Makan Bergizi Gratis: Antara Janji Besar, Pengawasan Lemah, dan Harapan yang Masih Terbuka

Oleh: Erwin Octavianto Peneliti Ekonomi Malcon Institute Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai gizi anak dan persoalan stunting menjadi salah satu perhatian serius pemerintah Indonesia. Data resmi menunjukkan bahwa angka stunting masih cukup t...

Makan Bergizi Gratis: Antara Janji Besar, Pengawasan Lemah, dan Harapan yang Masih Terbuka

Oleh: Erwin Octavianto
Peneliti Ekonomi Malcon Institute

Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai gizi anak dan persoalan stunting menjadi salah satu perhatian serius pemerintah Indonesia. Data resmi menunjukkan bahwa angka stunting masih cukup tinggi di berbagai daerah, dan hal ini dianggap sebagai ancaman nyata bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Dari situlah lahir gagasan tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu solusi strategis. Program ini dimaksudkan untuk memberikan akses makanan sehat dan bergizi bagi anak-anak, khususnya mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga tidak lagi ada generasi yang terhambat pertumbuhan fisiknya maupun kecerdasan otaknya akibat kekurangan gizi.

Pada dasarnya, penulis menyambut baik kehadiran program ini. Di atas kertas, MBG terlihat sebagai sebuah terobosan yang progresif. Kita tahu, seringkali program-program pemerintah hanya menyentuh permukaan masalah, namun MBG berani masuk langsung ke jantung persoalan, yaitu, soal asupan gizi sehari-hari anak. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, bisa menikmati makanan bergizi minimal sekali dalam sehari. Jika berjalan dengan baik, program ini akan menjadi pondasi kokoh bagi generasi emas 2045 yang selama ini selalu di dengungkan oleh pemerintah.

Namun, sebagaimana sering terjadi dalam berbagai kebijakan, antara niat baik dan realitas pelaksanaan seringkali terbentang jurang yang cukup lebar. Apa yang tertulis dalam dokumen perencanaan, apa yang diucapkan dalam pidato pejabat tinggi, belum tentu serupa dengan apa yang benar-benar dirasakan di lapangan.

Dalam kasus MBG, jurang ini mulai terlihat dari awal implementasi, khususnya terkait aspek pengawasan dan pengelolaan. Penulis memandang penting untuk menyoroti persoalan ini sejak dini, karena program sebesar MBG tidak boleh dijalankan setengah hati. Anggaran yang disiapkan sangat besar, melibatkan ribuan dapur, ratusan ribu tenaga pengelola, dan menyasar jutaan anak penerima manfaat di seluruh Indonesia. Dengan skala sebesar itu, risiko penyalahgunaan dan salah kelola tentu terbuka lebar.

Pengawasan Lemah di Lapangan dan Dampaknya

Ketika sebuah program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan, tantangan utamanya bukanlah sekadar merancang konsep atau menyediakan anggaran, melainkan memastikan bahwa apa yang sudah diputuskan di tingkat pusat benar-benar terlaksana dengan baik di tingkat bawah. Di sinilah sering terjadi celah yang paling krusial: aspek pengawasan.

Dalam banyak kasus program pemerintah, lemahnya sistem pengawasan menyebabkan program yang sebenarnya baik niatnya justru tidak sampai pada tujuan yang diharapkan. MBG tampaknya tidak lepas dari persoalan klasik ini.

Sejak awal, mekanisme pengawasan terhadap MBG belum dirancang secara komprehensif. Pengawasan masih dipahami sebatas administratif, yakni memastikan laporan tertulis masuk sesuai jadwal dan anggaran terserap sesuai angka. Padahal, pengawasan semacam itu sering kali hanya formalitas. Yang jauh lebih penting adalah pengawasan substantif: apakah makanan yang diberikan benar-benar bergizi? Apakah proses dapurnya sesuai standar kebersihan? Apakah anak-anak penerima manfaat merasakan manfaat nyata? Pertanyaan-pertanyaan ini sering luput dari perhatian ketika pengawasan hanya dilakukan di atas kertas.

