Semoga 2 x 2 = 4

Slamet Samsoerizal POLEMIK selalu menyata dalam dua rona: pro dan kontra. Selebihnya adalah bias, baur dalam sekat rongga benak pengopini. RUU Pilkada Langsung, Sengketa Pilpres, postur kabinet Presiden terpilih, hingga perdebatan  4X6 a...

Semoga 2 x 2 = 4
Slamet
Samsoerizal
POLEMIK selalu menyata dalam dua
rona: pro dan kontra. Selebihnya adalah bias, baur dalam sekat rongga benak pengopini.
RUU Pilkada Langsung, Sengketa Pilpres, postur kabinet Presiden terpilih,
hingga perdebatan  4X6 atau 6 x 4 adalah
sejumput contoh yang bisa diambil. Pengopini pro punya argumen logis. Pengopini
kontra punya silat lidah berjurus-jurus hingga merujuk pada konteks yang lebih
luas.
Di mana biasnya? Ketika
masing-masing pihak melontarkan idenya dengan khas yang mungkin tak terbantah,
muncul mahluk bernama bias. Topik membelok di kelokan nan elok. Sosok pengopini
mulai ditelisik. Kalau ada kaitan dengan topik, itu cuma dijadikan sebagai
serempetan.
Ini yang antara lain terjadi pada
kasus Habibi, siswa kelas II SD yang belakangan bikin heboh lantaran PR yang
pengerjaannya dibantu oleh kakaknya – mahasiswa Jurusan Teknik Mesin –
disalahkan oleh guru SD-nya.
Yuk, kita baca para pengopini berceloteh
baik lewat twiter, blog, facebook maupun
media massa cetak.
Profesor
Matematika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi
Bandung (ITB), Hendra Gunawan. Menyoroti dari sisi  penyajian soal. Hendra menuturkan, penjumlahan berulang memang diajarkan lebih
dahulu daripada perkalian. Namun, soal yang diberikan guru Habibi,  jelas memperlihatkan bahwa perkalian dianggap
sebagai ‘singkatan’ dari penjumlahan berulang. 

“Padahal, penjumlahan berulang bisa dipandang sebagai metode atau cara
untuk menyelesaikan persoalan perkalian. Karena itulah, sebelum belajar
perkalian, penjumlahan berulang diperkenalkan terlebih dahulu. Tujuannya,
ketika anak belajar perkalian, senjatanya  sudah ada,” tutur       Hendra.
Dalam konteks ini, kata Hendra, guru seharusnya memulai dengan soal perkalian,
lalu meminta anak untuk menyelesaikannya dengan menggunakan penjumlahan
berulang.
Dia mencontohkan 4 X 6 dengan soal cerita. Secara konsep diartikan bahwa ada
empat orang membawa enam kantong kresek, hal tersebut berbeda dengan konteks
yang diartikan bahwa ada enam orang membawa empat kantong plastik.
Menurutnya, permasalahan perbedaan tempat antara 4 dan 6 di soal siswa kelas 2
SD bukan hal yang urgen. Menjadi serius ketika guru memberikan pemahaman
kontekstual terhadap konsep matematika anak SD.
Kalimat Berapa jeruk dalam 2 kotak berisi masing-masing
4 jeruk ? Boleh ditulis
2 kotak x 4 jeruk/kotak =
disingkat
2 x 4 jeruk =
Jadi
2 x 4 jeruk = 4 jeruk + 4 jeruk
Selanjutnya kita tulis
2 x 4 = 4 + 4 (kesepakatan)
Dengan kesepakatan itu kita boleh menulis :
6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4
4 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6
Kesimpulan:
Ketika menghitung 6 x 4 kita membayangkan
menghitung jumlah jeruk dalam 6 kotak berisi masing-masing 4 jeruk. Jadi 6 x 4
= 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4
Ketika menghitung 4 x 6 kita membayangkan
menghitung jumlah jeruk dalam 4 kotak berisi masing-masing 6 jeruk. Jadi 4 x 6
= 6 + 6 + 6 + 6
Dengan logika kotak dan jeruk ini, lebih mudah
bagi kita untuk mengerti tidak hanya soal-soal cerita perkalian tetapi juga
berbagai operasi matematika seperti 28:7 = atau 4a + 4b = 4 (a + b) dsb.
“Keunggulan proses lebih penting daripada
keunggulan hasil. Bagaimana proses mereka mendapatkan hasil itu yang harus
diargumentasikan,”

Dosen
Matematika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Rizky Rosjanuardi menjelaskan
pokok permasalahan Habibi dengan dua sudut pandang, antara konsep dan konteks.
Secara garis besar dapat dipahami pengertian konsep berkaitan terkait sesuatu
yang abstrak. Namun secara ilmu matematika, konteks menjadi hal yang jauh lebih penting.
Fisikawan Prof. Yohanes Surya lewat laman Facebook-nya, menjelaskan perbedaan 6 x
4 dan 4 x 6. Dia memberikan gambaran jeruk dalam kotak. Berapa jeruk dalam 2
kotak berisi masing-masing 4 jeruk? Jawabnya adalah 4 jeruk + 4 jeruk
Menanggapi hal itu, pakar pendidikan Arief Rachman
mengatakan, dalam pembelajaran matematika proses mendapatkan hasil jawaban
sangat penting. Meski melalui proses yang berbeda dan mendapatkan hasil sama
menurutnya tidak ada yang bisa disalahkan.
Lantas bagaimana dengan pendapat berikut?
Nia Lusiana (32),
seorang ibu yang memiliki anak kelas II SD di sebuah sekolah swasta di Jakarta
Timur mengaku geram.
“Yang namanya matematika kan ilmu pasti Mas. Saya nggak terima aja kalau itu sampai terjadi dengan anak saya, cuma gara-gara beda
metode kok disalahin,” kata Nia
kepada Tribunnews.com, Selasa (23/9/2014).
Dirinya juga
menuturkan, seorang guru harusnya memiliki analisis yang baik. Nia tak
membayangkan betapa sulitnya jika seluruh murid yang diajarkan harus sesuai
dengan isi kepala sang guru.
Gini aja deh, gurunya suruh balik ke SD lagi. Saya yang ajarin,” katanya geram.
***
Uh, sombongnya!  Spontan Mas Nakurat bereaksi baca pernyataan
Bu Nia. Karena Mas Nakurat paham, mengajarkan ilmu yang sederhana sekalipun di
kelas yang campur aduk tingkat kecerdasannya, 
tak semudah yang dibayangkan!
Yah, malah tambah
bias bin baur celoteh Mas Nakurat.
Stop .. stop!
Hmm, entahlah … aku
tiba-tiba teringat puisi satire
Taufiq Ismail berjudul Aritmatika Sederhana. 
Berikut isinya:
selama ini kita masih ragu
semoga:
2×2 = 4