‘Resep de Soto’ Gugur di Kampung Rawa? (1)

Oleh:  R. Yando Zakaria Dalam pustaka studi pembangunan dikenalah apa yang saya sebut sebagai ‘resep de Soto’. Resep ini hasil racikan Hernando de Soto, seorang ekonom terkemuka asal Peru. Pijakan dasar resep ini adalah bahwa s...

‘Resep de Soto’ Gugur di Kampung Rawa? (1)
Yando Zakaria
Oleh:  R. Yando
Zakaria
Dalam pustaka studi pembangunan dikenalah apa yang saya
sebut sebagai ‘resep de Soto’. Resep
ini hasil racikan Hernando de Soto, seorang ekonom
terkemuka asal Peru. Pijakan dasar resep ini
adalah bahwa sebuah Negara tidak akan dapat memiliki
ekonomi yang kuat selama sebagian besar warganya terkunci tetap berada di luar system
(pasar) yang ada. Orang miskin, karena sifat penguasaan asetnya yang masih bersifat extra legal,
adalah warga yang berada di luar sistem itu.
Mereka tidak akan keluar dari kemiskinannya karena mereka
tidak punya kapital. Padahal, menurut de Soto, dalam kenyataannya orang miskin
banyak yang menguasai aset. Satu yang terpenting adalah sebidang tanah. Namun tanah itu
tidak bisa ditransformasikan menjadi kapital karena tanah itu masih bersifat idle, alias tidak
hidup atau tidak produktif. De Soto sendiri menyebutnya sebagai modal yang mati karena alasan extra
legal tadi.  Karena itu, de Soto mengusulkan, aset yang dikuasai orang miskin itu harus
dimasukkan ke dalam situasi legal.  Sehingga,
misalnya, orang miskin bisa menganggunkan tanah itu pada institusi perbankan
untuk mendapatkan dana segar yang diperlukan sebagai modal
(tunai) memulai usaha. Dengan modal itu orang miskin akan tersambung kepada ekonomi
pasar,  suatu mekanisme yang dipercaya de Soto sebagai jalan meningkatkan kesejahteraan orang
miskin.
Dua buku penting Hernando de Soto yang berisikan uraian
tentang resep ini adalah The Other Path: The Invisible Revolution in the Third World
(Harpercollins, 1989), dan The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails
Everywhere Else
(Basic Books, 2000). Dalam dua dasa warsa terakhir  ‘resep de Soto’ terlanjur mandra sakti! Tesis
de Soto telah mempengaruhi berbagai kebijakan ‘penanggulangan
kemiskinan’ – khususnya di perkotaan — di banyak negara (berkembang). Cerita sukses itu diawali
oleh ‘revolusi perkotaan’ yang relatif sukses di Negara asal de Soto, Peru. Belakangan ‘resep de
Soto’ telah pula ‘dibeli’ oleh ‘sponsor utama pembangunan dunia’ semacam Bank Dunia (World Bank).
Pada akhir tahun 1980-an ‘resep de Soto’ disanjung George H.W. Bush, Presiden AS
ketika itu, sebagai konsep yang “…clear and promising alternative to economic stagnation”.
De Soto pun kemudian menjelama menjadi semacam duta
sekaligus principal consultan –  untuk tidak mengatakannya ‘dewa’ — bagi proyek-proyek Bank
Dunia di berbagai pelosok dunia. Tak
terkecuali di Indonesia. Meski saat ini Land
Andministration Project (LAP) atau Proyek Adminisitrasi Pertanahan (PAP) yang menggunakan  ‘resep de Soto’ telah dihentikan, program yang bersumber dari ‘resep de Soto’ itu sempat diterapkan
selama hampir sepuluh tahun.

Pada tahun 2006 lalu de Soto pernah pula berkunjung ke
Indonesia atas undangan Bank Danamon, dan menyusun sebuah naskah yang umumnya
merupakan promosi kesuksesan pihak pengundang dalam memberikan kredit usaha kecil. Kehadiran
de Soto di Indonesia itu pun kemudian disambut esai dua halaman Joyo Winoto, Kepala
Badan Pertanahan Nasional, yang coba melengkapi gagasan ‘reformasi aset ala de Soto’
dengan ‘reformasi akses ala Amartya  Sen’ (Noer Fauzi dan Kim Malone, 2006). Sejumlah reportase
atau kolom di beberapa media massa pun tidak ketinggalan. Termasuk book review atas
buku-buku karya de Soto. Bagaimana jejak ‘resep de Soto’ itu di Indonesia?