Tidak sedikit sekolah atau dapur umum penyedia makanan yang tidak memenuhi standar minimal kebersihan. Ada dapur yang seadanya, peralatan yang tidak higienis, bahkan tenaga masak yang tidak memiliki pelatihan khusus. Jika hal-hal mendasar ini tidak diawasi dengan ketat, maka tujuan program bisa melenceng jauh. Alih-alih memberikan makanan bergizi, justru ada potensi masalah kesehatan baru yang muncul. Bayangkan jika anak-anak yang seharusnya mendapatkan nutrisi justru mengalami keracunan makanan karena kelalaian pengelola dapur.

Lemahnya pengawasan juga membuka ruang yang sangat lebar bagi terjadinya praktik-praktik salah kelola atau bahkan penyalahgunaan anggaran. Kita tahu, program dengan anggaran besar selalu rawan menjadi ladang kepentingan.

Tanpa mekanisme kontrol yang jelas, akan ada oknum yang mencoba mengambil keuntungan pribadi. Mereka bisa menekan biaya produksi dengan membeli bahan makanan berkualitas rendah, atau bahkan sekadar formalitas menjalankan dapur tanpa benar-benar memperhatikan mutu. Semua ini bisa terjadi jika tidak ada pihak yang rutin memeriksa dan menindak tegas pelanggaran di lapangan. Pengawasan yang lemah biasanya berjalan seiring dengan minimnya keterbukaan informasi.

Orang tua siswa, masyarakat sekitar, bahkan pihak sekolah sering kali tidak tahu secara detail bagaimana mekanisme MBG dikelola. Mereka hanya melihat hasil akhir berupa makanan yang dibagikan kepada anak-anak, tanpa pernah tahu bagaimana proses pengadaan bahan, siapa pengelolanya, dan berapa biaya yang sebenarnya dihabiskan. Padahal, transparansi adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan. Jika masyarakat tahu dan bisa ikut mengawasi, peluang terjadinya penyimpangan akan jauh berkurang.

Dampak dari lemahnya pengawasan ini sangat serius. Pertama, tujuan program bisa meleset dari sasaran. Anak-anak yang seharusnya mendapat makanan sehat justru mungkin menerima makanan asal jadi, tanpa standar gizi yang memadai.

Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa runtuh. Program sebesar MBG tentu diharapkan menjadi kebanggaan pemerintah, tetapi jika pelaksanaannya amburadul, masyarakat akan menilai bahwa ini hanya program pencitraan belaka.

Ketiga, dampak jangka panjang terhadap generasi muda juga berbahaya. Jika stunting dan gizi buruk tidak benar-benar diatasi, maka bonus demografi yang selama ini kita banggakan bisa berubah menjadi bencana demografi.

Penulis percaya, masalah pengawasan ini tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah harus belajar dari pengalaman program-program sebelumnya. Misalnya, pada program bantuan sosial, sering muncul kasus di mana barang yang diterima masyarakat tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Hal serupa bisa terjadi pada MBG jika tidak ada pengawasan yang ketat.

Jangan sampai anak-anak hanya mendapat makanan seadanya, sementara di laporan tertulis semuanya tampak sempurna. Pengawasan yang lemah juga sering menimbulkan praktik diskriminasi. Ada laporan bahwa di beberapa daerah, anak-anak penerima manfaat tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Ada yang mendapat makanan lebih baik, ada pula yang hanya mendapat menu seadanya. Ketidakseragaman ini jelas melanggar prinsip keadilan yang menjadi dasar dari program MBG. Semua anak berhak mendapatkan makanan bergizi yang sama, tanpa memandang latar belakang ekonomi, politik, atau lokasi mereka tinggal.

Di sisi lain, dampak lemahnya pengawasan juga terasa pada potensi keberlanjutan program. Jika masyarakat sudah kehilangan kepercayaan, maka dukungan publik terhadap MBG akan melemah. Padahal, dukungan masyarakat sangat penting agar program bisa berjalan dalam jangka panjang. Jika publik merasa program ini hanya ajang bagi-bagi proyek atau sekadar simbol politik, maka resistensi akan muncul. Orang tua mungkin tidak lagi mempercayai kualitas makanan, sekolah enggan terlibat aktif, bahkan pelaku usaha lokal bisa menjadi apatis. Semua ini akan menggerus keberlangsungan MBG ke depan.

