‘Mobile Government’ dan Problem Kita
Oleh Syarief Makhya Akademisi FISIP Unila Tulisan saya tentang Catatan Akhir Tahun 2021 : Evaluasi Kinerja Pemda yang dimuat di translampung.com pada 28 Desember 21, antara lain mengulas tentang lemahnya pemanfaatan teknologi informasi untuk meningk...

Oleh Syarief Makhya
Akademisi FISIP Unila
Tulisan saya tentang Catatan Akhir Tahun 2021 : Evaluasi Kinerja Pemda yang dimuat di translampung.com pada 28 Desember 21, antara lain mengulas tentang lemahnya pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan kinerja pemda, khususnya di Lampung. Teknologi informasi masih sebatas formalitas dan tidak dioptimalkan untuk memberikan pelayanan publik dan penerapan asas transparansi dalam tatakeloa pemerintahan. Sekarang ini, tak bisa dihindari bahwa dengan kehadiran teknologi informasi, pemerintah menjadi keniscayaan untuk menyediakan pelayanan publik berbasis mobile government.
Jawa Barat dan beberapa provinsi yang lain adalah salah contoh yang sudah banyak menggunakan mobile application antara lain yang dipublikasikan via android dan apple operating system seperti PIKOBAR, Sapawarga, KMOB Jawa Barat, Si Votun Jabar, dan Sambara. Aplikasi tersebut ditujukan untuk memudahkan proses pelayanan publik dan memaksimalkan kinerja birokrasi.
Menurut Rohimat (2021) dengan tingginya jumlah pengguna ponsel, dimilikinya perangkat dengan mobilitas tinggi, dapat berjalan tanpa batas jarak, tidak memakan biaya yang besar, dan kemudahan dalam penggunaanya menjadi dorongan transformasi pemerintah pada mobile government. (Rohimat, 2021).
Implikasi?
Penerapan mobile government akan membawa implikasi tidak hanya pada pemerintah tetapi juga kepada masyarakat. Di level pemerintah dengan penerapan mobile government , pejabat dan aparat pemerintah harus melek teknologi, tidak ada alasan untuk tidak tahu atau tidak memiliki pengetahuan tentang penggunaan aplikasi yang sering dikenal dengan gaptek (gagap teknologi).
Pemerintah di samping harus membuat aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan publik, juga harus menyiapkan dukungan infrasruktut seperti jaringan internet, dan sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan khusus di bidang teknologi informasi.
Kalau misalnya Pemerintah Provinsi Lampung pada tahun 2023 akan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada tenaga honorer sebenarnya cukup beralasan karena dengan kehadiran pemanfaatan teknologi informasi, pemerintah dalam pemberian pelayanan akan lebih efisiensi, sehingga tidak lagi membutuhkan pegawai honor yang terlalu banyak.
Implikasi lain yaitu harus ada perubahan mindset di masyarakat. Dengan adanya mobile government , maka masyarakat (pengguna) harus mengerti dan bisa menggunakan aplikasi pelayanan, jika tidak paham maka secara otomatis tidak akan bisa dilayani. Contoh yang sederhana, untuk daftar vaksin sekarang harus melalui pendafatar secara online atau melalui aplikasi peduli lingkungan.
Jadi, peningkatan kualitas aparat pemerintah yang harus melek teknologi informasi, penyediaan infrastruktur teknologi informasi dan kecerdasan masyarakat dalam penggunaan sistem aplikasi pemerintahan menjadi kebutuhan untuk membangun pemerintahan masa kini dan yang akan datang.
Problem Kita ?
Penggunaan mobile government dalam pemberian pelayanan publik, intinya adalah saatnya kita pindah dari old government yang serba manual dan sarat dengan KKN, lambat dan sangat tidak efisien, ke the new government yang memanfaatkan teknologi informasi dalam pemberian layanan publik yang sangat efisien, transparan dan bebas dari KKN.
Asas transparansi dan layanan yang cepat menjadi prinsip dasar dalam pemberian layanan publik sekaraang ini. Namun, belum semua pemda bisa beradaptasi dengan penggunaan mobile government, alasannya dari mulai persoalan kesiapan fasilitas internet, jaringan, sumber daya manusia dan yang paling mendasar adalah enggan dalam menerapkan prinsip transparansi pemerintahan.
Artinya, kecenderungan pemerintah masih dominan menerapan old government masih kuat, karena dibalik itu masih kuat menarik biaya yang ilegal dari penggunaan praktik pelayanan yang serba manual, tradisional, birokratis, tidak transparan dan menghilangkan jejak untuk bisa dikontrol.
Membangun dan menerapkan mobile government di daerah harus dilakukan dengan melibatkan berbagai kepakaran. Di daerah sudah banyak yang memiliki keahlian di bidang teknologi informasi, ahli dibidang pemerintahan dan administrasi publik, manajemen dan keuangan, dsb, sudah selakyaknya mereka diajak diskusi untuk membangun sistem aplikasi pelayanan publik.
Konsep penta-helix atau multipihak yaitu unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media menjadi relevan untuk didayagunakan dalam membangun mobile government di daerah. Namun, penekanannya membuat mobile government bukan dipahami hanya sebatas persoalan teknis tetapi yang paling subtansial adanya adanya komitmen untuk membangun transparansi pemerintahan dan memberikan kepuasan pelayanan publik terhadap masyarakat menjadi kunci mendasar dalam menilai kinerja pemerintahan masa kini dan masa yang akan datang.***