***
Jauh panggang dari api. Mungkin begitu jawaban ringkas
saya setelah membaca buku karya Soehendera ini. Begitu burukkah reputasi ilmuwan
terkemuka asal Amerika Latin yang pernah disanjung Bill Clinton, (mantan) Presiden AS  yang lain, sebagai ‘the world’s greatest living
economist’ itu?
Sepertinya ya begitu. Berdasarkan penelitian yang
mendalam atas penyelenggaraan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration
Project (LAP), Soehendera sampai pada kesimpulan berikut. “… Pembangunan bisa memberi
dampak positip bagi warga yang tidak miskin, dan sebaliknya justru menghadirkan kendala bagi
mereka-mereka yang miskin. Hal itu terjadi karena warga yang miskin tidak memiliki kapital
yang cukup dan yang dibutuhkan oleh pembangunan”.  PAP
di Indonesia diselenggarakan Pemerintah RI pada decade lalu dengan dukungan dana pinjaman dari para ‘sponsor pembangunan
dunia’ seperti Bank Dunia dan Ausaid.
Begitulah Djaka Soehendera mengawali pembahasannya
seputar masalah ‘sertifikasi tanah, orang miskin, dan pembangunan’ yang menjadi pokok bahasan
buku bertajuk Sertifikat Tanah dan Orang Miskin, Pelaksanaan Proyek Ajudikasi di Kampung
Rawa, Jakarta’ (Jakarta: Perkumpulan HuMA, Van Vollenhoven Institute Universitas
Leiden, dan KITLV Jakarta, 2010), yang terdiri dari 4 Bagian dan 7 Bab ini.  Buku ini adalah salah satu dari empat buku
lain yang dilabel sebagai bagian dari  Seri Sosio-Legal Indonesia yang diluncurkan
pada Kamis (23/04/2010) lalu.
Buku Soehendera sendiri diangkat dari disertasi
doktoralnya pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, Jakarta.  Bagi pengkaji atau
sekedar pemerhati masalah ‘ayudikasi/sertifikasi tanah, orang miskin, dan  pembangunan’, boleh jadi, kesimpulan Soehendera
diterima dengan senyum penuh makna.  Sebab
Soehendera telah menyumbang koleksi data dan analisis bagi para pengamat —
yang  dalam satu dasa warsa terakhir –
memang mulai tidak percaya — dan karenanya mempertanyakan kemujaraban —
‘resep de Soto’.
Misalnya, sebagaimana dicatat Wikipedia, menurut  Davis, yang menyebut De Soto sebagai 
‘guru global populisme neo-liberal’ itu,  de Soto pada dasarnya mempromosikan
sertifikasi individu, sesuatu yang ditentang oleh kalangan kiri di
Amerika Selatan dan India. Menurut Davis sertifikasi (individual itu) yang menjadi penghubung
antara seseorang dengan ekonomi formal perkotaan hanya menguntungkan penghuni liar yang
relatif  berada. Tetapi bencana bagi penghuni liar yang miskin. Terlebih lagi bagi para penyewa
yang sama sekali tidak mampu bergabung ke dalam ekonomi formal yang sepenuhnya
terstandarisasi itu (lihat Mike Davis, Planet of Slums, Verso, 2006).
Gerakan akar rumput yang solid semacam Abahlali
baseMjondolo, kelompok penghuni gubuk di Afrika Selatan, 
dan Movimento dos Trabalhadores Sem Teto (MTST) atau Gerakan Buruh Tunawisma di Brasil, secara lantang menentang sistem
kepemilikan individu ini. Mereka lebih menyukai dan memperjuangkan sistem kepemilikan tanah
kolektif (komunal). Sistem komunal dianggap lebih demokratis karena memberikan perlindungan
kepada pihak yang paling miskin. Sistem ini juga mereka yakini dapat mencegah penyerbuan
orang kaya terhadap tanah-tanah liar orang miskin yang telah telah dilegal-formalkan itu.
Kedua ‘serangan’ terhadap ‘resep de Soto’ itu seperti
mendapat data pendukung tambahan dari 
studi yang dikerjakan Soehendera.
***
Di dalam tesis yang dikembangkan Soehendera, menurut
hemat saya, memang terselip argumen yang menggugurkan ‘resep de Soto’ sebagaimana telah
disinggung di atas. Meski tanah telah disertifikasi, toh, Soehendera berketetapan bahwa orang
miskin tetap tidak bisa menikmati pembangunan karena tidak memiliki kapital yang cukup.
Sesuatu yang menyimpang dari bayangan de Soto semula.
Lalu apa artinya sertifikat yang diperoleh melalui
program ajudikasi (baca: sertifikasi individual)
yang diikutinya itu? Tentu banyak argument yang bisa
dikemukakan, Namun, yang jelas, seperti
dilaporkan Soehendera, lebih dari 35% dari sekitar 4000
persil yang menjadi objek Proyek PAP,
justru dinyatakan/berstatus tanah ‘tidak dikenal’.
Padahal status hukum ‘tidak dikenal’ justru tidak dikenal dalam peraturan-perundang-undangan tentang
tanah di negeri ini. Jumlah itu tentulah bukan jumlah yang kecil. Itu bisa berarti, bila
ekstrapolasi, menyangkut permasalahan sepertiga penduduk kota (Jakarta).
Maka, alih-alih mendapatkan modal, sebagaimana yang
dibayangkan oleh ‘resep de Soto’, status penguasaan yang tadinya masih bersifat abu-abu, tidak
jelas, karenanya masih dalam keadaan  status quo, dan tergantung pada kekuatan
tarik-menarik antar kekuatan rakyat melawan pemerintah dan modal, kini menjadi terang-berderang
sebagai tanah ‘tidak dikenal’! Status baru itu, bisa diduga, akan mempermudah – setidaknya dari sisi
legalitas — masuknya kekuasaan dan modal untuk menguasai asset yang dikuasai orang miskin
itu. Bukankah itu ‘nada dasar’ dari berbagai konflik lahan di daeraah perkotaan, yang tersaji
hampir setiap hari di media massa Indonesia saat ini?