama di perpustakaan itu. Aromanya mistis seperti
sedang ada ratusan bangsawan dan kaum indo belajar di perpustakaan itu. Tapi
cerita ini bukan tentang horror, kok. Namun di sisi lain, penjaga perpustakaan
ini sangat kontras dengan suasana klasik perpustakaan ini. Mereka terdiri dari
tiga penjaga perpustakaan; dua wanita dan satu pria.
sama-sama nyentrik. Dua wanita berdempul setebal lima senti dengan pakaian
serba mikro, rambut di-ombre seperti baju lusuh yang terpanggang matahari. Yang
pria seperti mantan binaragawan yang sudah memelihara lemak ketimbang
mempertontonkan otot bisep-trisepnya. Dan mereka sangat senang mengobrol
keras-keras di bawah plang yang bertuliskan “Keep Silent”. Sungguh paradoks.
entah mengapa, ada seorang gadis yang tiap dua hari seminggu mengunjungi
Perpustakaan Mandeg ini. Yogeswari, seorang gadis keturunan darah biru Keraton
yang wajahnya indo-Jerman. Kulitnya sawo matang, rambutnya hitam legam
bergelombang, namun matanya biru secerah samudera di saat langit biru cerah
menyapa, ditambah pemanis kedua lesung pipit di kanan kiri yang mendayangi
senyum dari deretan gigi putihnya yang menyejukkan mata.
Yogeswari datang, ketiga penjaga perpustakaan itu pasti hafal dengan “aura”-nya.
Parfum Yogeswari yang harum melati, suara tapak kaki yang gagah seperti kaki
kuda yang asik berjalan di sepanjang jalan Malioboro, dan “teriakan” Yogeswari
yang lembut mendayu ketika memasuki perpustakaan: “Abadi!”
sing abadi, tho?” Tanya Welas, salah satu penjaga Perpustakaan Mandeg yang
rambutnya dicat seperti rambut jagung pada suatu hari. Tapi karena Yogeswari
selalu melantunkan salam “abadi”-nya tiap kali masuk perpustakaan itu, akhirnya
ketiga penjaga perpustakaan itu memakluminya.
Yogeswari datang hari Jumat dan Sabtu setelah pulang sekolah. Dan ia selalu
datang sendiri, dan ia menikmati kesendiriannya.
Tap. Suara tapak kaki dari sepatu pantofel Yogeswari beradu dengan lantai kayu
jati di ruangan perpustakaan ini. Mata samudera Yogeswari menyapu sekitar
ruangan. Seluruh objek masih ada di titik yang sama.
setengah terbuka masih berdecit saat angin bertamu, kipas baling-baling itu
masih bergerak sesuai ritmenya yang sesantai gerak kura-kura, dan tempat duduk
favoritnya yang menghadap jendela masih di tempatnya. Mandeg. Abadi.
tersenyum dan segera menaruh tas jinjing bermotif batik megamendungnya di
loker. Ia pun menuju ke rak buku dekat sudut kanan ruangan. Dengan tangga
duduk, diambilnya novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang sudah
dibaca ulang sebanyak dua kali olehnya.
sudah menyelesaikan seluruh buku di sastra Indonesia, dan separuh sastra asing
lainnya. Dalam setengah hari, Yogeswari mampu menyelesaikan sekitar tiga ratus
halaman. Namun, karena ia adalah gadis perfeksionis yang sangat mengatur jarak
dan postur membaca yang benar, mata biru samuderanya itu masih sehat tanpa
bantuan kacamata.
bunyi akord D dimainkan dari dawai gitar klasik. Suaranya yang memecah sunyi
seantero ruangan lantas membuat Yogeswari kontan menoleh ke sumber suara. Dari
tempat duduknya Yogeswari melihat seorang pria setengah baya berkemeja putih
dan berkacamata membawa gitar klasik di dekapnya dengan senyum lebar. Pria itu
berkulit putih mulus dan sangat kontras dengan perpustakaan ini yang bernuansa
krem.
angin bertiup dari utara, pohon itu akan meliuk ke selatan. Seperti pohon
kelapa itu: … sebelum kehidupan kembali tenang, lebih dahulu harus terjadi
sesuatu.” kata pria itu yang berdiri tak jauh dari tempat duduk Yogeswari.
