Gino Vanolie, Kepala Dinas Pendidikan yang Pernah Menjadi Tukang Batu

Gino Vanolie. (Foto: Oyos Saroso HN) BAU  tanah basah sehabis hujan semalaman masih meruap di halaman Rumah Makan Taruko, Jl.Pangeran Diponegoro Bandarlampung, pertengahan Agustus 2001. Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIB, seorang guru m...

Gino Vanolie, Kepala Dinas Pendidikan yang Pernah Menjadi Tukang Batu
Gino Vanolie. (Foto: Oyos Saroso HN)
BAU  tanah basah sehabis hujan semalaman masih meruap di
halaman Rumah Makan Taruko, Jl.Pangeran Diponegoro Bandarlampung, pertengahan
Agustus 2001. Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIB, seorang guru muda tampak
mondar-mandir di depan rumah makan yang terletak di jantung kota Bandarlampung
itu. Sesekali diliriknya jam tangannya. Ia tampak gelisah.
Gino Vanollie, seorang guru muda alumni FKIP Universitas
Lampung, pagi itu memang ada janji dengan teman-temannya sesama guru untuk
bertemu di halaman rumah makan itu. Bukan untuk berangkat mengajar bersama-sama
atau makan di rumah makan, tetapi untuk berdemonstrasi di kantor Pemda
Bandarlampung yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat itu. 
Mereka ingin menemui Walikota Bandarlampung, Suharto, untuk
menuntut agar walikota segera membayar rapel kenaikan gaji guru TK hingga SMA
(negeri) di Bandarlampung yang selama hampir setahun belum dibayar. Total rapel
kenaikan gaji guru yang belum dibayar Pemda Bandarlampung mencapai sekitar Rp
16 miliar. Rata-rata gaji rapel kenaikan tiap guru yang belum dibayarkan
senilai kurang lebih Rp1,5 juta. 
Senyum Gino mulai mengembang ketika satu per satu rekannya
datang. Gino makin yakin hari itu akan menjadi “sejarah perlawanan”
para guru di Lampung setelah puluhan, ratusan, bahkan ribuan guru SD, SMP, dan
SMU terus berdatangan. Dikatakan “sejarah perlawanan” karena selama
ini para guru selalu patuh pada perintah atasan karena takut.
“Selama Orde Baru guru takut untuk menuntut haknya.
Cukup dininabobokan dengan sebutan Pahlawan Tanda Jasa, para guru diam saja
ketika hak-haknya diabaikan. Keadaan itu harus diubah. Jika menginginkan guru
mengajar secara profesional dan kualitas pendidikan meningkat, maka sudah
sewajarnya pemerintah memberikan penghargaan terhadap profesi guru,” kata
Gino.
Setelah sekitar 6.000 guru berkumpul, Gino pun memimpin aksi
para guru untuk menuntut haknya. Mereka berbaris rapi, kemudian berjalan kaki
menuju kantor walikota. Barisan itu membuat para polisi sibuk karena Jalan
Pangeran Diponegoro dan Jl Dr. Susilo macet total. Meskipun sempat diwarnai
ketegangan, aksi itu berlangsung damai. Dalam pertemuan itu Walikota Suharto
berjanji akan segera membayar uang rapel.
“Tapi, karena saat ini Pemda Kota Bandarlampung sedang
tidak punya uang sebanyak itu, maka kami minta tempo beberapa hari. Saya akan
meminjam uang di Bank Lampung,” kata Walikota Suharto.
Esok harinya, aksi demo para guru itu menjadi berita utama
sejumlah media lokal. Selain simpati, aksi itu juga menuai kritik.
“Guru kok demonstrasi. Bagaimana nanti para muridnya.
Kalau gurunya demonstrasi, pasti murid-muridnya telantar,” begitu antara
lain kritik yang muncul di media massa lokal.
Namun, Gino dan kawan-kawannya tidak mau surut melangkah.