Masalah Kompetensi Pengelola dan Risiko Salah Kelola

Salah satu titik lemah terbesar dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah soal siapa yang diberi mandat untuk mengelola. Di atas kertas, pengelola seharusnya pihak-pihak yang berpengalaman dalam menyediakan makanan bergizi, memiliki standar dapur yang layak, serta kompetensi dalam menjaga kualitas makanan untuk ribuan anak. Namun kenyataannya di lapangan, tidak semua pengelola berasal dari latar belakang yang tepat. Banyak dapur MBG justru jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi, bahkan ada yang lebih berorientasi pada kepentingan politik daripada pada pelayanan publik.

Dalam wawancara yang sempat penulis ikuti, ada keluhan dari masyarakat mengenai kualitas makanan yang dihasilkan. Anak-anak hanya mendapat menu seadanya, terkadang tanpa keseimbangan gizi yang memadai. Ada menu yang hanya terdiri dari nasi putih dengan lauk sederhana, tanpa sayuran atau buah yang seharusnya menjadi komponen penting. Ini menunjukkan bahwa sebagian pengelola tidak benar-benar memahami prinsip dasar gizi. Mereka menganggap bahwa memberi makanan berarti cukup asal kenyang, padahal esensi dari MBG adalah memastikan asupan nutrisi yang seimbang. Kondisi ini diperparah dengan adanya praktik penunjukan pengelola yang sering kali tidak transparan. Alih-alih melalui mekanisme seleksi yang ketat, pengelola dipilih karena faktor kedekatan dengan pejabat atau afiliasi politik tertentu.

Penulis menilai pola seperti ini sangat berbahaya, sebab sejak awal program sudah terkontaminasi dengan kepentingan non-teknis. Bagaimana mungkin kita berharap kualitas makanan terjaga, jika pengelola dipilih bukan karena kompetensi, tetapi karena koneksi?

Risiko salah kelola dalam kondisi seperti ini menjadi sangat besar. Pertama, ada potensi pengadaan bahan makanan dilakukan dengan standar rendah. Demi mengejar keuntungan, pengelola bisa saja membeli bahan yang lebih murah, tanpa memperhatikan kualitas. Anak-anak akhirnya mendapat makanan yang tidak segar, atau bahkan berisiko membahayakan kesehatan. Kedua, ada risiko manipulasi laporan. Di atas kertas, laporan bisa menunjukkan bahwa semua standar terpenuhi, tetapi di lapangan kenyataannya jauh berbeda. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, manipulasi semacam ini sulit terdeteksi.

Penulis juga melihat masalah pada kapasitas sumber daya manusia. Banyak tenaga masak yang direkrut hanya berdasarkan ketersediaan, bukan berdasarkan keahlian. Mereka mungkin terbiasa memasak untuk keluarga, tetapi belum tentu memahami standar kebersihan dan gizi untuk ribuan anak. Akibatnya, ada dapur yang tidak higienis, menu yang monoton, atau porsi yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak. Padahal, setiap detail dalam penyajian makanan bergizi seharusnya diperhatikan dengan serius. Masalah kompetensi ini juga berdampak pada citra program.

Jika makanan yang dibagikan kualitasnya buruk, masyarakat akan segera kehilangan kepercayaan. Orang tua bisa merasa kecewa, bahkan mungkin melarang anaknya memakan makanan dari program MBG. Ini jelas akan meruntuhkan tujuan utama program. Pemerintah bisa berargumen bahwa niatnya baik, tetapi jika di mata masyarakat hasilnya buruk, maka program akan dinilai gagal.

Risiko salah kelola juga mencakup aspek keuangan. Anggaran MBG yang besar menjadi godaan tersendiri bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tanpa kompetensi dalam manajemen keuangan, pengelola bisa saja tergoda untuk melakukan praktik mark-up, memotong anggaran bahan makanan, atau menggunakan dana untuk kepentingan lain. Semua itu pada akhirnya merugikan anak-anak penerima manfaat, yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Solusi dan Harapan Besar

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyimpan potensi besar sekaligus kerentanan mendasar. Di satu sisi, ia adalah jawaban konkret terhadap persoalan gizi buruk dan stunting yang menghantui anak-anak bangsa. Di sisi lain, tanpa pengawasan yang memadai dan pengelola yang berkompeten, program ini berisiko besar melenceng dari tujuan mulianya. Oleh sebab itu, pembahasan tentang MBG tidak boleh berhenti pada kritik, tetapi juga harus menawarkan jalan keluar.

