Singgasana Kutukan
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Sore itu penulis begitu lelah karena harus mengerjakan pekerjaan yang sangat beragam, sementara satu dengan yang lain tidak berhubungan. Ternyata usia penulis sudah tidak mampu lag...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Sore itu penulis begitu lelah karena harus mengerjakan pekerjaan yang sangat beragam, sementara satu dengan yang lain tidak berhubungan. Ternyata usia penulis sudah tidak mampu lagi mengejar target pekerjaan. Hanya semangat dan keinginan ibadah saja yang masih mampu memberi dorongan untuk menyelesaikan semua. Saat istirahat menunggu panggilan magrib, terbersit ingatan akan bagaimana kejadian Kerajaan Singasari dalam perebutan tahta kerajaan yang terjadi akibat kutukan Empu Gandring; hubungannya dengan pengalaman batin yang baru saja terjadi beberapa hari lalu, peristiwa itu tidak serupa bahkan tidak sama. walaupun dalam satu rasa.
Sejarah Kerajaan Singasari di Malang, melahirkan legenda yang sangat terkenal di masyarakat Jawa Timur, yaitu Ken Arok dan Ken Dedes. Ken Dedes merupakan istri Tunggul Ametung, Akuwu (kepala pemerintah setingkat kecamatan). Sedangkan, Ken Arok merupakan rakyat biasa yang membunuh, mengambil alih kekuasaan, dan merebut istri Tunggul Ametung. Asal-usul Ken Arok Menurut legenda, Ken Arok merupakan anak hasil hubungan gelap antara seorang wanita bernama Ken Endog dari Desa Panawijen dengan Batara Brahma.
Tak lama setelah dilahirkan, Ken Arok dibuang ibunya di sebuah pekuburan. Kemudian, ia ditemukan dan dibawa pulang oleh Pencuri Ulung. Dari ayah angkatnya ini, Ken Arok belajar tentang segala siasat, taktik perjudian, pencurian, dan perampokkan. Setelah dewasa, ia dikenal sebagai perampok yang sangat ditakuti di wilayah Tumapel. Ken Arok berkenalan dengan seorang brahmana yang bernama Lohgawe yang menasehati agar meninggalkan dunia hitam. Dengan dorongan Lohgawe, Ken Arok berhenti menjadi perampok dan menjadi prajurit Tumapel.
Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, memperistri Ken Dedes, putri Mpu Purwa dari Panawijen. Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken Dedes pulang ke Panawijen untuk menjenguk ayahnya. Saat, Ken Dedes turun dari kereta kerajaan, angin bertiup kencang dan menyingkap bagian bawah kainnya. Ken Arok yang bertugas mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat sekilas betis istri Tunggul Ametung tersebut.
Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes memancarkan sinar menyilaukan. Peristiwa itu tidak dapat hilang dari ingatan Ken Arok. Lalu, Ken Arok menanyakan peristiwa tersebut pada Mpu Purwa. Sang Mpu menjelaskan bahwa Ken Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa. Kemudian, Ken Arok memesan sebuah keris kepada Mpu Gandring, Mpu di Tumapel. Namun, Ken Arok tidak sabar menunggu pembuatan keris yang membutuhkan waktu lama untuk menjadi senjata yang ampuh. Ia marah lalu merebut keris yang belum selesai dan menikam tubuh pembuatnya. Menjelang ajal, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok akan mati di ujung keris dan keris akan meminta korban tujuh nyawa. Seiring perjalanan waktu, kutukan itu berjalan; doa orang teraniaya seperti Empu Gandring ternyata terwujud seperti apa adanya.
Untuk jalan cerita seterusnya dipersilahkan membaca sumber asli, namun ada sisi lain dalam Babat Songosari ini yang menonjol dan perlu mendapatkan penekanan pemikiran yaitu “kutukan” Empu Gandring seperti dijelaskan di atas.
Cerita ini mengandung makna yang lain dari yang tersurat; karena ternyata bicara tahta, itu bagai bicara kursi panas. Jika kita menilik sejarah kerajaan kerajaan di bumi ini; masalah disekitar tahta itu bukan hal yang remeh temeh. Banyak persoalan di sana, namun dapat ditarik hipotesis sementara bahwa persoalan banyak berkutat pada harta dan wanita, sangat lekat baunya. Ken Arok sendiri tidak lepas dari itu; beliau justru menang banyak, dapat istri, dapat tahta, dan tentu juga harta; terlepas dengan cara apa dia memperolehnya.
Dengan kata lain jika raja, atau pemimpin kedapatan melakukan kecurangan atas amanah kursi kerajaannya; maka hukuman pancung adalah layak untuk diterapkan di sana, karena ketiga hal tadi secara mutatis mutandis selalu berkelindan. Tinggal definisi operasional pancungnya itu yang harus dideskripsikan ulang. Bisa jadi itu bermakna tersirat, bukan tersurat. Hal itu adalah sah sah saja; karena memanfaatkan kekuasaan untuk berlaku lalim adalah perbuatan amoral yang sangat tinggi tingkatnya. Termasuk memecat para punggawa kerajaan yang tidak memiliki dasar; hanya rasa kebencian terhadap siapa yang dibelakang punggawa, pemecatan dilakukan. Doa orang orang teraniaya ternyata sangat didengar oleh Sang Maha Mendengar.
Persoalan baru bagaimana kalau kepemimpinan itu kolektif, dalam pengertian semua pucuk pimpinan adalah bersifat kolektif kolegial. Sangat janggal jiga “ada rejeki dibagi bersama, tetapi jika ada musibah ditanggung sendiri”. Tentu saja seharusnya; beban moral paling tidak, menjadi tangggungjawab bersama. Jika sang raja terkena persoalan, tentu pembantu dekat yang selama ini diangkat oleh raja; harus ikut menanggung semua konsekwensinya, dan yang paling ringan adalah untuk mundur bersama Sang Raja; kecuali para pembantu tadi memiliki muka yang saraf malunya sudah putus. Atau tega untuk berdiri di atas bangkai saudaranya sendiri, demi mengejar bayang bayang dunia yang tidak pernah berhenti.
Namun sayang kembali kepada “kutukan”; sifat kesatria seperti ini sering tertutup dengan syahwat duniawi, terutama tahta yang jadi sumber harta, walaupun mungkin tanpa wanita. Tahta dan harta saja sudah membuat celaka dan menutup sifat kesatria. Dalil dibangun atas nama hak dasar di muka hukum sama, dan lain sebagainya; semua itu adalah pembenaran yang tidak benar; karena sebenar benarnya yang benar adalah kebenaran hakiki milik Ilahi.
Selamat ngopi pahit.