Kebahagiaan Metadunia

Syamsul Arifien Ada kenyataan energi justru berlimpah dan daya survive hidup tak terbatas, justru ketika seseorang mengalami tekanan hidup berkepanjangan, sehingga dia itu adalah orang bahagia. Kok? Adakah penderitaan berarti kebahagiaan? Argumentasi...

Kebahagiaan Metadunia

Syamsul Arifien

Ada kenyataan energi justru berlimpah dan daya survive hidup tak terbatas, justru ketika seseorang mengalami tekanan hidup berkepanjangan, sehingga dia itu adalah orang bahagia. Kok? Adakah penderitaan berarti kebahagiaan? Argumentasi macam apa yang dapat membenarkan logika ini?

Ada kenyataan orang tidak pernah merasa takut air hujan, tidak keder terhadap bunyi petir yang menggelegar. Bahkan air hujan justru diyakini sebagi medium alamiah yang menjadikannya kebal atau imun dari segala penyakit. Sementara ada kenyataan lain, semakin orang berusaha melindungi diri dari guyuran hujan, bukan berarti ia tidak rentan dari serangan penyakit. Pun begitu ada petir menyambar-nyambar hatinya ciut dan lari terbirit-birit bagai ditiupkan terompet sangkakala Isrofil.

Ada kenyataan, pola hidup mandiri justru teruji di kalangan orang-orang tak berpunya. Karena serba terbatasnya sumber daya ekonomi, finansial, akses sosial dan lain sebagainya, mereka sanggup mengerjakan segala tetek bengek urusan hidupnya. Beda kenyataan misalnya, dengan orang-orang yang mapan, yang manja segala hal urusannya minta dilayani.

Ada kenyataan, orang-orang berada hanya mampu bepergian ke luar negeri untuk makan enak, berbisnis, atau pelesiran. Sementara keluarga miskin sanggup kabur kanginan ke manca negara hingga bertahun-tahun terpisah dari anak suami/istri, yang berarti lebih dahsyat mentalitasnya dan lebih memiliki keasyikan didalam mempergauli qudrah dan iradah Tuhan.

Orang miskin tidak meratap pilu seandainya seluruh hidupnya dikepung sepi. Meraka baru akan menjadi berita dan namanya berkibar di jagat raya, hanya jika mengalami celaka. Disiksa majikan, dihukum pancung, diusir dan dihilangkan nyawanya oleh kekejaman penguasa. Orang-orang kaya dan berpangkat mudah panik dan membabi buta manakala dunia tidak menyapa, sehingga ia selalu memerlukan media rekayasa untuk menaikkan citra, popularitas nama, kasta, maupun tahta.

Kalau bagai air bah, lantas penduduk miskin Indonesia dalam catatan statistik fantastis jumlahnya menjadi pemburu kerja di luar negeri, itu artinya jiwa patriotisme orang miskin sangat pilih tanding. Hanya orang miskin yang sanggup bekerja keras menaikkan derajat kehidupan diri, keluarga, sekaligus berjasa nyata menyokong tiang ekonomi negaranya.

Kaum lemah dhu’afa tidak akan sungguh-sungguh dihargai sebagai manusia, kecuali hanya sebatas hitungan angka-angka. Betapapun mereka penghasil pundi-pundi devisa negara, tidak akan diakui sebagai kesatria bertanda jasa. Karena para kesatria adalah hak orang-orang berharta yang semakin banyak kerusakan dunia diciptakan olehnya, justru semakin memperlebar dan memperlapang peluangnya, diangkat menjadi pahlawan-pahlawan pembangunan negara.

Bandingkan dengan kerdilnya mentalitas penguasa, pengusaha, orang kaya, yang mengguritakan kemewahan dan kemakmuran, diri, keluarga dan dinastinya, yang itu semua hanya sanggup dilakukan dengan menyusu dan menghisap sumber-sumber kekayaan alam, dengan mengemplang dan menilap kantung-kantung pendapatan belanja keuangan negara.

Sebanyak apapun diselenggarakan Pemilu maupun Pilkada, tidak mampu memperbaiki apa-apa, tidak bisa diharapkan apa-apa. Bahkan jago-jago yang silih berganti tampil dalam Pemilu Pilkada, hanya akan menjadi parodi stand up komedi. Orang miskin butuh sembako, butuh cash money, tetapi demokrasi politik yang diperagakan orang kaya, orang pintar, lebih banyak merampas daya juang dan militansi orang miskin, melalui cara-cara restoran cepat saji.

Betapapun Pemilu dan Pilkada yang memproduk penguasa, takdirnya hanya akan mendaur ulang kepalsuan. Begitu banyak kenyataan kemalangan nasib orang-orang yang tertipu sendiri oleh kemewahan dan kedigjayaan dunianya. Begitu pula terdapat orang-orang yang sejatinya kebahagiannya menjelma, walaupun tampaknya terlunta-lunta secara kasat mata, tetapi tidak demikian dalam rumus kebahagiaan meta dunia.