Kita Butuh Kresna, Bukan Dorna atau Sengkuni
Oleh: Gunawan Handoko* Dalam dunia pewayangan, kita mengenal sosok Semar dan Batara Kresna. Meski tidak pernah hidup di alam nyata, kedua tokoh tersebut telah begitu melegenda dan melekat di hati masyarakat sebagai tokoh yang patut ditauladani. Semar...

Oleh: Gunawan Handoko*
Dalam dunia pewayangan, kita mengenal sosok Semar dan Batara Kresna. Meski tidak pernah hidup di alam nyata, kedua tokoh tersebut telah begitu melegenda dan melekat di hati masyarakat sebagai tokoh yang patut ditauladani.
Semar adalah punakawan atau rakyat jelata yang sepanjang hidupnya selalu mengabdi kepada para ksatria. Meski hanya seorang rakyat jelata, namun keberadaan Semar sangat diperhitungkan oleh para majikannya. Selain jujur, Semar tidak segan-segan memberikan telaahan kepada para majikannya manakala ada hal-hal yang dipandangnya keliru.
Demikian halnya dengan Kresna. Ia selalu berada di pihak para ksatria dan berperan sebagai penasehat sekaligus pembakar semangat di saat terjadi kegalauan. Kresna merupakan sebuah cermin dari sosok pemimpin yang memiliki sikap dan selalu berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan.
Menjelang pecahnya perang Baratayudha, keluarga Pandawa sempat gamang dan nyaris akan memilih untuk mengalah atas hak kepemilikan negeri Astina yang saat itu masih dikuasai para Kurawa. Pertimbangannya, kekuatan kubu Kurawa dua puluh kali lipat dibanding Pandawa sehingga diyakini akan banyak ksatria Pandawa yang gugur di medan laga. Namun Kresna dengan gigihnya berhasil mengobarkan kembali semangat para Pandawa untuk bangkit merebut haknya melalui peperangan. Lalu, apa yang diharapkan seorang Kresna dari perang besar tersebut? Bukan sekedar demi sebuah kehormatan, harkat martabat dan harga diri sebuah negeri Pandawa, namun yang paling utama adalah menegakkan hukum dan keadilan. Bahwa negeri Astina milik anak-anak Pandawa yang dipinjamkan kepada Prabu Destarata, orang tua anak-anak Kurawa.
Dalam konteks perjalanan sejarah negeri kita, sosok dan figur Kresna banyak dijumpai pada masa pergerakan kemerdekaan. Sederet nama pejuang telah terukir dalam sejarah, salah satunya adalah gerakan Budi Utomo yang dimotori oleh sekelompok pemuda di tanah Jawa. Kehadiran pergerakan Budi Utomo ini secara spontan mendapat sambutan dari pemuda-pemuda di luar Jawa, karena dinilai mampu mempersatukan berbagai perbedaan yang ada terutama dari sisi agama.
Pergerakan Budi Utomo tahun 1908 inilah sebagai kunci awal pergerakan pemuda dan sebagai embrio lahirnya Sumpah Pemuda 1928 dengan ikrar bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, Indonesia. Dengan dilandasi semangat inilah kekuatan untuk merebut kemerdekaan semakin menggelora hingga mencapai klimak pada tahun 1945. Bila kita menengok sejarah ke belakang, dari masa sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai tahun 70-an, betapa peran pemuda selalu dilihat dengan penuh kesan.
Mereka selalu hadir dengan segala kepeloporannya dalam mendobrak berbagai upaya kemapanan, bahkan ketika lingkungan disekitarnya sedang dilanda krisis. Bahkan angkatan 1966 disebut-sebut sebagai angkatan yang telah berjasa menendang orde lama. Di awal pemerintahan orde baru, strategi negara yang diterapkan waktu itu adalah menyerap berbagai fungsi penekanan masyarakat melalui ”pencetakan” lembaga-lembaga tunggal perwakilan kepentingan. Contoh, beberapa organisasi kemasyarakatan pemuda atau OKP terserap kedalam tubuh KNPI. Dengan demikian secara struktural para tokoh pemuda telah terikat menjadi satu dengan pihak Pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah membentuk atau mengakui satuan-satuan organisasi yang diberi monopoli sesuai dengan katagori fungsionalnya masing-masing, dengan imbalan bahwa pemerintah memiliki wewenang dan berhak untuk mengontrol dan mengawasi berbagai kegiatan serta artikulasi tuntutan dan dukungan mereka.
Strategi pemerintah waktu itu bisa diterima karena pendekatan pembangunan yang dijalankan pemerintah orde baru, baik dalam perencanaan ekonomi maupun sosial didasarkan pada prinsip ’security’. Dengan demikian penerapan strategi seperti itu sekaligus akan mampu mencegah terjadinya konflik antar kelompok, kelas dan ideologi yang sering terjadi di masa-masa orde lama. Dan yang paling penting lagi, hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, khususnya generasi muda akan lebih bersifat kerjasama yang harmonis.
