Negara Sumatera: Ide, Bayangan, dan Realitas
Oleh Syarief Makhya Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80, linimasa TikTok kembali diramaikan oleh perbincangan yang tak biasa: munculnya video-video yang mengangkat narasi tentang sebuah “Negara Sumatera.” Dalam vide...

Oleh Syarief Makhya
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80, linimasa TikTok kembali diramaikan oleh perbincangan yang tak biasa: munculnya video-video yang mengangkat narasi tentang sebuah “Negara Sumatera.” Dalam video-video tersebut, para kreator konten membahas dengan nada serius maupun satir, gagasan bahwa Sumatera bisa atau pernah menjadi sebuah negara tersendiri, terpisah dari Republik Indonesia.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan menarik: apakah ini sekadar konten viral musiman, bentuk ekspresi kultural anak muda, atau cerminan dari kegelisahan identitas dan politik regional yang lebih dalam?
Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi lahirnya Negara Sumatera, melainkan berusaha mengurai gagasan di balik ide tersebut, serta menelaah realitas dan posisi Sumatra dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk kepentingan masa depan bersama.
Melalui pendekatan sosial, dan politik, tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat bagaimana narasi tentang “Negara Sumatera” muncul—baik sebagai ekspresi identitas regional, respons terhadap ketimpangan pembangunan, atau sekadar bentuk imajinasi politik yang muncul di ruang digital. Dengan membedah dinamika ini secara kritis dan objektif, kita dapat memahami tantangan dan harapan masyarakat Sumatera dalam perjalanan panjang kebangsaan Indonesia.
NKRI, Pancasila,, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika telah menjadi konsensus dan komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat, bahwa Indonesia tidak akan meninggalkan kesepakatan terhadap keempat pilar tersebut. Tujuannya jelas: di atas fondasi tempat pilar itu, terdapat kepentingan bersama untuk mewujudkan negara yang adil, sejahtera, dan bebas dari eksploitasi serta penguasaan sumber daya oleh segelintir kelompok.
Namun demikian, dalam perjalanan 80 tahun Indonesia merdeka, realitas politik menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup mencolok antara kemajuan di Pulau Jawa dan wilayah di luar Jawa. Dari aspek infrastruktur, pemerataan pembangunan, layanan kesehatan dan pendidikan, hingga kesejahteraan masyarakat, kondisi di Jawa secara umum masih jauh lebih baik dibandingkan dengan wilayah seperti Sumatera.
Padahal, dari segi potensi sumber daya alam, Sumatera memiliki kekayaan yang sangat melimpah dan strategis. Mulai dari hasil tambang seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, hingga kekayaan agraria seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan hasil hutan—semuanya menjadi andalan ekspor nasional. Selain itu, wilayah pesisir Sumatera juga kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan. Jika dikelola dengan adil dan merata, kekayaan ini seharusnya mampu mendorong kesejahteraan masyarakat Sumatera secara signifikan.
Namun ironisnya, meskipun menjadi penyumbang besar bagi perekonomian nasional, banyak wilayah di Sumatra justru tertinggal terutama dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan publik. Ketimpangan ini menjadi salah satu akar munculnya kegelisahan identitas dan wacana-wacana alternatif di ruang publik, termasuk ide-ide yang muncul di media sosial tentang “Negara Sumatera.”
Mengurangi Ketimpangan Stuktural?
Masalah besar Indonesia saat ini, pada usia kemerdekaan yang ke-80, adalah ketimpangan.truktural. Gagasan mengenai Negara Sumatra muncul sebagai respons ekstrem terhadap kondisi tersebut, dengan tujuan agar distribusi sumber daya tidak hanya terpusat di Pulau Jawa, tetapi juga tersebar merata ke Sumatera, Kalimantan, dan wilayah-wilayah lain di luar Jawa.
Namun, solusi untuk ketimpangan tidak harus berupa pemisahan wilayah atau desentralisasi radikal. Yang lebih dibutuhkan adalah komitmen politik yang kuat untuk membangun keadilan fiskal, pemerataan infrastruktur, dan penguatan kapasitas daerah. Pembangunan seharusnya tidak lagi bersifat Jawa-sentris, melainkan berbasis pada potensi dan kebutuhan masing-masing wilayah.
Tanpa reformasi struktural dalam kebijakan pembangunan nasional, gagasan seperti Negara Sumatera akan terus bermunculan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pusat yang gagal menjangkau pemerataan pembangunan.
Langkah nyata seperti memperkuat otonomi daerah, menyalurkan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus secara adil, serta memastikan keberadaan lembaga negara di luar Jawa bisa menjadi upaya konkrit dalam mengurangi ketimpangan. Jika tidak, ketimpangan ini bisa terus melebar dan mengancam integrasi nasional di masa depan.
Kebijakan otonomi khusus yang diberlakukan di Aceh dan Papua adalah jalan tengah yang diambil oleh pemerintah pusat untuk merespons tuntutan kedaerahan tanpa harus mengorbankan keutuhan negara. Melalui kebijakan ini, daerah diberikan kewenangan lebih besar dalam mengatur urusan internal, termasuk pengelolaan sumber daya alam, keuangan, hingga kebudayaan lokal. Secara teoritis, otonomi khusus dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan dengan memperkuat kapasitas daerah dalam menentukan arah pembangunannya sendiri.
Namun, pelaksanaan otonomi khusus tidak selalu berjalan sesuai harapan. Di beberapa kasus, kewenangan yang luas tidak diiringi dengan sistem pengawasan yang memadai, sehingga justru melahirkan elite lokal baru yang menggantikan dominasi pusat tanpa memperbaiki kondisi masyarakat. Selain itu, distribusi dana otonomi belum sepenuhnya transparan dan seringkali terjebak dalam birokrasi yang korup.
Meski begitu, otonomi khusus tetap menjadi model penting yang bisa dikembangkan lebih jauh sebagai alternatif dari gagasan pemisahan atau pembentukan negara baru. Jika dikelola dengan baik—dengan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat—otonomi khusus bisa menjadi jembatan antara aspirasi kedaerahan dan kepentingan nasional.
Akhirnya, pelajaran runtuhnya Uni Soviet dan hancurnya negara-negara di Eropa Timur, harus menjadi catatan penting bagi Indonesia bahwa keberadaan negara—sekuat apa pun institusinya—tidak akan bertahan jika kekuatan masyarakat diabaikan, suara rakyat dibungkam, dan ketimpangan terus dibiarkan. Negara bukan sekadar simbol administratif atau militer, tetapi fondasinya adalah legitimasi sosial dan kepercayaan publik.
Ketika negara gagal menjadi rumah yang adil bagi seluruh warganya, maka benih disintegrasi akan tumbuh, perlahan tapi pasti. Oleh karena itu, menjaga Indonesia tidak cukup hanya dengan menjaga batas-batas teritorial, tetapi juga dengan merawat keadilan sosial, pemerataan pembangunan, dan pengakuan atas identitas serta hak-hak masyarakat lokal.
*) Dr. Syarief Makhya, M.Si, Dosen FISIP Universitas Lampung