Apalagi beberapa hari kemudian uang rapel yang dituntut para guru benar-benar
dicairkan. Sejak aksi demonstrasi itu, Gino makin sadar bahwa daya kritis para
guru harus terus dibangun dan dikembangkan. Tanpa adanya kesadaran kritis para
guru, menurut Gino, guru sulit mengajarkan daya kritis kepada para siswanya.
“Saya yakin pergolakan pemikiran terjadi pada diri
setiap guru saat demonstrasi, meski saya juga sadar bahwa mereka mau ikut
berdemontrasi karena yang diperjuangkan adalah nasib mereka sendiri. Dari
sanalah kami memulai langkah untuk membuat wadah alternatif yang bisa menampung
aspirasi para guru sekaligus bisa memperjuangkan nasib para guru yang mengalami
ketidakadilan,” kata guru yang dikenal sangat dengan para siswanya itu.
Menyadari gerakan kesadaran kritis harus dibangun secara
sistematis dan teroganisir, sebulan kemudian Gino dan kawan-kawannya mendirikan
Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI). Semua anggotanya adalah para guru TK, SD,
SMP, dan SMA. Gino menempati posisi sebagai sekretaris. Namun, secara de facto
motor penggerak organisasi itu adalah Gino Vanollie. Sebab di antara
teman-temannya, Ginolah punya jaringan luas dan banyak bergaul dengan para
aktivis prodemokrasi di Lampung. 
“Meski sudah memasuki era reformasi, berjuang sendirian
lebih  gampang ‘disikat’ orang. Makanya,
sejak awal pendiriannya FMGI berjaringan dengan para aktivis NGO, mahasiswa,
dan wartawan. Jaringan itu pula yang membuat posisi tawar kami dengan Dinas Pendidikan
Nasional dan kalangan birokrat lebih kuat,” ujar bapak dua putra ini.
Menurut Gino, FMGI bertujuan meningkatkan harkat dan
martabat guru; mendorong terwujudnya demokrasi pendidikan; dan menolak segala
bentuk diskriminsi dalam pendidikan. Organisasi ini terus berkonsolidasi untuk
membentuk kepengurusan di Lampung, bahkan di Indonesia. Kini, menginjak tahun
keempat, anggota FMGI berjumlah seribuan guru yang tersebar di dua kota dan
empat kabupaten di Lampung.
Gino mengaku seleksi untuk menjadi anggota FMGI memang ketat
karena seiring dengan makin kuatnya posisi tawar FMGI kini banyak guru yang
ingin menjadi pengurus FMGI di daerah hanya agar bisa menjadi kepala sekolah
atau menakut-nakuti kepala dinas pendidikan di tingkat kabupaten.
“Pernah ada orang yang mengaku guru di Kota Metro yang
ngotot ingin mendirikan FMGI di Metro dan menjadi ketuanya. Setelah saya
selidiki, ternyata dia adalah preman,” ujarnya.
Tak hanya memperjuangkan nasib para guru, FMGI juga
mengurusi soal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan sekolah dan Dinas
Pendidikan. Semua itu dilakukan FMGI karena organisasi profesi guru itu
mencita-citakan terwujudnya pendidikan yang bersih dan pendidikan untuk semua
golongan masyarakat tanpa membedakan status.
“Korupsi dana bantuan beasiswa di Lampung lumayan besar.
Bayangkan saja, jika ditotal dana beasiswa kompensasi BBM, dana retrieval untuk
anak putus sekolah, dana beasiswa dari APBD provinsi dan APBN di Lampung
mencapai lebih dari Rp 20 miliar/tahun. Tapi karena salah sasaran, maka masih
banyak anak putus sekolah. Dengan dana sebesar itu sebenarnya tidak ada alasan
ada anak sekolah di Lampung yang putus sekolah,”  tegas guru pengajar fisika di SMA 9
Bandarlampung ini.