Yogeswari menelan ludah. Mata samudera itu menatap pria di hadapannya dengan
kebingungan.
barusan adalah kutipan dari buku yang kamu baca. Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad
Tohari,” kata pria itu dengan senyum lebarnya dan mengambil ancang-ancang untuk
menggenjreng gitarnya lagi.
Ini perpustakaan! Jangan main musik di sini, Mas!” Yogeswari memajukan
kesepuluh jarinya sebagai gesture untuk menghentikan pria berkacamata itu.
begitu? Tapi mereka bertiga nggak keberatan, kok.” bela pria itu sembari
menoleh ke ketiga penjaga perpustakaan yang sedang ketawa-ketiwi menonton
sinetron kesayangannya di depan.
Yogeswari ikut menoleh ke arah ketiga penjaga
itu. Ia pun menghela napas.
kapan Mas di sini?” tanya Yogeswari masih dengan tatapan kebingungan.
itu bukannya langsung menjawab, malah menatap ke langit-langit, seperti sedang
mencari sesuatu di atas sana. Ada jeda yang cukup lama sehingga Yogeswari mulai
membuka bukunya lagi.
seru pria itu tiba-tiba hingga membuat Yogeswari sedikit tersentak.
saya Dante.” Dante pun tersenyum hangat pada Yogeswari. Yogeswari balas
tersenyum.
kamu…?” tanya Dante sembari menaikkan alisnya.
Namamu indah sekali” Dante perlahan menyeret kursi dan duduk di depan
Yogeswari setelah menaruh gitarnya bersandar di dinding.
Ibu saya memang pintar memberi nama. Tapi kemudian beliau meninggal dan disusul
ayah saya. Saya nggak sempat bertanya arti nama itu apa,” ujar Yogeswari
sembari tersenyum lebar tanpa beban.
memiringkan wajahnya dan menatap prihatin ke Yogeswari, namun tidak
ditemukannya selaksa kesedihan di mata samudera itu.
Mas Dante?” Yogeswari menatap sepasang mata milik Dante yang kini ia tahu
warnanya adalah cokelat terang seperti latte dengan granula cokelat.
suka baca buku klasik juga? Tadi Mas bisa mengutip buku Ronggeng Dukuh Paruk
ini…” ujar Yogeswari sambil memajukan posisi duduknya.
Saya ke sini karena saya suka baca buku klasik. Perpustakaan Mandeg punya
koleksi buku nggak ter-update terlengkap sedunia.” Dante dan Yogeswari tertawa
renyah.
perpustakaan sempat memusatkan perhatian mereka ke Yogeswari yang tertawa
lepas, lalu kembali asyik dengan sinetron kesayangan mereka.
saya jarang lihat Mas Dante ke sini…?”
biasanya saya datang hari Selasa dan Kamis, tapi hari ini sedang ada cuti
bersama, jadi sekali-sekali saya ke sini hari Jumat”
Mas Dante sudah kerja? Kerja apa?”
sejarah.”
keren!” Yogeswari tersenyum lebar dan memiringkan kepalanya. Pertanda ia sangat
antusias.
mengamati sejenak keseluruhan Dante. Rambut sedikit ikal namun terpangkas rapi,
kacamata kayu hitam klasik, kemeja putih disetrika rapih, celana krem yang
sedikit kedodoran, dan aroma parfum musk yang melengkapi nuansa casual
classy-nya. Entah mengapa Yogeswari merasa ada medan magnet yang kuat pada
lelaki yang berada di depannya itu.
kemudian, dua setengah jam percakapan terjadi sore hari itu hingga akhirnya
terdengar semayup adzan maghrib membahana di luar perpustakaan. Yogeswari
melirik jam arloji kulitnya dan sudah waktunya untuk pulang. Yogeswari dan
Dante saling bertatapan sejenak, lalu keduanya tersenyum lebar dan menunduk
malu. Entah malu dalam konteks apa, yang jelas mereka telah mengobrol terlalu
lama. Akhirnya Yogeswari yang mengucapkan salam perpisahan terlebih dahulu.
nanti” Dante menaikkan kelima jari kanannya dan menunduk sopan dengan senyum
sederet gigi rapihnya.
