Kabinet Rasa Orde Baru dan Pos-Reformasi
Soewarno Bhumi Pada zaman Pak Harto menentukan kabinet itu sangat mudah dan cepat. Kenapa bisa? Karena Zaman Pak Harto berkuasa sebelum Pemilu dilaksanakan pun ia sudah tahu siapa pemenangnya dan siapa presidennya kelak. Pemilu sebagai representasi...
Soewarno Bhumi
Pada zaman Pak Harto menentukan kabinet itu sangat mudah dan cepat. Kenapa bisa? Karena Zaman Pak Harto berkuasa sebelum Pemilu dilaksanakan pun ia sudah tahu siapa pemenangnya dan siapa presidennya kelak. Pemilu sebagai representasi demokrasi juga diakal-akali. Agar terkesan sebagai negara yang demokratis maka diselenggarakan Pemilu tiap 5 tahun sekali. Tapi pemenangnya ya Golkar-Golkar juga atau Pak Harto-Pak Harto juga.
Lebih hebat lagi dalam menentukan susunan kabinet. Karena keotoriteran Suharto. Cukup bu Tien saja yang ia mintai rekomendasi atau paling serius cukup panggil Ali Moertopo atau Benny Moerdani. Kalau Bu Tien suka itu artinya pak Harto juga suka & setuju. Lalu tinggal putar nomer telepon dan disuruh menghadap. Maka besok jadi menteri deh. Tidak usah itu namanya fit and proper test, wong ndak ada KPK kok. Kepolisan dan Kejaksaan Agung memang ada, tetapi dianggap sebelah mata sama Pak Harto.
Pada zaman Gus Dur, zaman Megawati, apalagi jaman SBY kurang lebih ya sama. Karena bayang-bayang Orde Baru pengaruhnya begitu kuat, maka dalam menentukan kabinet menteripun setali tiga uang alias “phodo wae” atau sama saja.
Bagaimana zaman Jokowi? Kita lihat saja drama yang sedang terjadi. Saya pribadi lebih baik tidak banyak beropini dan berekspektasi terlalu banyak. Takutnya nanti malah kuciwa. Tetapi paling tidak. Langkah awal yang diambil oleh Jokowi sudah benar dan positif. Bahwa untuk membangun suatu pemerintahan yang bersih, harus didahului dengan orang-orang yang bersih di kursinya masing-masing.
Dalam hal ini saya sangat setuju dengan pendapat seorang teman, bahwa susunan suatu kabinet memang cermin dari Presidennya.