***
Dilahirkan di Desa Ngadri, Kecamatan Kesamben, Kabupaten
Blitar, Jawa Timur pada tahun 1968, Gino sebenarnya termasuk “orang
baru” di Lampung. Ia ke Lampung pada tahun 1988, ketika diterima tanpa tes
di FKIP Universitas Lampung. Untuk membiayai sekolahnya, tidak malu-malu dia
menjadi tukang batu dan buruh bangunan.
Pengalaman masa lalu yang penuh dengan keprihatinan dan
“perjuangan” menempa Gino menjadi guru yang peka terhadap persoalan
siswa miskin dan kurang beruntung. Kepekaan itulah yang mendorong Gino rela
mengabdikan diri sebagai guru di SMA Tunas Harapan, sejak tahun 1999. Di sekolah
yang mayoritas siswanya adalah pembantu rumah tangga dan buruh itu Gino menjadi
kepala sekolah dengan honor Rp350 ribu/bulan. Jumlah itu sudah termasuk honor
dia mengajar.
Menurut Gino, meskipun honor per jamnya hanya Rp 11 ribu,
baginya mengajar para pembantu dan buruh kasar memiliki nilai tersendiri.
“Saya tidak mencari nafkah di situ, karena saya sudah mendapat gaji dari
profesi saya sebagai guru di SMA 9. Menjadi guru dan kepala sekolah di SMA
Tunas Harapan sebenarnya lebih sebagai tanggung jawab dan pengabdian saya
kepada masyarakat. Apalagi saya berasal dari keluarga yang tidak mampu,”
kata Gino.
Sebagai kepala sekolah di SMA yang sebagian siswanya
pembantu dan buruh, Gino mengaku harus cukup toleran jika siswa tidak membayar
uang sekolah setiap bulan. Gino mengaku turut sedih ketika ada siswa mengeluh
belum bisa membayar uang sekolah Rp 27.500/bulan karena gajinya sebagai buruh
bulan itu itu sudah habis untuk biaya hidup sehari-hari.
“Biaya hidup di Bandarlampung kan tinggi seperti di
Jakarta, sementara upah minimum kota hanya Rp 400 ribu. Jadi wajar kalau buruh
juga kesulitan membiayai sekolahnya. Tapi, meskipun tidak lancar membayar uang
sekolah bulanan, mereka akan membayar tunggakan menjelang ujian atau tes
kenaikan kelas,” ujarnya.
Menurut Gino, sebagai aktivis pendidikan yang menggerakkan
kesadaran kritis para guru, hal yang membahagiakannya adalah ketika
rekan-rekannya sesama guru juga memiliki kesadaran bahwa sekolah adalah bukan
ladang bisnis. Untuk menularkan pemahaman kepada para guru bahwa sekolah bukan
ladang bisnis, selama empat tahun terakhir ini Gino bersama FMGI giat
mengampanyekan penerimaan siswa baru secara transparan.
“Alhamdulillah, sekarang sudah jarang ditemukan sekolah
yang menerima siswa baru karena titipan pejabat tertentu. Selain
mengikutsertakan para guru, kami juga melakukan pemantauan penerimaan siswa
baru SD sampai SMA bersama-sama masyarakat,” kata Gino.
Gino mengungkapkan, sebelum penerimaan siswa baru dipantau
oleh FMGI dan masyarakat, jumlah siswa baru yang diterima di sekolah-sekolah
negeri di Lampung lewat “jalur siluman” mencapai 30 persen dari total
siswa yang diterima sekolah. “Jalur siluman” adalah istilah untuk
penerimaan siswa baru dengan cara memberi katebelece, uang sogok, dan jual beli
kursi.
Meskipun jumlah anggota FMGI tidak mencapai puluhan ribu,
kini FMGI cukup dikenal masyarakat karena kerja-kerja riilnya. Suatu ketika ada
seorang guru SD Negeri 1 Surabaya kecamatan Kedaton, Bandarlampung, dikeroyok
orang tua murid karena menegur siswa yang bandel.