daun pintu Yogeswari melambaikan tangan. “… Sampai nanti” kemudian ia
menghilang dari balik daun pintu. Setelah daun pintu itu tertutup, senyum
kontan merekah di bibir Yogeswari. Sepanjang jalan pulang, Yogeswari
mengayun-ayunkan tas jinjing motif megamendungnya itu dengan riang.
kau percaya mesin waktu itu pernah ditemukan? Manusia telah berkali-kali
menemukannya. Saat sepasang manusia saling menemukan jiwa di pembicaraan
mereka, atau sekedar bersama saja, namun jiwa mereka bertaut. Dan seberapa
lamakah waktu itu? Waktu adalah relatif. Dan relativitas waktu yang ditemukan
Yogeswari sore ini telah membuatnya ingin terus berulang kali menggunakan
“mesin waktu” itu.
Pagi, Lasmi!” sapa Yogeswari dengan menampilkan sederet gigi rapihnya yang
dibingkai dua lesung pipit di kanan kiri.
Pagi juga Yogeswari yang lagi kasmaran! Berbunga-bungaaa” Lasmi memainkan rok
rempel abunya dan berpura-pura sedang berada di padang bunga bak Syahrini.
hari ini aku senang banget!” Yogeswari menaikkan kedua tangannya.
cerita apa lagi?” tanya Lasmi antusias sambil menaruh tas dan stik drumnya di
loker.
dikasih bunga Edelweis kemarin!”
maksud tersembunyi nggak tuh?” tanya Lasmi sambil menyipitkan kedua matanya.
Maksud apaan?”
you know lah, Yog… Flower is a symbol. And Edelweiss…? You know that flower”
tertegun sejenak.
flower. Bunga keabadian. Yogeswari mengeja dalam hati.
yang sedang sibuk menata rambut shaggy-nya di cermin sontak menoleh. “Ya, Yog?”
apakah keabadian itu ada?” tanya Yogeswari dengan wajah serius. Lasmi langsung
meletakkan sisirnya dan menatap Yogeswari sambil memikirkan jawabannya.
ada yang abadi, Yog. Bahkan keabadian… abadi untuk tidak abadi.” Lasmi menepuk
bahu Yogeswari pelan. Sontak keceriaan dari wajah Yogeswari meluap. Lasmi
merasa bersalah karena jawabannya membuat Yogeswari tidak seceria tadi lagi.
iya, Yog, katanya lo mau ngenalin gua ke dia. Minggu depan, ‘kan?” Lasmi
berusaha mengalihkan suasana dengan wajah tengilnya.
yang sempat melamun sontak sedikit terkejut dan cepat-cepat mengangguk
mendengar pertanyaan Lasmi.
itu Yogeswari dan Lasmi janjian untuk bertemu di Perpustakaan Mandeg. Awalnya
Yogeswari malas untuk mengenalkan Dante pada Lasmi, tapi Lasmi terus mendesak,
hingga akhirnya Yogeswari pun menuruti permintaannya. Yogeswari lebih senang
bertemu dengan Dante berdua saja di perpustakaan ini.
sih, kok nggak dateng-dateng?” Tanya Lasmi gupek sambil beberapa kali melirik
jam adidas-nya.
tho… paling sebentar lagi…” Yogeswari tersenyum meyakinkan.
mengedarkan pandangannya di perpustakaan ini. Ia bergidik sendiri melihat
betapa kunonya perpustakaan ini. Kok bisa Yogeswari betah berlama-lama di sini,
sendirian!
berganti menjadi bermenit-menit, bermenit-menit berganti menjadi berjam-jam.
Berjam-jam berganti menjadi…
ah! Sudah kelamaan! Gila! Gua mau tidur saja gini caranya!” Lasmi mendesis
sebal.
tersenyum tidak enak. “Aduh… Maaf ya, Lasmi… kayaknya dia lagi lembur ngasih
tambahan pelajaran ke muridnya.”
Yoggy… makanya lo itu jangan mau kepincut sama orang yang sudah kerja! Mau dia
guru muda kek, orang kantor yang masih brondong kek, pokoknya kalo masih remaja
ya cari yang sepantaran masih pelajar apa kek gitu! Hhhhh” Lasmi gemas sendiri.
minggu depan dia bakal ke sini lagi” kata Yogeswari.
ah! Gua mau tidur aja!”
sedikit menyeret tangannya kirinya.
* Trisha Adelia, siswa SMA Negeri 2 Bandarlampung



