Bulan
Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila Beberapa waktu lalu ada teman mengirimkan meme melalui piranti sosial dengan keterangan “Bulan purnama itu penanda air laut pasang, isi kantong melayang”. Bulan yang berasal da...

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila
Beberapa waktu lalu ada teman mengirimkan meme melalui piranti sosial dengan keterangan “Bulan purnama itu penanda air laut pasang, isi kantong melayang”. Bulan yang berasal dari kata candra, ternyata memiliki asal kata yang cukup panjang. Berdasarkan penelusuran diperoleh informasi: candra (chandra) berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “chan” memiliki arti “bulan bersinar”. Dalam kepercayaan agama Hindu, Chandra merupakan nama dewa bulan. Tugas dewa tersebut adalah mengelilingi angkasa dan mengatur orbit benda-benda langit. Sementara dalam bahasa Jawa, panggilan “Chandra” biasa ditulis tanpa huruf ‘h’, yakni Candra. Walaupun penulisannya berbeda, tetapi arti nama Candra tetap sama, yaitu rembulan. Pengertian lain bulan juga disebut Luna; yang artinya unik dan cantik.
Istilah “bulan” pada era 1950-an pernah menjadi adagium yang mempesona dan dituangkan dalam lirik lagu, ada “wajahmu bak bulan purnama”, ada lagi judul lagu “Bulan Merindu”, terakhir “Kalau Bulan Bisa Ngomong”. Dan masih banyak lagi kalau kita deretkan akan memenuhi halaman ini.
Nama “bulan” begitu favorit, baik masih berakronim bulan maupun chandra atau candra. Semua menggambarkan bahwa mereka yang bernama menggunakan diksi itu, diharapkan oleh pemberi nama, menjadi yang terbaik, atau paling tidak selalu berbuat baik.
Dari sisi lain “bulan”pun menjadi permulaan dari suatu petaka, baik itu personal maupun kolektif. Jika ada ucapan “tanggung bulan” maka orang sudah paham bahwa secara personal yang bersangkutan ada sedikit persoalan dalam keuangan. Apalagi jika itu dilanjutkan dengan “akhir bulan, bulan tua” semua orang mafhum adanya. Kata ganti bulan menjadi chandra atau candra untuk diksi ini tidak tepat bahkan mengubah arti atau maksud. Namun akhir-akhir ini banyak peristiwa sosial yang berseliweran baik di dunia nyata maupun maya, yang mengubahsandingkan kata yang memporakporandakan makna.
Perkara pilihmemilih bisa menjauhkan kata dari maknanya. Perkara suka tidak suka bisa menggeser kalimat dari maksudnya. Kebencian terhadap sesuatu disulihartikan melalui kalimat sarkastis, yang terkadang sangat menyakitkan untuk ukuran telinga hati yang normal. Bayangkan jika ada kalimat yang berbunyi “jadi bulan-bulanan politik, bulan madu politik”; banyak lagi sejenisnya dari yang halus sampai yang sangat kasar dan tidak patut dituliskan di sini.
Atas nama kebebasan mengemukakan pendapat dalam demokrasi, sering sulit membedakan antara mencaci-maki, mencerca dengan muatan kebencian, bahkan memfitnah dengan berlindung pada “klarifikasi”. Negeri ini tampaknya semakin hari semakin ngeri untuk ditinggali oleh anak negeri yang menjunjung tinggi marwah diri.
Bulan bulan terakhir menunjukkan suhu politik kebencian semakin menjadi-jadi, etika sudah begitu diabaikan, baik oleh aparat apalagi rakyat. Jika ada celah sosial sedikit saja yang dapat dijadikan amunisi mencerca, maka saat itu juga dijadikan bulan-bulanan. Seolah semua tidak takut lagi akan dosa. Sampai-sampai ada teman yang mengibaratkan kondisi saat ini bukan lagi manusia takut pada setan, justru setan takut kepada manusia; karena perilakunya sudah melampaui perilaku setan yang sesungguhnya.
Fitnah disebar bak ranjau paku jalanan, fakta dijungkirbalikkan menjadi fiksi, yang asli dijadikan palsu, yang palsu dipoles bagai asli. Apakah ini bagian dari Jaman Kalabendu seperti pernah disampaikan pujangga Ronggowarsito? Tidak ada satu jawabanpun yang dapat dijadikan kunci. Semua sibuk saling bakuserang, bakubalas, sehingga yang terjadi akumulasi persoalan bangsa yang dapat membuat keretakan sosial. Upaya pendinginan situasi tidak pernah sampai ke akar rumput, justru yang ada silang-sengkarut membuat ikatan kebangsaan makin tercerabut.
Kondisi yang seperti ini sangat memprihatinkan manakala kita semua elemen bangsa ini mau menyadari. Masa lampau kita pernah mencatat ekonomi kita jadikan panglima, akhirnya tigapuluh tahun kemudian yang kita tuai kehancuran ekonomi. Apakah kita saat ini yang menjadikan politik sebagai panglima akan menuai hal yang sama? Hati nurani kita masing masing yang akan menjawabnya.
Selamat ngopi pagi…