Ketika Pemimpin Terjebak Data

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Pemimpin tertinggi negeri ini saat bicara kemiskinan dan pengangguran sangat berapi-api, karena mendapat laporan data dari lembaga bawahannya semua dalam kondisi “baik-baik saja”. Beliau tidak...

Ketika Pemimpin Terjebak Data

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Pemimpin tertinggi negeri ini saat bicara kemiskinan dan pengangguran sangat berapi-api, karena mendapat laporan data dari lembaga bawahannya semua dalam kondisi “baik-baik saja”. Beliau tidak salah karena selama ini ukuran itu menjadi semacam “dewa keberhasilan” dari suatu pekerjaan. Sebab, di era digitalisasi dan big data, statistik telah menjadi semacam “kompas” dalam dunia kepemimpinan. Data statistik dianggap mampu menunjukkan arah, mengukur dampak, serta merumuskan solusi untuk berbagai persoalan sosial. Dalam teori administrasi modern, penggunaan data sangat penting untuk efisiensi dan efektivitas kebijakan publik. Namun, ada satu aspek penting yang sering kali terabaikan dalam proses ini, yaitu, kemanusiaan.

Ketika seorang pemimpin terlalu terfokus pada angka dan indikator statistik, ada risiko besar bahwa realitas manusia yang kompleks, dinamis, dan penuh nuansa akan terabaikan. Pemimpin mungkin melihat bahwa angka pengangguran telah menurun, namun tidak menyadari bahwa yang disebut “pekerjaan” adalah kerja kontrak harian tanpa jaminan kesehatan. Pemimpin mungkin puas dengan angka penurunan stunting, tanpa menyadari bahwa metode pengukuran gizi telah berubah demi mempercantik laporan.

Berdasarkan pemahaman literature yang ada bahwa: data statistik memberikan dasar objektif untuk: Menyusun anggaran yang tepat sasaran. Menentukan indikator kinerja pemerintahan. Mengevaluasi dampak suatu program. Merancang kebijakan berdasarkan tren. Contoh: jika data menunjukkan bahwa daerah A memiliki tingkat putus sekolah tertinggi, maka intervensi bisa diarahkan secara cepat dan spesifik ke sana. Ini adalah keunggulan data sebagai alat pengambilan keputusan berbasis bukti. Namun dalam memutuskan suatu kebijakan harus hati-hati, ada banyak hal yang tidak terjangkau oleh pemahaman fenomena. Sebagai contoh ditemukan data kekurangan dokter dengan jumlah tertentu. Kemudian kebijakan diambil dengan membuka sebanyak-banyaknya fakultas kedokteran. Wal hasil mutu lulusan menjadi rendah, jumlah pengangguran dokter di masa depan akan terjadi. Kebijakan yang diambil tidak tepat, sementara data statistiknya sudah benar. Kebijakan yang diambil seharusnya meningkatkan daya tampung dan tetap menjaga kualitas dari fakultas kedokteran yang ada. Tentu kebijakan akademik berbeda dengan kebijakan politik populis, apalagi berbasis proyek serta pencitraan.

Hal ini terjadi karena data menjadi satu-satunya lensa untuk memahami masyarakat. Statistik adalah bentuk abstraksi yang menyederhanakan realitas. Dalam proses penyederhanaan itu, aspek manusia, seperti; emosi, nilai, budaya, rasa sakit, harapan, sering kali terabaikan. Contoh sederhana: data mengatakan “tingkat kemiskinan menurun 3%”, namun tidak menjelaskan bahwa jutaan orang masih harus memilih antara membeli makanan atau obat.  Di sinilah letak jebakannya: statistik bisa menciptakan ilusi kemajuan, sementara realitas tetap stagnan atau bahkan memburuk.

Contoh lain: Dalam banyak negara berkembang, bantuan sosial sering diberikan berdasarkan kriteria statistik seperti “pendapatan di bawah garis kemiskinan”. Namun, banyak warga yang tidak tercatat dalam sistem data resmi, misalnya buruh informal atau masyarakat adat, akhirnya tidak menerima bantuan meskipun sangat membutuhkan. Statistik menyatakan bantuan telah menjangkau “95% rumah tangga miskin”, tetapi siapa yang memverifikasi keabsahan data.  Di balik data yang tampak indah, tersembunyi lapisan-lapisan eksklusi sosial yang perlu perhatian tersendiri.

Pemerintah sering membanggakan pembangunan jalan, jembatan, atau fasilitas umum berdasarkan indikator output: “sekian km jalan dibangun”, “sekian jembatan selesai dikerjakan”. Namun tidak jarang proyek ini dibangun di tempat yang tidak dibutuhkan karena alasan politik atau birokrasi. Masyarakat lokal mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan suara tentang kebutuhan mereka. Seolah-olah statistik pembangunan menjadi semacam “pelengkap pencitraan”, bukan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan riil.

Kepemimpinan yang baik harus menempatkan manusia sebagai pusat (antroposentris) dari semua kebijakan dan keputusan. Artinya, data boleh digunakan sebagai alat bantu, tapi bukan sebagai tujuan akhir. Ukuran keberhasilan tidak hanya angka, tetapi juga kualitas kehidupan manusia secara menyeluruh. Seperti dikatakan oleh filsuf Emmanuel Levinas, hubungan antar-manusia tidak bisa direduksi pada hitung-hitungan rasional. Ada aspek “tatapan wajah”, atau kehadiran manusia lain yang menuntut tanggung jawab etis di luar logika statistik.

Cara paling efektif untuk menghindari dehumanisasi statistik adalah dengan menggabungkan data kuantitatif dengan narasi kualitatif. Cerita dari lapangan, wawancara warga, dan pengalaman langsung harus menjadi bagian dari laporan kebijakan. Sebuah angka tentang kemiskinan akan jauh lebih bermakna jika diiringi dengan kutipan ibu rumah tangga yang harus makan sekali sehari. Cerita memberi warna, rasa, dan kedalaman akan fenomena.

Statistik dengan datanya adalah alat bantu penting. Tapi ia tidak memiliki hati. Ia tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan pekerjaan, ditolak rumah sakit, atau menahan lapar. Itulah mengapa pemimpin tidak boleh menjadi budak statistik. Ia harus menjadi penafsir data dengan hati nurani. Kepemimpinan bukan sekadar soal target dan indikator, tapi tentang keberanian untuk menatap wajah rakyat dan mengatakan: “Saya melihatmu. Saya mendengarmu. Saya bersamamu. Saya akan berbuat sesuatu untuk mu.” Mari kita bangun dunia yang tidak hanya cerdas secara data, tetapi juga bijaksana secara nurani.

Salam Waras!