Kepala Daerah Berusia Muda tetapi Nihil Terobosan
Oleh Syarief Makhya Jika diamati dari hasil Pilkada Serentak tahun lalu, tidak sedikit gubernur maupun bupati/walikota yang berusia di bawah 45 tahun berhasil terpilih. Kemunculan kepala daerah muda ini memberikan harapan baru dalam kepemimpinan peme...

Oleh Syarief Makhya
Jika diamati dari hasil Pilkada Serentak tahun lalu, tidak sedikit gubernur maupun bupati/walikota yang berusia di bawah 45 tahun berhasil terpilih.
Kemunculan kepala daerah muda ini memberikan harapan baru dalam kepemimpinan pemerintahan daerah, karena mereka membawa perspektif segar serta energi untuk mendorong inovasi dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.
Argumen ini didasarkan pada fakta bahwa generasi muda cenderung lebih adaptif terhadap perubahan teknologi dan sosial, serta memiliki visi yang progresif untuk menghadapi tantangan zaman.
Selain itu, kepala daerah muda biasanya lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat dan kolaborasi lintas sektor, sehingga berpotensi meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan akselerasi pembangunan daerah.
Namun, di balik harapan tersebut, terdapat problem struktural yang membatasi ruang gerak kepala daerah untuk melakukan terobosan kebijakan.
Mereka terikat oleh aturan-aturan formal yang kaku, dominasi kewenangan pemerintah pusat, ketergantungan pada dana fiskal yang terbatas, serta pengaruh dinamika politik di tingkat pusat. Kondisi ini berakibat pada terbatasnya ruang gerak dan inovasi kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan serta memaksimalkan pembangunan daerah.
Tidak hanya sebatas pada persoalan struktural tersebut, namun juga muncul paradoks integritas. Di satu sisi, kepala daerah muda identik dengan integritas tinggi, idealisme, serta visi kepemimpinan yang kuat. Namun, di sisi lain, realitas menunjukkan bahwa tidak sedikit kepala daerah muda yang terseret dalam kasus korupsi dan menerapkan gaya kepemimpinan yang otoriter, rutinitas, atau pragmatis, jauh dari harapan perubahan dan pembaruan.
Oleh karena itu, melihat fenomena kepala daerah muda yang penuh potensi namun dihadapkan pada tantangan struktural dan persoalan integritas yang buruk, harapan akan terciptanya kepemimpinan yang benar-benar inovatif, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat menjadi pupus. Akibatnya, wajah kepemimpinan kepala daerah kerap berubah menjadi pragmatis, miskin gagasan, dan terjebak dalam kepentingan politik sesaat. Kondisi ini berpotensi besar menggagalkan upaya membawa perubahan signifikan bagi daerah yang mereka pimpin.
Mengapa hal ini terjadi?
Apa yang sebenarnya menjadi akar persoalan mandeknya terobosan atau minimnya gagasan segar dari para kepala daerah muda?
Dalam kajian ilmu sosial, keberhasilan seorang pemimpin tidak semata-mata ditentukan oleh kapasitas personal atau karakter individualnya, melainkan juga dipengaruhi oleh struktur politik dan institusional yang melingkupinya. Seorang kepala daerah, betapapun muda, cerdas, dan penuh semangat, tetap akan kesulitan berinovasi jika terjebak dalam sistem birokrasi yang korup, budaya politik transaksional, serta tekanan dari elite partai atau oligarki lokal yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek.
Lebih jauh lagi, banyak kepala daerah muda yang naik ke tampuk kekuasaan bukan karena rekam jejak atau kapasitas kepemimpinan, melainkan karena popularitas instan atau keterikatan dengan jejaring politik tertentu. Akibatnya, kepemimpinan mereka lebih bersifat simbolik daripada substantif. Dalam situasi ini, ide-ide segar kerap kali tidak menemukan ruang aktualisasi, atau bahkan sengaja ditekan oleh kepentingan-kepentingan politik yang lebih dominan.
Dengan demikian, masalah kepemimpinan daerah bukan hanya soal usia atau semangat muda, tetapi merupakan persoalan yang kompleks, yaitu budaya politik yang moderen birokrasi pemerintahan yang feksibel , dan integritas yang kuatmenjadi faktor kunci yang tak bisa diabaikan.
Persoalan lain yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan adalah keterbatasan anggaran serta minimnya sumber pemasukan pendapatan asli daerah.
Ketergantungan yang tinggi terhadap transfer dana dari pemerintah pusat membuat banyak daerah tidak memiliki fleksibilitas fiskal untuk membiayai program-program prioritas yang inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Akibatnya, pembangunan daerah sering kali berjalan stagnan, terbatas pada proyek-proyek rutin dan jangka pendek, tanpa mampu menyentuh persoalan-persoalan struktural yang lebih mendalam seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, atau penguatan ekonomi lokal. Pemerintah daerah pun cenderung menjalankan peran administratif semata, alih-alih tampil sebagai aktor strategis dalam mendorong perubahan.
Lebih parah lagi, keterbatasan fiskal ini kerap dijadikan alasan untuk memaklumi rendahnya kinerja. Padahal, masalah utamanya sering kali bukan hanya terletak pada jumlah anggaran, tetapi juga pada kualitas perencanaan, tata kelola yang lemah, dan korupsi yang masih menggerogoti berbagai lini pemerintahan.
Dengan kondisi seperti ini, kepala daerah dituntut tidak hanya sekadar menjadi manajer anggaran, tetapi juga inovator kebijakan yang mampu menggali potensi lokal, membangun kolaborasi lintas sektor, dan mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif secara kreatif — termasuk melalui investasi, kemitraan dengan swasta, dan penguatan BUMD.
Jalan Keluar ?
Dengan adanya berbagai keterbatasan dan problem struktural yang dihadapi oleh kepala daerah baik gubernur maupun bupati/wali kota maka perlu ditetapkan target minimal yang harus dapat diimplementasikan secara nyata selama masa kepemimpinan kepala daerah. Target ini menjadi tolok ukur dasar bagi akuntabilitas dan keberpihakan terhadap kepentingan publik. Setidaknya, terdapat tiga hal utama yang harus menjadi fokus:
Pertama, merealisasikan janji kampanye saat Pilkada. Janji politik bukan sekadar alat meraih suara, melainkan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah wajib menunjukkan komitmen nyata untuk menunaikan janji-janji tersebut, dengan indikator keberhasilan yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, mengatasi persoalan publik, khususnya yang menjadi mandat utama pemerintah daerah, yaitu pelayanan dasar. Hal ini mencakup peningkatan kualitas pendidikan, layanan kesehatan yang terjangkau dan merata, pembangunan serta pemeliharaan infrastruktur publik, dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan. Pelayanan dasar adalah fondasi dari kesejahteraan masyarakat, dan tidak boleh dikornankan atau diabaikan dalam situasi apa pun.
Ketiga, menjalankan prinsip efisiensi anggaran. Di tengah keterbatasan fiskal, kepala daerah dituntut untuk mampu mengoptimalkan sumber daya yang tersedia. Ini bisa dilakukan melalui penghematan belanja yang tidak produktif, seperti mengurangi kegiatan seremonial yang berlebihan, memotong anggaran perjalanan dinas yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik, serta mendorong digitalisasi birokrasi untuk meningkatkan efektivitas pelayanan.***
Dr. Syarief Makhya, M.Si adalah staf pengajar FISIP Unila