Sudut Pandang
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila Pagi menjelang siang, saat menghadiri seminar proposal mahasiswa pascasarjana strata dua, ada yang menarik dari tema yang diambil yaitu “historical empathy” sebagai sentral penelitian...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila
Pagi menjelang siang, saat menghadiri seminar proposal mahasiswa pascasarjana strata dua, ada yang menarik dari tema yang diambil yaitu “historical empathy” sebagai sentral penelitian. Diskusi menjadi seru karena mahasiswa harus masuk kesuatu taman berpikir yang disebut reflektif inquiry. Ini berarti kita harus yakin bahwa pembelajaran yang digelar harus mampu menghadirkan “rasa” suatu peristiwa kesejarahan di hati para pembelajar.
Soal seminar biarkan diselesaikan secara akademik oleh mahasiswa yang bersangkutan, namun ada satu hal yang menarik di sana ialah bahwa setiap manusia mempunyai keempatian terhadap sejarah, paling tidak sejarah hidupnya sendiri. Sadar atau tidak kita sebenarnya setiap hari menulis sejarah hidup kita sendiri dalam lembar kehidupan, yang kemudian kumpulan itu disebut pengalaman, dan jika dirangkai pengalaman itu maka itulah disebut sejarah pribadi. Tentu saja sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang personal, oleh karena itu obyektifitas bukan menjadi ukuran, namun bukan berarti subyektifitas menjadi dominan.
Sudut pandang inilah yang kemudian jika kita telusuri menjadikan varian dimensional; yang paling tidak akan kita jumpai lima dimensi; Pertama, Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang orang yang tidak mengenal kita. Wilayah gaul kita makin kecil, maka peluang untuk menjadi “orang biasa” makin kecil. Hal inilah yang harus disadari oleh mereka yang pernah berada pada tampuk pimpinan; karena pada waktunya kekuasaan itu berakhir, sementara “rasa” akan keberterimaan terhadap keberakhiran tadi sering lambat datangnya kepada pribadi yang bersangkutan. Tidak jarang nanti akan menjadikan timbulnya penyakit “rakyat rasa pejabat”. Post power sindrom banyak orang mengatakan demikian; dan ini bisa menjangkiti siapa saja, hanya bobotnya saja yang berbeda-beda.
Kedua, Kita adalah orang yang menarik dimata orang yang memahami kita. Menjadi persoalan spectrum “memahami” itu sangat lentur sekali; akibatnya jumlah mereka yang ada di wilayah ini relative lebih sedikit. Akibat lanjut hukum sosial akan berlaku, yaitu seiring perjalanan waktu jumlah yang memahami dengan yang tidak memahami bak deret hitung dan deret ukur. Atau keberlakuan dalil sosial “makin jauh dari titik pusar interaksi, maka akan makin sedikit pemahaman orang lain terhadap diri kita akan terbentuk”. Meminjam istilah G.Simmel seorang ahli interaksi sosial; medan ini disebut dengan medan fiducary.
Ketiga, kita adalah orang yang istimewa dalam pengelihatan orang-orang yang mencintai kita. Betapa bahagianya seseorang jika berada pada pusaran ini; hanya jangan dahulu jumawa, karena motivasi mencintai kita itu perlu dipahami. Bisa jadi tampak permukaan, tetapi tidak pada dasarnya. Ukuran ketulusan menjadi barometer kualitas untuk segalanya; karena bisa saja secara frekuwensi intensitas bisa banyak, namun aslinya adalah “musuh dalam selimut”. Sebaliknya dalam intensitas frekuwensi rendah, akan tetapi secara kualitas bisa jadi bobotnya lebih besar, banyak orang tua secara frekuwensi interaksi rendah dengan anaknya, namun bobot dari pola relasinya begitu besar.
Keempat, kita adalah pribadi yang menjengkelkan bagi orang yang penuh kedengkian terhadap kita. Ini berkaitan dengan point ketiga di atas; masalahnya bisa saja terjadi tampak baik dipermukaan, sebenarnya busuk di dalam. Oleh karena itu kita harus berhati hati akan tipuan sudut pandang ini; karena belum tentu yang tampaknya baik, itu tulus sampai ke hati; bisa jadi atas dasar sifat kedengkian semua dapat diselimuti dengan nyaris sempurna. Bahkan tamsil lewat epos Mahabaratapun ini disublimasikan kepada tokoh Sengkuni; yang sangat pandai bermain peran untuk menghancurkan siapa saja, termasuk menghancurkan dirinya sendiri.
Kelima, kita adalah orang-orang jahat di dalam tatapan orang orang yang iri dengki akan kita. Apapun yang terbaik kita tampilkan, dipandang oleh mereka yang iri dengki kepada kita, tetap saja jahat. Konsep jahat di sini bisa multitafsir sifatnya, bisa jelek, bisa juga merugikan mereka, dan masih banyak lagi secara psikologi. Namun memposisikan pada jahat, adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang iri kepada kita.
Menilik lima dimensi di atas, ternyata akan dijumpai oleh mahluk yang bernama manusia, tidak terkecuali utusan Tuhan sekalipun. Ini dapat kita baca pada sejarah kehidupan para Rasul Tuhan. Setiap episode kehidupannya selalu berjumpa dengan kelima dimensi di atas. Bahkan Tuhan mengajarkan kepada kita melalui utusanNYA, juga melalui para pelaku sebagai tokoh dikelima dimensi tadi untuk dijadikan tamsil.
Semoga kita dapat bijak melihat fenomena sosial yang tergelar di dunia ini, dengan tidak terjebak kepada salah satu dimensi tadi; akan tetapi kebih bisa memahami atas dasar perspektif yang lebih jernih dan objektif. Karena sifat ketidaksempurnaan kita sebagaimanusia; maka kebersediaan diri untuk melihat, memperhatikan teman, saudara, atau siapapun dia; yang saat ini sedang memerankan peran tertentu dalam kehidupan sosial; dapat kita simak dengan seksama. Karena Tuhan memberikan keberkahan atau kenestapaan kepada manusia itu dengan cara-Nya. Bisa jadi menurut ukuran kita itu adalah keberkahan, namun sejatinya adalah kenestapaan. Sebaliknya, menurut ukuran kita sesuatu itu adalah kenistaan, sejatinya ukuran Tuhan itu adalah keberkahan.
Oleh karena itu, jangan terburu buru kita menjatuhkan keputusan atau apapun namanya. Sebab, bisa jadi suatu peristiwa itu terjadi adalah tanda sayang Tuhan kepada umatnya dan diwujudkan dengan cara-Nya. Bisa juga terjadi suatu rencana sudah sangat rapi dan runut dalam ukuran manusia untuk terjadi; namun detik detik terakhir apa yang direncanakan tadi hancur berkeping; karena Tuhan menunjukkan ketidaksukaanNYA dengan cara-Nya. Bunga papan sudah terbentang, pesta sudah disiapkan, panitia sudah dibentuk; dalam hitungan detik, kalau Tuhan tidak menghendaki, maka bisa semua tadi menjadi berantakan. Papan bunga tinggal kenangan, undangan tinggal arsipkan; yang terjadi karena kun fayakun dari Sang Maha Kuasa.
Selamat ngopi pagi.