Bombardir

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pada suatu acara akademik seorang sahabat doktor yang cukup senior, dengan ciri khas tidak pernah lepas dari topi haji dan beraksen banyumasan; mengajukan pertanyaan kepada mahasis...

Bombardir

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Pada suatu acara akademik seorang sahabat doktor yang cukup senior, dengan ciri khas tidak pernah lepas dari topi haji dan beraksen banyumasan; mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa dengan cara bertubi-tubi. Seorang rekan nyeletuk bertanya seperti itu sama halnya dengan tentara Rusia membombardir Ukraina. Sontak kami yang hadir tertawa; kecuali mahasiswa yang tampak pucat, karena tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan atau sanggahan yang diberikan untuknya.

Sebelum lebih jauh membahas; kita tilik terlebih dahulu apa makna dari bombardir itu. Hasil penelusuran kata ini berarti : menyerang, mengebom, menghujani dengan peluru. Dengan kata lain,makna bebasnya tergantung kepada konteks kalimat yang menyertai, atau kalimat yang mengusung kata itu, dan menempatkan sebagai apa. Bisa jadi dia sebagai subkek atau objek dalam lintasan kalimat, dan itu berarti memiliki makna yang berbeda.

Kita tinggalkan pencarian akar kata karena itu urusan para ahli bahasa; pada bahasan kali ini kita akan menggunakan sebagai kata kunci pada persoalan sosial yang ada di sekitar kita. Di antaranya adalah bagaimana kata ini dipikulkan kepada rakyat yang dibombardir oleh banyak persoalan, sementara pemimpinnya mulai mencari jurus menyelamatkan diri masing masing, atau justru melempar kesalahan itu kembali kepada rakyat.

Bisa dibayangkan bagaimana menangisnya rakyat, kelangkaan minyak goreng, bukan solusi oleh pejabat setingkat menteri yang menyelesaikan, justru rakyat disuruh merebus, atau membakar saja makanannya. Pemimpin seperti ini tidak menyadari bahwa kalimatnya melukai hati rakyat, karena tidak usah diajari mereka jauh lebih pandai hidup dengan sistem ekonomi subsistensi, meminjam istilah James Scott ahli ekonomi pertanian. Solar langka, Sopir yang juga rakyat itu disalahkan, kenapa harus pakai mobil solar, tidak mobil bahan bakar nonsolar. Manakala gas naik, juga disalahkan rakyat mengapa harus memasak pakai gas, sementara program gasisasi zaman M.Jusuf Kalla jadi Wapres memposisikannya sebagai proyek strategi nasional.

Itu belum selesai; masih ada lagi urusan yang semua dikaitkan dengan BPJS. Bayangkan, urusan untuk mendapatkannya saja sudah membuat sakit kepala. Semua posisi salah sudah dapat dipastikan ada pada rakyat. Lebih parah lagi jika ada yang menyeletuk “salahnya mengapa mau jadi rakyat”.

Bisa dibayangkan rakyat dibombardir dengan segala macam beban yang terkadang tidak tertanggungkan rasanya, sehingga penyimpangan sosial terkadang muncul kepermukaan, dan tidak dapat disalahkan jika ini membuat frustrasi sosial.

Hal di atas berlaku secara umum, akan lebih parah lagi jika ditelisik satu persatu profesi yang ada di negeri tercinta ini. Guru harus dibebani hal hal nonguru untuk mendapatkan tunjangan yang menjadi haknya, dan beban itu berasal dari lembaga lain yang tidak mengurusi guru, tetapi menentukan periuk nasi guru. Pegawai negeri sipil harus melaksanakan hal hal non keprofesiannya, untuk mendapatkan haknya sebagai pegawai, terkadang perintah yang diterima diluar nalar keharusannya.

Pedagang yang seolah dipermainkan dengan adanya subsidi, yang ternyata apa yang disubsidi justru diekspor keluar. Penimbunan barang terjadi dari lini hulu sampai hilir, karena jika tidak melakukan ini maka harga beli dan jual justru berbanding terbalik, atau rugi. Namun penimbun barang skala besar itu bukan kategori penimbun, akan tetapi distribusi yang belum dijalankan, aneh tapi nyata, dan ini diucapkan oleh pejabat dengan mimik tanpa dosa pada rakyatnya.

