Calon Pemimpin Ala Kadarnya

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pada masa lalu  anak muda di perkampungan wilayah Sumatera Bagian Selatan, khususnya eks-Karesidenan Palembang harus memiliki kecakapan praktis dalam banyak hal. Salah satu di anta...

Calon Pemimpin Ala Kadarnya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Pada masa lalu  anak muda di perkampungan wilayah Sumatera Bagian Selatan, khususnya eks-Karesidenan Palembang harus memiliki kecakapan praktis dalam banyak hal. Salah satu di antaranya adalah kemampuan menyusun hidangan pada saat ada perhelatan. Mereka  menunjukkan kepiawaian membawa hingga menggelar hidangan. Untuk daerah tertentu kecakapan ini disebut ngobeng.

Para orang tua yang memiliki anak gadis, saat mereka menghadiri perhelatan, secara diam diam menilai para bujang tadi mana yang memiliki keterampilan untuk menghidangkan hidangan. Pada umumnya orang tua ini akan menginformasikan kepada anak gadisnya tentang kemampuan si anak bujang tadi. Secara tersamar memberikan rekomendasi untuk ditindak lanjuti.

Namun ternyata tidak banyak anak bujang yang memiliki keterampilan ini. Kebanyakan mereka memiliki kemampuan ala kadarnya saja. Mereka  pada umumnya difungsikan sebagai pelengkap penyerta, bahkan terkadang pelengkap penderita. Bagian pelengkap penyerta antara lain memasak air dan menanak nasi, sementara pelengkap penderita mereka bertugs  mencari kayu api di hutan, menebang bambu untuk membuat tenda perhelatan, mencari umbut rotan untuk dijadikan gulai.

Ala kadar menurut Tesaurus Bahasa Indonesia sinonimnya adalah sekadarnya, apa adanya, seadanya, seperlunya, secukupnya. Seiring dengan adanya perubahan zaman, ternyata konsep ala kadarnya tidak juga berubah. Hanya saja bidang wilayahnya menjadi semakin luas. Bisa dibayangkan jika banyak peristiwa sosial saat ini berlangsung menggunakan adagium alakadarnya, hanya guna memenuhi persyaratan minimal dari suatu even sosial. Padahal, jika dicermati “sifat kealakadaran” ini hanya untuk berlindung diri dari pemikiran sempit yang mengatasnamakan kepentingan.

Akibatnya, jika kondisi normal “tidak ada rotan, akar pun jadi” berubah menjadi “akar saja dipakai, walau masih banyak rotan tersedia”. Hal ini terjadi karena rotan yang tersedia tidak dapat memenuhi persyaratan selera yang ingin menggunakannya. Jika digamblangkan pernyataan ini, bisa dibayangkan kader terbaik banyak tersedia berserak di dalam suatu organisasi, namun karena kader yang ada tidak dapat memenuhi selera pimpinan tertinggi organisasi itu. Atas pertimbangan subjektif yang diobjektifkan diputuskan tidak dipakai.
Berarti “calon alakadar” menjadi pertimbangan yang dirasionalkan, menjadi kriteria untuk memilih seseorang guna memimpin suatu sistem sosial, atau organisasi sosial tertentu. Hal ini tentu mengesankan ketidakmampuan sistem sosial yang dibangun untuk menemukenali kader terbaik. Bisa jadi ketidakmampuan ini produk dari ketidakpedulian dari penyelenggara organisasi, bisa jadi pula adalah kesengajaan yang dibuat tersetruktur dan masif, oleh mereka yang memiliki hak membangun sistem sosialnya.

Ada satu kisah sufi yang dapat dipetik sebagai pembelajaran berjudul “kisah lilin dan pemimpin” tentang  , bagaimana menemukenali calon pemimpin dengan tidak ala kadarnya. Diceritakan seorang raja memiliki dua anak laki-laki. Keduanya pandai dan dan disukai oleh rakyatnya karena kerendahan hati  dan  kesastunannya. Namun sang Raja harus memilih satu di antara anaknya untuk menggantikannya kelak. Singkat cerita Sang Raja menggelar sayembara yang diikuti  kedua anaknya dengan cara memberi keduanya satu kepeng mata uang emas. Sang Raja bertitah kepada kedua anaknya agar membeli benda atau apa saja yang dapat memberikan gambaran dan pandanganmu apabila engkau memimpin kerajaan ini.

Tiga hari kemudian saat malam mereka menghadap raja. Si sulung mengatakan dia membeli pena dengan alasan dia akan menulis semua perintah dan rencana ayahanda  dan melaksanakannya guna kesejahteraan rakyat di negeri ini. Sementara si bungsu yang datang kemudian mengajak Sang Ayah ke ruangan yang sangat gelap. Kemudian si bungsu mengeluarkan lilin dan pemantik. Dia mengatakan bahwa uangnya dibelikan lilin dan pemantik. Kemudian dia berkata, “Ayah, menurut ananda seorang pemimpin itu sama dengan cahaya lilin di tengah kegelapan. Dia menjadi penerang bagi yang mengalami kegelapan dan menjadi anutan bagi yang dipimpinnya. Dan setiap saat rela berkorban untuk penerangan itu sendiri”. Akhirnya Sang Raja menjatuhkan pilihan untuk meneruskan tahta kerajannya adalah si bungsu.

Dalam mencari pemimpin kita tidak boleh menggunakan parameter “ala kadar”. Apalagi sekadar melengkapi. Pelengkap pun ada pada wilayah pelengkap penderita. Kalau sudah begitu, tunggu saja kehancuran suatu sistem jika dalam menentukan kepemimpinan hanya dengan konsep demikian ini.

Selamat ngopi pagi.