Berkat advokasi yang dilakukan FMGI, guru tersebut akhirnya
mendapatkan perlindungan hukum dari polisi. Padahal, sebelumnya kepala sekolah
SD tersebut justru menyalahkan si guru, bahkan guru tersebut terancam ditahan
di kantor polisi karena difitnah telah melakukan kekerasan terhadap siswanya.
Menurut Gino, para guru harus dibela karena selama ini
sering mengalami ketidakadilan dan tindak kekerasan dari orang tua siswa dan
sekolah. “Yang paling sering mengalami ketidakadilan adalah para guru
honorer di sekolah-sekolah swasta. Saat ini,di Bandarlampung tidak ada satu pun
sekolah swasta yang mengangkat guru tetap. Pemilik yayasan lebih memilih
memakai sistem kontrak, karena kalau guru tidak mau menuruti aturan yayasan
sewaktu-waktu bisa dipecat,” kata Gino.
Empat tahun menjadi aktivis pendidikan, kini Gino tidak
hanya dikenal sebagai “pahlawan” bagi rekan-rekannya. Dia kini juga
dikenal di forum nasional karena kevokalannya. Bahkan, Federasi Guru Independen
Indonesia (FGII), sebuah gabungan 23 organisasi profesi guru independen di
beberapa daerah di Indonesia, mempercayai Gino sebagai ketua bidang advokasi
dan kerja sama antarlembaga.
Kevokalan Gino mengritik berbagai kebijakan di dunia
pendidikan pernah memancing ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muhammad
Surya melancarkan kritik. Dalam sebuah pertemuan di Jakarta, ketua PGRI
menyebut Gino Vanollie dan kawan-kawannya yang menggerakan FGII disebut sebagai
“arwah gentayangan” yang kerjanya menjadi provokator. Namun Gino bisa
berkelit dan mengritik balik ketua PGRI.
“Kalau saya dan kawan-kawan adalah para arwah
gentayangan, pertanyaan adalah siapa yang membuat kami menjadi arwah
gentayangan kalau bukan para pengurus organisasi profesi guru yang sudah
tua-tua tetapi tidak mau mundur?” ujar Gino kepada Surya.
Berkat kerja keras Gino dan para aktivis FMGI suara para
guru di Lampung kini juga sudah mulai didengarkan kalangan anggota DPRD dan
pejabat birokrasi. Buktinya, setiap tahun Gino selalu diundang untuk dimintai
masukannya tentang anggaran pendidikan yang ideal.
Meskipun bisa duduk satu meja dengan para anggota Dewan dan
pejabat birokrasi, Gino mengaku tetap bisa mengambil jarak sehingga bisa tetap
independen dan bebas melancarkan kritik.
Selain tetap meneruskan program advokasi bagi para guru yang
mengalami tindak kekerasan dan memantau penerimaan siswa baru, kini Gino
bersama FMGI sedang menyiapkan kerja besar, yaitu meningkatkan kemampuan
profesi para guru. Salah satunya adalah dengan memberikan beasiswa kepada para
guru yang golongan kepangkatannya sudah IVA dan tidak bisa naik lagi karena
tidak bisa membuat karya tulis.
Gino mengaku dia tidak hanya membela dan membantu para guru
yang tergabung dalam FMGI, tetapi semua guru. “Bagi saya omong kosong saja
pemerintah mau meningkatkan mutu pendidikan jika para guru kesejahteraannya
diabaikan sehingga banyak guru yang terpaksa jadi tukang ojek dan bekerja di
bidang lain karena sudah tak punya gaji,” ujarnya.

Kini Gino tidak lagi berdemo. Sejak beberapa tahun terakhir
dia menjawab sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Way Kanan, Lampung.
(Oyos Saroso HN)