Pedagang kecil di pasar tradisional, dan itu adalah rakyat kecil, harus menanggung upatan dari pelanggannya yang juga rakyat kecil, karena harga harga seperti pemain akrobat yang jumping semaunya. Manakala ini dikeluhkan, jawaban standard sudah disiapkan karena mendekati bulan puasa konsumen meningkat, stok barang tetap. Pertanyaan balik, peristiwa seperti ini berlangsung sepanjang tahun, bahkan semenjak negeri ini merdeka, lalu apa tidak ada perencanaan sebelumnya oleh para pengambil kebijakkan.

Rakyat kecil seolah bola kaki, didekati saat diperlukan, dan dijauhi manakala tidak dibutuhkan. Ini dapat kita buktikan pada perhelatan “Pesta Demokrasi” katanya, maka semua bantuan dari sembako, ambal masjid, gorong-gorong, MCK, dan masih banyak lagi digratiskan untuk rakyat; namun itu semua ongkos sosial yang harus dikembalikan oleh rakyat kepada mereka yaitu berupa “memilih” mereka. Kita tidak mengenal politik uang, tetapi politik balas budi model Dowes Deker pada jamannya.

Belum lagi hak prerogratif atas nama lembaga untuk memberikan tumpuan suara pemilihan untuk orang yang dianggap mampu menjadi bumper pengaman; maka jadilah pemilihan jadi jadian, alias pemilhan sandiwara atau sandiwara pemilihan, sekedar untuk memperhalus penunjukkan; tentu saja korbannya yang ada di bawah. Benar apa yang dikatakan oleh Gunnar Myrdal pada teorinya yang berjudul “ Piramida Kurban Manusia”; bahwa risiko paling besar menanggung piramida kurban manusia itu adalah pada lapisan paling bawah.

Dengan kata lain, keberhasilan yang dicapai, dan diklaim oleh pemimpin, sejatinya yang dijadikan bantalan itu adalah mereka yang ada pada lapisan paling bawah. Menjadi persoalan seberapa besar penghargaan kita kepada mereka yang memikul beban paling berat di bawah sana. Kebanyakan hanya kesalahan mereka yang tampak, bukan prestasi yang telah mereka perbuat setiap hari.

Perkantoran, kampus, rumah sakit, pusat pusat layanan umum, bisa tampak apik dan bersih, akibat kerja keras para pramuwisma, dan pramukebun; namun begitu satu hari saja mereka tidak masuk, maka sumpah serapah dari atasan membombardir mereka, bak kata pepatah “kemarau setahun, hilang karena hujan sehari”. Jika ada saringan pengurangan pegawai, mereka inilah kelompok pertama yang terkena, sebaliknya jika ada pengangkatan pegawai untuk menjadi pegawai tetap, kelompok merekalah orang terakhir yang akan di lihat, dan belum tentu diangkat.

Ternyata bombardir Rusia kepada Ukraina itu dahsyat, tetapi lebih dahsyat lagi bombardir sosial yang menimpa rakyat. Sebab, mereka harus keluar dan bangkit sendiri dari keterpurukan jika terjadi kegagalan; bangun sendiri dari kehancuran yang menimpa mereka. Diakui ada tawaran kredit lunak dan atau sejenisnya, tetapi tidak ada makan siang gratis, semua memiliki ongkos sosial, dan jika tidak mampu mengembalikan, maka semua aset yang ada akan disita.  Dengan kata lain, dilucuti untuk dimiskinkan. Tesis pada teori ekonomi makro benar adanya bahwa makin kapitalis suatu sistem maka akan semakin menghujam ke bawah pembagian risiko sosialnya, dan ini berarti pundak rakyat kecil akan makin sejajar dengan badannya.

Menurut Dalang Wayang Purwa pada saat janturan (pembukaan mendalang): “Nagari gemah ripah loh jinawi toto tentrem lan raharjo”….(negara yang makmur aman dan sejahtera). Ya,  itu masih ada dalam cerita, belum pada alam nyata.

Selamat ngopi pagi….