‘Kementhus’
Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Sore itu hujan sedikit lebat. Sayup-sayup ada nada dering panggilan telepon. Ternyata dari sahabat lama yang sudah beberapa waktu tidak berwawankata. Sahabat ini orangnya ramah da...

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Sore itu hujan sedikit lebat. Sayup-sayup ada nada dering panggilan telepon. Ternyata dari sahabat lama yang sudah beberapa waktu tidak berwawankata. Sahabat ini orangnya ramah dan memiliki ciri khas dialek Jawa Banyumasan atau bahasa populernya Jawa Ngapak. Logat yang sangat medok dan diksi khas yang sangat berbeda dengan tutur Jawa Tengah pada umumnya.
Pada saat beliau menceritakan seseorang (ini yang tidak saya sukai dari sahabat ini), terselip diksi seperti judul tulisan ini, kalau dirangkai kalimat lengkapnya: ”janjane dheweke kuwi ora teyeng, tapi kementhus.” Kalau diterjemahkan bebasnya “sebenarnya orang itu itu tidak mampu, tetapi sombong”.
Sebelum lebih jauh kita membicarakan kementhus sebaiknya kita memahami dahulu apa makna kata ini. Dialek Jawa Semarangan mengartikannya sebagai orang sombong atau angkuh, ini juga makna pada Jawa Banyumasan, hanya saja penekanan ucapan dialek Banyumasan lebih tebal penekanan lidahnya. Tetapi jika ditilik dari makna hakiki; maka kita akan menemukan makna yang lebih dalam seperti halnya yang tertulis pada Serat Wedatama karya Mangkenegoro IV bahwa berlagak pintar tetapi sebenarnya tidak atau gagal paham.
Lebih jauh beliau menjelaskan jika dialihbahasakan bahwa arti transliterasi atau kebatinan tidak bisa dibaca sebagaimana arti harfiahnya. Kalimat ini bermakna alegoris, metafora, bahkan melampaui literasi umum. Dalam tradisi hermeneutika, ini adalah gambaran roh/jiwa/mental atau batin (verstehen) sebagai ungkapan ekspresi dan bukan erklaren.
Kementhus adalah pengembangan rasa yang menjadi tolok ukur pertumbuhan batin. Maka kementhus dianggap sebagai penghalang proses untuk mencapai ilmu kebatinan cara Jawa Kuna yang juga menjadi penghalang manunggaling kawulo gusti dalam ajaran makrifat Siti Jenar.
Selanjutnya urusan itu kita serahkan kepada mereka yang senang dengan olah batin; sekarang kita bumikan kementhus dalam arti harfiah yaitu”tidak mampu tetapi sombong”. Pada konteks ini manakala dilekatkan kepada manusia lumrah seperti kita, menjadikan makna itu sungguh dalam menghujam pada kalbu. Bisa dibayangkan jika itu merupakan manisfestasi perilaku, betapa menyedihkan; karena kementhus bisa membuat orang antipati atau minimal menghindar dari hadapan.
Namun perlu diingat bahwa sebenarnya kementhus adalah sifat bawaan manusia sebagai faktor heriditas yang mendorong manusia waktu balita; untuk terus mencoba hal baru dengan pola “jatuh bangun”. Merasa bisa walaupun terjatuh saat belajar berjalan, bangun dan mencoba lagi. Inilah fase “coba coba”, dan inilah yang disebut masa kementhus itu, yang ada pada balita untuk terus tumbuh kembang sebagai manusia dewasa. Menjadi menyimpang manakala perilaku ini melekat menjadi sikap yang terus terpelihara sampai dewasa; sehingga merusak tatanan sosial yang ada.
Bisa dibayangkan kalau sikap kementhus ini ada pada seseorang atau sekelompok orang yang karena seleksi sosial menjadi pemimpin atau elite sosial pada kelompok masyarakat tertentu. Akibat yang ditimbulkan sudah dapat kita perkirakan, yaitu munculnya sikap congkak, bahkan terlalu jumawa; sehingga menganggap orang lain tidak ada apa apanya. Imam Al-Ghazali pernah mengatakan bahwa kecongkakan atau kesombongan yang paling tinggi pada manusia adalah kesombongan akan ilmunya. Merasa paling pandai, paling mengetahui, paling bisa, adalah kesombongan intelektual luar biasa, dan jika kita labelkan maka inilah kementhus tingkat tinggi. Padahal dalam Filsafat Ilmu sudah ditekankan bahwa makin tahu seseorang sebenarnya dia makin tidak tahu, karena masih banyak tahu-tahu yang lain yang dia tidak tahu.
Oleh karena itu, seorang teman doktor ilmu lingkungan yang mendalami perilaku manusia dengan lingkungannya, memberikan penekanan justru kementhus ini lebih berorientasi pada sikap manusianya yang bercirikan merasa benar dan paling tahu, adalah definisi operasional yang paling membumi. “Pisau” ini tidak berhenti di sini; sebab jika rasa merasa benar dan rasa merasa paling tahu ditabalkan kepada pemimpin, apa pun unitnya; jelas akan membahayakan keberlangsungan organisasi itu.
Parahnya lagi pemimpin yang kementhus akan semakin menjadi kementhus jika tidak pandai berpikir jernih tentang informasi yang disampaikan oleh para pembisik di sekelilingnya; karena informasi yang seperti ini bisa dicurigai sebagai “politik belah bambu”, yaitu menginjak ke bawah dan mengangkat yang di atas. Pembisik-pembisik yang seperti inilah menjadikan ke-kementhusan-nya semakin menjadi-jadi, tidak jarang menjadikan orang tergiring pada penyakit jiwa megalomania.
Kementhus merupakan heriditas manusia, namun jika perkembangannya tidak diperhatikan dan dikendalikan dalam konteks kedewasaan; maka dia akan merusak tatanan sosial yang sudah ada. Oleh karena itu, jika diamanati menjadi pemimpin, apa pun unitnya, harap diperhatikan bahwa pembeda sahabat dan teman itu adalah di antaranya jika saat kementhos kita datang, dan orang pertama yang menegur atau mengingatkan kita akan ke-kemethus-an kita, itulah sahabat. Sementara mereka yang menikmati ke-kementhus-an kita, bahkan menyiram dengan “api” untuk menjadi jadi, maka dia tidak lebih hanya sekadar teman. Sahabat akan mendampingi Anda sampai kapan pun, walau dia tidak hadir secara fisik. Sementara teman dia hanya datang saat anda menikmati keberuntungan.
Selamat ngopi pagi…