Tak Harus Bilang Cantik
Tomi Lebang Media sosial menjadikan setiap orang kini adalah penulis. Segala gaya tulisan tersaji seperti aneka hidangan di meja restoran padang. Ada yang pedas, manis, asam, asin, bening dan pekat. Tapi sungguh, lebih banyak yang berupa nasi dengan...

Tomi Lebang
Media sosial menjadikan setiap orang kini adalah penulis. Segala gaya tulisan tersaji seperti aneka hidangan di meja restoran padang. Ada yang pedas, manis, asam, asin, bening dan pekat.
Tapi sungguh, lebih banyak yang berupa nasi dengan sedikit kuah, atau seperti di ring tinju dan tawuran jalanan: hanya tonjok-tonjokan atau lempar-lemparan batu. Tak ada gerak kembang-kembang pesilat yang indah tapi mematikan. Yang meliuk berkelit tapi juga menohok uluhati.
Semua karena bahasa, karena keterbatasan kosakata. Setengah Inggris setengah Melayu. Setengah sinis setengah pepayu (bhs Toraja, sialan) hehe.
Saya ingat zaman sekolah, pelajaran bahasa Indonesia yang kini terlupakan, tentang frasa, hiperbola, majas sinekdoke berupa totem pro-parte dan pars pro-toto, eufemisme, kiasan-kiasan, peribahasa, pantun, dan sebagainya. Ke mana gerangan semua itu?
Digerus politik dan gawai, atau kepahitan hidup belaka? Atau karena kini kita tak lagi mengenal surat cinta bersampul ungu yang saat dibuka merebakkan aroma bunga dari bahan kimia?
Atau bisa jadi, generasi kita kini kian menjauh dari alam, sehingga tak bisa lagi membedakan aur, buluh, bambu, dan betung? Semua disebut bambu belaka. Tak tahu nama-nama jenis kayu karena hanya mengenal rumah, mobil, pesawat dan pusat perbelanjaan.
Saya pernah bertanya ke sekumpulan mahasiswa pengelola surat kabar kampus: apa gerangan arti setiap kata dalam peribahasa “alah bisa karena biasa”? Jawabannya seragam, alah = ala/cara, bisa = mampu, dan seterusnya. Tak satu pun yang tahu jika “alah bisa” itu berarti “racun pun tak mempan (kalah) karena sudah terbiasa”.
Dan ini, tentang deskripsi: melukis dengan kata-kata. Pernah, seorang penulis menggambarkan kecantikan seorang Lupita Jones, Miss Universe sekian puluh tahun lalu, dengan kalimat ini: “Kalau saja ia meminum anggur, maka pada lehernya yang jenjang itu, air merah dari perdu merambat itu akan terlihat mengalir!” Mungkin berlebihan, tapi kita menangkap kekaguman si penulis pada perempuan dari Spanyol itu tanpa harus menyebutnya cantik, jelita, bening, atau ayu.
Tentu di banyak buku yang mungkin telah berdebu di rak-rak pustaka, kiasan-kiasan yang lama terlupakan masih mudah ditemukan. Kata-katanya mungkin sudah terasa aneh.
“Alisnya bak semut beriring, hidungnya bak dasun tunggal, rambutnya bagai mayang terurai, pipinya bak pauh dilayang, kukunya bak kiliran taji, bibirnya bak delima merekah, dan suaranya merdu bagai buluh perindu.” Begitulah lelaki pujangga zaman dulu menggambarkan perempuan pujaan.
Pauh dilayang, dasun tunggal dan buluh perindu – masihkah kita mengenali kata-kata Indonesia asli ini? Tahukah Anda, pauh dilayang berarti mangga yang disayat memanjang dan dasun adalah bawang putih? Dan buluh perindu adalah suling bambu yang — di zaman tak ada telepon genggam untuk mengirim ajakan kencan – ditiup dari luar rumah dan suara sendunya menimbulkan rindu sang kekasih?
Zaman keemasan kata-kata itu sudah hampir hilang. Ditelan keriuhan dan perdebatan yang tiada ujung tentang swarga dan pilkada. Atau bisa juga karena dunia yang kian menua dan rasa manusia semakin tumpul.
Manusia kini tak mudah dirayu. Kecuali dengan uang dan kekuasaan tentunya.
Selamat pagi. Berbahasa satu, Bahasa Indonesia.