Harapan terbesar penulis terhadap MBG adalah bagaimana program ini benar-benar bisa menjadi investasi jangka panjang bangsa. Investasi ini bukan dalam bentuk infrastruktur beton atau jalan tol yang bisa langsung terlihat, tetapi investasi pada manusia, pada anak-anak yang kelak akan menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia. Jika anak-anak kita tumbuh sehat, kuat, dan cerdas, maka mereka akan mampu bersaing di era global, menghadapi tantangan teknologi, dan menjaga kedaulatan bangsa. Maka, setiap rupiah yang dialokasikan untuk MBG pada hakikatnya adalah tabungan bagi masa depan bangsa. Namun, untuk mewujudkan harapan itu, pemerintah harus berani melakukan perubahan yang sistematis dalam pelaksanaan program ini.

Pertama, sistem pengawasan harus diperkuat tidak hanya di level administratif, tetapi juga substantif. Jangan hanya puas dengan laporan serapan anggaran, tetapi pastikan mutu makanan yang sampai ke tangan anak-anak benar-benar sesuai standar gizi.

Mekanisme audit lapangan harus dilakukan secara rutin, melibatkan lembaga independen, dan hasilnya dipublikasikan secara transparan agar masyarakat bisa ikut mengawasi.

Kedua, pemerintah harus berani melakukan perbaikan mekanisme pemilihan pengelola. Jangan lagi ada praktik penunjukan berdasarkan kedekatan politik. MBG harus dikelola oleh pihak yang benar-benar memiliki kapasitas. UMKM katering lokal yang sudah berpengalaman bisa diberdayakan, sekaligus menciptakan efek ganda terhadap perekonomian daerah. Dengan melibatkan pelaku usaha lokal yang kompeten, kualitas makanan bisa lebih terjaga, dan pada saat yang sama roda ekonomi masyarakat juga berputar. Ketiga, Penulis mendorong adanya peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang terlibat dalam program ini.

Tenaga masak, pengelola dapur, bahkan pihak sekolah yang ikut memantau, harus mendapat pelatihan tentang gizi, kebersihan, dan manajemen dapur skala besar. Jangan menganggap remeh keterampilan teknis ini, karena makanan yang diolah untuk ribuan anak tentu berbeda dengan masakan sehari-hari di rumah tangga. Pemerintah bisa menggandeng ahli gizi, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil untuk menyusun kurikulum pelatihan yang relevan. Keempat, partisipasi masyarakat harus diperkuat. Orang tua siswa perlu diberi ruang untuk ikut mengawasi kualitas makanan yang diterima anak-anak mereka.

Sekolah dapat menjadi pusat pemantauan harian, sementara media lokal bisa mengambil peran sebagai penjaga transparansi. Semakin banyak pihak yang dilibatkan, semakin kecil peluang terjadinya penyimpangan. Dengan begitu, MBG bukan hanya program pemerintah, melainkan gerakan bersama untuk generasi sehat Indonesia.

Selain itu, penting adanya evaluasi berkala yang dilakukan secara terbuka. Evaluasi ini bukan sekadar mencari kesalahan, tetapi menjadi momentum pembelajaran. Jika ada daerah yang berhasil mengelola MBG dengan baik, praktik terbaiknya bisa direplikasi di daerah lain. Sebaliknya, jika ada masalah, harus segera ditemukan solusinya tanpa menunggu masalah itu membesar. Evaluasi semacam ini harus dilakukan secara konsisten, setidaknya setiap enam bulan sekali, agar program selalu berada di jalur yang benar.

Dalam program sebesar MBG, komitmen moral adalah faktor yang tidak kalah penting. Program ini tidak boleh dipandang hanya sebagai proyek anggaran yang perlu dihabiskan, tetapi sebagai amanah besar untuk menyelamatkan masa depan anak-anak. Setiap pengelola, setiap pejabat, bahkan setiap tenaga masak harus memiliki kesadaran bahwa mereka sedang mengemban tugas mulia. Tanpa kesadaran moral ini, semua sistem yang dibangun akan kehilangan ruhnya. Penulis percaya bahwa MBG bisa diperbaiki dan dijalankan dengan baik, asalkan ada kemauan politik yang kuat dan partisipasi masyarakat yang luas.

Pemerintah perlu membuka diri terhadap kritik, karena kritik sejatinya adalah bentuk kepedulian. Jangan alergi dengan suara-suara yang menyoroti kelemahan, sebab di situlah kesempatan untuk memperbaiki diri.***