Antara Masjid dan Taman Gajah
Oleh Syarief Makhya Akademisi FISIP Universitas Lampung Berawal dari keinginan Gubernur Lampung Arinal Junaedi untuk membangun masjid di area yang sekarang dikenal Taman Gajah di daerah Enggal Bandar Lampung yang kemudian viral di media sosial, muncu...

Oleh Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung
Berawal dari keinginan Gubernur Lampung Arinal Junaedi untuk membangun masjid di area yang sekarang dikenal Taman Gajah di daerah Enggal Bandar Lampung yang kemudian viral di media sosial, muncul pro-kontra seputar rencana tersebut. Mereka yang tidak setuju menolak di bangun masjid, karena di Kota Bandar Lampung sangat terbatas area lapangan terbuka dan ruang publik sebagai tempat santai, ruang beekspresi, tempat hiburan, alasan lain, karena di sekitar wilayah Enggal sudah banyak berdiri mesjid, jadi keberadaan mesjid disekitar daerah itu tidak menjadi kebutuhan dibangun masjid lagi.
Sementara masyarakat yang setuju dibangun masjid di Taman Gajah lebih condong karena alasan sentuhan ibadah atau mungkin pertimbangan nilai nya lebih pada kepentingan agama dibandingkan dengan kebutuhan lain sebut saja rekreasi, estetik, refreshing akhir pekan dan Instagramable. dst. Alasan lain, tentu saja ada penyandang dana yang siap membiayai pembangunan masjid yaitu Abu Rizal Bakrie, yang mendorong Pak Gubernur bersikeras untuk membangun masjid di Taman Gajah tersebut.
Dalam paradoks nilai tersebut tentu akan sulit untuk mengambil keputusan oleh para pengambil kebijakan. Di satu sisi, lahan tersebut sudah dibangun oleh Gubernur sebelumnya Ridho Ficardo tahun 2017 untuk tempat nongkrong baru, olah raga, dan kumpul-kumpul. Tempat ini juga dipakai untuk event kuliner, pertunjukan, dan aneka hiburan lainnya. Juga, bisa digunakan untuk bermain futsal atau bermain basket. Di tempat ini, ramai juga anak-anak muda yang bermain skateboard, sepatu roda, dan atraksi sepeda, menghibur pengunjung yang kebetulan sedang main ke Taman Gajah Lampung.
Sementara itu, Gubernur Arinal rencana membangun masjid didorong karena sudah ada penyandang dana, untuk kepentingan ibadah, simbol, mungkin saja dianggap legacy .
Dari sudut kepentingan publik baik mereka yang ingin mempertahankan Taman Gajah sebagi tempat santai, kuliner, olahraga dst maupun mereka yang ingin membangun masjid, sebenarnya sah-sah saja ke dua-duanya memiliki kemanfaatan atau kebaikan publik yang bisa dipahami bersama.
Namun, pada kasus pembangunan masjid atau tetap mempertahankan Taman Gajah bukan hanya sebatas persoalan teknis pembangunan, tetapi menyangkut pilihan nilai. Dalam perspektif ini tidak boleh nilai yang satu lebih baik dibandingkan nilai yang lain. Jadi, keputusan kebijakan harus didasarkan pada multinilai (multiple values)
Keputusan Bersama?
Pertimbangan lain dari aspek empiris, lahan di area Taman Gajah adalah milik Pemerintah Provinsi Lampung yang lokasinya berada di Kota Bandar Lampung. Bagi Kota Bandarlampung yang area ruang terbuka sangat terbatas dan tidak ada alternatif lain, maka mempertahankan kawasan Taman Gajah sebagai tempat terbuka untuk kebutuhan rekreasi, tempat santai, dst tentu menjadi kebutuhan bagi warga Kota Bandarlampung.
Pembangunan Taman Gajah diselesaikan tahun 2018 dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp12 miliar yang bersumber dari APBD Provinsi Lampung tahun 2017 dan 2018. Jadi, alangkah mubazirnya dengan anggaran sebesar tersebut dan baru berjalan empat tahun sudah akan digantikan dengan bangunan yang lain.
Sementara membangun masjid yang luas, megah dan menjadi ikon Lampung juga penting, namun tempat mesti dicari lokasi lain yang tidak mengganggu lokasi yang sudah ada, dan berada di lokasi yang strategis.
Dengan demikian, harus ada kesepakatan bersama melaui proses diskusi dan beradu argumentasi dengan melibatkan berbagai pihak seperti Pemrov Lampung, Pemkot Bandarlampung, komunitas, pegiat seni, pers, akademisi, dan stakeholders yang lain.
Melalui proses deliberasi kebijakan, pendekatan multiple values, yang didasari pada filsafat pluralisme etik atau multi objective decision making yang menyandarkan diri pada tujuan dan sasaran yang lebih dari satu bisa diwujudkan. Dalam pendekatan ini untuk memaksimalkan kemaslahan sosial, pengambilan keutusan tidak hanya berdasarkan pada pendekatan rasional tetapi juga etis, dan mampu menimalisir terjadi resistensi dan mencari jalan tengah yang terbaik.
Melalui pendekatan deliberasi kebijakan, rakyat diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi dan gagasanya dan penguasa tidak bisa mendikte keputusan yang dipaksakan kepada rakyat sekalipun seringkali mengatasnamanakan kepentingan rakyat.
Sejauh ini, sudah banyak para seniman, akademisi, pers, dan lainnya yang menyampaikan penolakan atas rencana Gubernur Arinal membangun masjid di area Taman Gajah. Penolakan ini menjadi narasi publik (public sphere) yang sangat penting, untuk menguraikan dan mendekonstruksi kekuasaan dalam pembuatan kebijakan publik.***