Kasus Ibu Kandung Aniaya Anak: Hukuman Penting, Masa Depan Balita Lebih Penting
Feaby Handana Rasa bahagia bercampur haru jelas sangat terasa saat melihat keceriaan dari balita yang menjadi korban penyiksaan ibu kandungnya. Melihat hal itu, sulit rasanya untuk percaya jika balita yang berusia sekitar satu tahun itu sempat menda...

Feaby Handana
Rasa bahagia bercampur haru jelas sangat terasa saat melihat keceriaan dari balita yang menjadi korban penyiksaan ibu kandungnya. Melihat hal itu, sulit rasanya untuk percaya jika balita yang berusia sekitar satu tahun itu sempat mendapat perlakuan keji dari sang ibu.
.
Fakta yang terjadi memang demikian adanya. Tiga potongan video berdurasi pendek jelas menggambarkan ulah si bu. Siapa pun orangnya, baik itu jahat atau baik sudah pasti mendidih darahnya saat pertama kali melihatnya. Bahkan, tak jarang di antara mereka hanya sanggup melihat bagian awalnya saja. Jangankan mau melihat video – video lainnya, menonton hingga selesai pun mereka tak mau. Kendati sulit dipercaya akal sehat, kejadian itu bukanlah rekayasa.
Belakangan diketahui ternyata motif di balik perbuatan si ibu tersebut dilatarbelakangi oleh kekesalannya pada sang suami. Sudah beberapa bulan belakangan ini, ia dan putranya tak mendapat nafkah dari suami. Kepala keluarga yang mereka harapkan memang sejak sepuluh bulan terakhir telah meninggalkan keduanya.
Si ibu mungkin tidak pernah mengira jika perbuatannya itu akan membuatnya terpisah dengan darah dagingnya sendiri. Ya, akibat perbuatannya, ia terpaksa ditahan oleh pihak berwajib. Mirisnya, keluarga besarnya baik dari keluarga suami maupun keluarganya sendiri tak ada yang mau mengurus putranya.
Jadilah panti asuhan dipilih sebagai tempat penampungan anak tersebut. Sebab, jika membiarkan keduanya bersama di dalam sel hanya akan semakin memperburuk keadaan. Baik untuk si ibu maupun si balita itu sendiri.
Penahanan atas si ibu mungkin dianggap sebagian orang merupakan balasan yang setimpal. Toh, ia melakukan itu dalam keadaan sadar. Potongan – potongan video yang direkamnya sendiri menjadi bukti nyata akan hal itu. Gajak seperti itu tentu tak dapat disalahkan. Terdapat alasan kuat yang melatarbelakanginya.
Di sisi lain, bagi sebagian publiknya, penahanan atas sang ibu dianggap sebagai pilihan yang kurang bijaksana. Meski tentunya mereka menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan itu memang sangat dan teramat layak untuk dihukum seberat – beratnya. Namun, ketidaksetujuan terkait penahanan itu sendiri bukanlah tanpa alasan.
Kekhawatiran utamanya adalah masa depan si anak. Meskipun mungkin keduanya hidup dalam kekurangan, namun tetap saja memisahkan keduanya bukanlah sebuah pilihan bijaksana. Penahanan atas si ibu akan membuat hak balita itu untuk memperoleh kasih sayang ibunya menjadi ‘terampas’.
Kegelisahan mengenai masa depan si anak inilah yang dapat ditangkap dengan baik oleh pihak eksekutif. Mereka terus berupaya untuk membebaskan sang ibu dari penjara. Tak hanya itu. Mereka juga berusaha keras agar persoalan ini dapat diselesaikan di luar jalur hukum.
Bukan hanya fokus terhadap persoalan hukum, persoalan depresi dan ekonomi yang dialami oleh LFN pun tak luput dari perhatian mereka. Mendatangkan psikolog telah mereka jadwalkan. Pun demikian dengan persoalan ekonomi. Bantuan – bantuan pemerintah sedang diupayakan agar dapat diterima oleh sang ibu.
Sayangnya, pihak eksekutif seperti berjuang sendirian dalam persoalan ini. Pihak legislatif yang selama ini menjadi partner sepertinya belum merespons persoalan ini. Jangankan membantu, sekadar bersuara pun sepertinya masih belum kedengaran. Padahal, mereka merupakan perpanjangan tangan rakyat. Yang dipilih oleh rakyat. Si ibu bisa jadi adalah satu dari ribuan orang yang memberikan suara dalam pemilihan legislatif lalu.
Kendati demikian, tidak tepat rasanya saling menyalahkan. Hanya membuang energi secara percuma. Lebih baik pusatkan seluruh energi untuk menyelesaikan persoalan ini. Sebab, persoalan yang dialami oleh terduga pelaku dan balitanya merupakan persoalan bersama. Diakui atau tidak diakui, insiden ini terjadi mungkin akibat keteledoran kita bersama.
Kita teledor memperhatikan nasib tetangga, teledor memperhatikan nasib rakyat. Kalau saja itu tidak ada, sudah barang pasti kejadian yang merusak akal sehat kita itu tak akan pernah terjadi. Tak ada pilihan, pembebasan si ibu dari hukuman layak untuk diperjuangkan. Pun demikian dengan penyelesaian persoalan yang melatarbelakanginya. Dengan begitu, ibu dan balitanya dapat berkumpul kembali. Menghabiskan waktu bersama sembari menata kembali masa depan mereka yang sempat terhempas akibat kejadian pilu tersebut.***
* Feaby Handana adalah jurnalis Teraslampung.com