Mabuk Hari Ini, Minumnya Besok

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Beberapa waktu yang lalu saat pelaksanaan Salat Idul Fitri di salah satu kota di Jawa Barat, ada dua orang anak muda mengendarai kendaraan roda dua dengan cara mempermainkan gas ke...

Mabuk Hari Ini, Minumnya Besok

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Beberapa waktu yang lalu saat pelaksanaan Salat Idul Fitri di salah satu kota di Jawa Barat, ada dua orang anak muda mengendarai kendaraan roda dua dengan cara mempermainkan gas kendaraan, sehingga mengganggu para jamaah yang akan melaksanakan Sholat. Setelah keduanya diamankan oleh yang berwajib, ternyata kedua remaja tadi dalam pengaruh alkohol yang baru saja diminumnya. Berdasarkan olah tempat kejadian perkara oleh petugas, kejadian ini murni ketersingungan emosi dan di bawah pengaruh alkohol.

Secara normal, mabuk itu akan terjadi setelah minum alkohol. Bukan sebaliknya: mabok terlebih dahulu, baru kemudian minum.Sebab,  hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Namun, pada tataran hakikat, hal itu bisa terjadi, dalam artian bahwa mabok tidak harus selesai minum alkohol. Bisa jadi tanpa minum, seseorang akan menjadi mabuk dalam pengertian abstrak.

Jika minum minuman beralkohol kemudian mabuk, itu adalah hukum sebab akibat yang mutatis mutandis. Namun jika mabok terlebih dahulu, baru kemudian minum, atau tidak minum alkohol; hal inilah menjadi kajian menarik pada perilaku manusia.

Sebelumnya kita bersepakat terlebih dahulu bahwa mabuk adalah sesuatu yang dilarang oleh agama yang penulis anut. Dasarnya Allah SWT berfirman dalam QS al-Maidah ayat 90 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Sementara kajian ini ingin melihat dari konsep filsafat manusia mabok apa, dan minum apa, atau apa yang diminum”.

Lalu mabuk seperti apa yang minumnya kemudian atau tidak sama sekali menjadi bahasan pada tulisan ini? Keenganan manusia untuk berlaku jujur kepada kemampuan dirinya, dan kebiasaan membangun narasi pembelaan diri atas kegagalan yang didapat, adalah salah satu ciri bahwa manusia tadi terperangkap untuk mabuk, dengan atau tanpa harus ada sesuatu sebagai penyebab.

Keengganan ini merupakan kealpaan yang sangat fatal karena berpotensi memunculkan perilaku arogan, atau paling tidak menafikan peran orang lain. Akibatnya, perilaku bagai orang mabok akan menutupi sikap rasionalitas yang seharusnya dikedepankan sebagai penciri manusia normal.

Berkaitan dengan ini karena perilaku pada umumnya bersifat personal, maka ada adagium jika orang membuat langkah yang tidak jelas dan tidak terukur, sering disebut menggunakan jurus “Dewa Mabuk”. Keangkuhan yang disertai dengan keenggenan untuk menerima perbedaan, juga akan menggiring kepada perilaku model begini. Perilaku begini akan surut setelah dipenghujung perjalanan kehidupan dan menyadari akan langkah langkah yang keliru; namun pada umumnya sudah terlambat, “luka sudah menganga, obat baru tiba”; tentu saja hasil akhirnya “kecewa”.

Kemampuan untuk menemukenali persoalan kehidupan ternyata tidak semudah menemukenali persoalan akademik. Jika persoalan akademik dituntun oleh norma akademik yang bersifat baku dan cenderung pasti, dengan ditandai oleh derajat signifikansi. Sedangkan persoalan kehidupan tidak sesederhana itu. Banyak hal hanya diukur dengan norma dan kepatutan yang parameternya sangat normative.; oleh sebab itu peran agama dan falsafah hidup yang selalu setia memberi obor dalam menempuh perjalanan.

Ternyata ujian paling berat sudah dilambangkan oleh para leluhur kita dengan adanya “pakaian dalam huruf” (Bahasa Jawa: sandangan), yang disebut “Pangku” dalam ejaan Hanacaraka pada tulisan Jawa; bermakna kenikmatan. Banyak manusia sukses manakala diuji dengan kesulitan, halang rintang, bahkan kemiskinan; semua bisa dilalui atau diatasi dengan nyaris sempurna; namun manakala diuji dengan kenikmatan, justru di sini banyak tidak berhasil atau gagal. Sejarah sudah mencatat dari sejak zaman dahulu kala bagaimana kerajaan kerajaan besar hancur berkeping karena para nayaka prajo (abdi negar) gagal mengelola kenikmatan yang diperoleh. Belajar dari itu semua, ternyata meraih sesuatu keberhasilan, sekalipun itu berat, ternyata lebih berat menjaga keberhasilan itu manakala telah di raih.

Semoga renungan kecil ini menjadi pengingat kita semua bahwa kita melakonkan cerita di dunia ini tidak perlu memabokkan diri, karena panggung ini hanya sandiwara, setiap pelaku punya waktu, setiap waktu ada pelaku. Tugas kita hanya memerankan peran yang telah di skenario oleh Sang Maha Sutradara kehidupan dengan baik dan benar; karena kita dilahirkan di dunia ini untuk meneguhkan keberadaan Sang Maha Pencipta, dengan memberikan peran dan waktu pada kita masing-masing, dan setelah itu selesai, kita akan diminta untuk meninggalkan semua ini, dan kembali menghadap Sang Pemilik Lakon untuk mempertanggungjawabkan semua apa yang telah kita lakonkan selama ini.

Selamat “menyeruput” kopi hangat….