Dana Perjuangan

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Menyimak persidangan dari suatu perkara; seorang saksi ditanya penegak hukum tentang adanya uang yang disimpan di atas loteng. Dengan lugu saksi mengatakan bahwa uang itu diperoleh...

Dana Perjuangan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Menyimak persidangan dari suatu perkara; seorang saksi ditanya penegak hukum tentang adanya uang yang disimpan di atas loteng. Dengan lugu saksi mengatakan bahwa uang itu diperoleh dari orang kepercayaan pimpinan untuk digunakan sebagai “dana perjuangan”. Karena keluguannya uang tersebut disimpan di atas loteng sampai empat puluh hari lamanya. Entah apa yang ada di benak saksi sehingga menyimpan uang sampai selama itu, apakah supaya uang itu beranakpinak, atau melihat siatuasi untuk dapat digunakan jika di rasa aman, bisa juga karena kebingungan uang apa itu dan untuk apa. Sebaiknya biar waktu saja yang akan membuktikan apa dan bagaimananya.

Kita coba sekarang memahami istilah “dana perjuangan”, bagaimana dan kapan istilah itu muncul; dari hasil penelusuran sejarah tidak ditemukan entitasnya; justru yang ada adalah “Dana Revolusi”; adapun informasi lengkapnya sebagai berikut: Dari beberapa sumber menyebutkan pada tahun 1906 terjadilah ikrar raja-raja nusantara. Untuk membantu perjuangan kemerdekaan negeri secara diam diam dengan cara menyumbangkan sebagian asset mereka kepada para pejuang.

Dana yang kemudian dikenal dengan Dana Revolusi atau Dana Amanah ini mulai dihimpun kembali setelah Kemerdekaan Indonesia melalui Perpu no. 19 tahun 1960 yang isinya antara lain “Mewajibkan semua perusahaan negara menyetorkan lima persen dari keuntungannya pada pemerintah untuk Dana Revolusi” termasuk beberapa perusahaan besar Belanda yang baru di nasionalisasikan seperti perkebunan-perkebunan besar yang diperkirakan berjumlah ratusan juta dollar tersimpan di luar negeri.

Perjanjian “the Green Hilton Memorial Agreement Geneva” yang dibuat dan di tanda tangani pada 21 November 1963 di Hotel Hilton Geneva, Swiss oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dan Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno, disaksikan tokoh negara Swiss William Vouker, menjadi penunjuk dan penegas bahwa salah satu sumber Dana Revolusi tersebut ada.

Dalam perjanjian itu Pemerintah AS (sebagai Pihak Pertama) mengakui 50% keberadaan emas murni batangan milik Indonesia sebanyak 57.150 ton dalam kemasan 17 paket emas dan Pemerintah Indonesia (selaku Pihak Kedua) menerima batangan emas tersebut dalam bentuk sewa penggunaan kolateral dollar yang diperuntukan buat pembangunan keuangan Amerika Serikat.

Poin berikut dalam perjanjian itu, pemerintah Amerika Serikat harus membayar Fee 2,5% setiap tahunnya sebagai biaya sewa kepada Indonesia, mulai berlaku jatuh tempo sejak 21 November 1965 . Account khusus akan dibuat untuk menampung asset pencairan fee tersebut. Maksudnya, walau point dalam perjanjian tanpa mencantumkan klausal pengembalian harta, namun ada butir pengakuan status koloteral yang bersifat sewa (leasing). Biaya yang ditetapkan dalam perjanjian itu sebesar 2,5% setiap tahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya.

Namun, dari penelusuran sejarah militer Indonesia, diakui saat revolusi kemerdekaan berlangsung; ada semacam usaha untuk mengumpulkan dana dari berjualan produk local Indonesia ke luar negeri; uang hasil penjualan dibelikan senjata dan biaya operasi melawan agresi Belanda saat itu. Republik Indonesia yang masih sangat muda usianya, memerlukan dana perjuangan untuk melawan penjajah, adalah merupakan upaya yang patut dihargai, karena jelas sasarannya.

Bisa jadi sejarah ini sudah banyak yang lupa, terutama generasi milenial, namun menjadi menarik manakala istilah “dana Perjuangan” disulihartikan kepada dana untuk melakukan kejahatan kemanusiaan, yaitu korupsi. Berarti korupsi itu menurut konsep penganut paham ini, bukan menjadi penyimpangan, tetapi lebih direncanakan untuk disimpangkan; oleh karena itu perlu pendanaan dari perancangan, sampai eksekusi.

Lalu, jika merancang korupsi dengan menyediakan terlebih dahulu dana perjuangan yang tidak kecil, berapa besar dana yang akan dikorupsi. Dan ini bisa menyeret orang orang baik di negeri ini, karena berada dilingkungan yang tidak baik. Meminjam istilah Ansori Jauzal banyak sekali orang yang tidak bisa menyelesaikan tugas kehidupannya dengan baik, karena terikut arus lingkungannya yang tidak baik. Justru karena kebaikan dirinya, dimanfaatkan orang lain yang tidak baik untuk memuluskan ketidakbaikannya.

Wajar saja jika hukuman yang ditimpakan kepada pemberi dana perjuangan untuk korupsi harus lebih berat, karena tidak ada bedanya dengan penyandang dana untuk teroris., bahkan jika ditimbang efek lanjut dari kerusakan yang ditimbulkan, tentu lebih dahsyat kerusakan akibat korupsi, karena akan merusak sistem sosial, sistem nilai dan generasi bangsa. Apalagi sipemberi dana memiliki jabatan sebagai ketua lembaga tertinggi disuatu lembaga terhormat di negeri ini.

Bisa dibayangkan korupsi satu triliyun dari pembuatan Tanda  Penduduk ysng dilakukan oleh pimpinan tinggi lembaga negara, mungkin dimuka bumi ini hanya ada di negeri ini. Sama halnya lembaga pencetak pimpinan negeri yang seharusnya bersih dari kolusi dan korupsi saat penerimaan calon, ternyata melakukan suap dengan cara berjamaah. Simbul keagamaan yang seyogyanya ditempatkan pada tempat yang benar, justru dijadikan “selimut tebal” guna melindungi diri untuk melakukan tindakan korupsi. Anehnya tanpa beban mengatakan itu bukan suap tetapi infak, dan teman pengumpulpun dengan berapi api mengatakan “merasa ditinggal”.

Selamat ngopi pagi.