Sayangnya, dengan adanya kebijakan tersebut persoalannya menjadi lain. KNPI di masa itu lebih banyak menyuarakan suara pemerintah kepada masyarakat ketimbang merefleksikan suara masyarakat untuk diteruskan kepada pemerintah. Dengan kata lain, KNPI selalu menjadi corongnya pemerintah. Meski demikian, pembinaan pemerintah terhadap kaum muda masih sangat jelas, khususnya dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan bela negara serta kewaspadaan nasional. Bahkan pemerintah secara rutin telah menganggarkan biaya melalui APBN maupun APBD untuk itu.
Bagaimana keberadaan organisasi pemuda di era reformasi sekarang ini? Saya enggan untuk berkomentar karena semua pihak sudah tahu jawabnya. Banyak pihak selalu mewanti-wanti agar Orde Lama dan Orde Baru tidak boleh terulang lagi di era reformasi. Pendapat seperti itu tidak sepenuhnya benar, karena tidak semua produk orde masa lalu itu jelek alias haram untuk diteruskan.
Harus disadari bahwa pembinaan generasi muda terhadap pemahaman nilai-nilai kebangsaan dan bela negara perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Kita tidak perlu malu untuk meneruskan kebijakan yang ditinggalkan oleh orde baru sepanjang itu bermanfaat. Hal yang patut disayangkan, sejak memasuki era reformasi perhatian Pemerintah terhadap pembinaan nilai-nilai kebangsaan dan bela negara bagi kaum muda terabaikan. Jangan dulu kita bermimpi untuk mewujudkan kebangkitan di negeri ini tanpa adanya persatuan dan semangat kebangsaan kaum muda.
Secara jujur harus kita akui bahwa semangat kebangsaan dan nasionalisme generasi muda khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya telah mengalami penurunan. Kita sudah kehilangan semangat persatuan dan kesatuan serta kesetiakawanan sosial yang merupakan pondasi utama dalam mewujudkan kebangkitan nasional. Dalam keseharian, baik skala nasional maupun regional kita lebih banyak disuguhi adegan konflik yang disebabkan perbedaan cara pandang, keyakinan maupun kepentingan. Perseteruan terjadi dimana-mana, termasuk di lembaga legislatif yang terlanjur mendapat sebutan sebagai lembaga terhormat. Aksi unjuk rasa marak, sebagai upaya sekelompok kepentingan didalam melakukan tekanan. Bahkan sampai ada Kepala Daerah yang mendalangi unjuk rasa untuk melakukan tekanan kepada Pemerintah Pusat demi untuk memenuhi ambisi kekuasaannya. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah, sebaik apapun selalu saja disikapi dengan kritikan bahkan penolakan, meski tanpa disertai konsep yang jelas sebagai bentuk solusinya.
Ada kesan bahwa yang penting ’beda pendapat’. Semua bicara demi kepentingan rakyat, entah rakyat yang mana yang sedang diperjuangkan. Reformasi memang belum selesai, semua setuju. Namun jika semua pihak enggan untuk mengevaluasi dan membiarkan kondisi seperti ini terus berlangsung, maka dapat diyakini bahwa kebangkitan nasional hanya sebatas iklan, setelah itu mati.
Ke depan kita masih membutuhkan sosok Kresna yang memiliki komitmen dan mampu menegakkan hukum dan keadilan, demi untuk mengembalikan jati diri bangsa yang telah dirintis para pejuang kemerdekaan tempo dulu. Kita tidak butuh sosok Dorna ataupun Sengkuni yang tak pernah berhenti berbisik kepada Raja Astina Prabu Duryudana untuk memusnahkan Pandawa beserta para pendukungnya melalui berbagai tipu muslihat maupun perang terbuka.
Kita butuh pemimpin yang mampu dan mau untuk membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan serta kesetiakawanan sosial. Memang, mencari pemimpin sama susahnya dengan menjawab pertanyaan dari mana pemimpin itu muncul? Belajar dari perjalanan sejarah, pemimpin tidak bisa dicetak sebagaimana kita mencetak kue, melainkan dilahirkan. Dengan kata lain, pemimpin itu merupakan potret berfungsinya sebuah bakat alam. Pemimpin yang dipaksakan atau dikarbit hanya akan membuahkan kekecewaan, karena mereka tidak paham akan tugas yang diembannya.
Karena itu, lebih baik pemimpin yang lahir secara alamiah dari bakat, lalu dimatangkan oleh pergulatan hidup. Yang diharapkan saat ini adalah pemimpin yang tidak saja cerdas dan ilmiah, namun juga harus memiliki sikap. Banyak orang yang memiliki otak cemerlang, banyak juga orang yang istimewa. Namun, manusia hanya akan kagum manakala orang tersebut memiliki sikap, komitmennya jelas, suara moralnya tegas dan pemihakan hidupnya terhadap nilai-nilai tidak diragukan. Sikap itulah yang paling mahal di zaman sekarang. Dalam dunia pewayangan, itulah Kresna.
Dirgahayu 72 Tahun Republik Indonesia.
*Mantan Aktivis Pemuda, tinggal di Bandar Lampung