Beras Mak Nyus Terasa Mak Nyos di Hati Petani

Oyos Saroso H.N.

Meskipun sama-sama menjadi bahasa sehari-hari di Kampung Margondil sejak zaman cindil abang, mak nyus bukanlah mak nyos. Mak nyus bisa bikin lidah enaks, sementara mak nyos akan membuat lidah terluka parah.

Mak nyos juga bisa membuat tangan, kaki, atau wajah kita terkena luka bakar yang tidak mudah sembuh. Kalau enggak percaya, Anda bisa mencoba merasakan nikmatnya bara api sebuah batangan besi yang dipanaskan lalu ditempelken di wajah, tangan, dan kaki.

Mak nyus adalah penggambaran nikmatnya makanan ketika masuk ke mulut dan dicecap indera perasa (lidah). Dalam bahasa Indonesia mak nyus berarti nikmat atau sedap. Dalam bahasa Jawa perlu tambahan partikel ‘mak’ untuk menggambarkan atau menjelaskan suatu keadaan.

Mak nyos juga menggambarkan suatu keadaan. Namun, berbeda dengan mak nyus, mak nyos merupakan keadaan terkait dengan panas api atau bara. Dalam praktik berbahasa sehari-hari, mak nyus, bahasa Jawa yang sudah ada sejak zaman cindil abang dan dipopulerkan penulis karya investigasi dan pakar kuliner Bondan Winarno itu dikacaukan dengan mak nyos.

Orang Jawa yang tahu asal-usul kata itu dan pernah praktik berbahasa Jawa tentu bisa membedakan mak nyus dengan mak nyos. Jadi, tidak mungkin sate padang ketika mampir di lidah rasanya mak nyos. Juga, tidak pas kalau air kopi panas yang diseruput hingga lidah melepuh disebut mak nyus. Tidak munkin pula panas pantat seterika yang tanpa sengaja nempel di tangan disebut mak nyus. Pantat seterika panas itu ketika menyentuh kulit hingga kulit melepuh pastinya mak nyos.

Berkat Pak Bondan Winarno, kata mak nyus akhirnya bisa melampaui batas wilayah dan etnis. Orang Batak pun kemudian bisa akrab dengan kata itu saat menikmati martabak mesir. Begitu Wong Kito (Palembang) saat menikmati kapal selam dan Warung Mpek-Mpek Mak Ijah.

Kata mak nyus nan ajaib itu juga membawa berkah lain: banyak pemilik usaha kuliner menamakan jualannya dengan memakai cap “Mak Nyus”. Misalnya “Satai Mak Nyus Kambiing Muda”, “Martabak Arab Mak Nyus”, atau “Pempek Mak Nyus Wong Kito Galo”. Ada juga yang secara tata bahasa Jawa salah: misalnya “Mie Pangsit Mak Nyos”, “Kafe Mak Nyos Iclik Kiwir”, atau “Rujak Tahu Mak Nyos”.

Para pebisnis kuliner barangkali layak berterima kasih kepada Pak Bondan. Bahkan mungkin para kepala daerah juga pantas memberi penghargaan khusus Pak Bondan karena yang berkat mak nyus-nya membuat bisnis kuiner marak. Juga bisnis beras yang sumber berasnya berasal dari petani.

Para peani yang menguras keringat dan main lumpur cukup menjual padinya dengan harga murah kepada tengkukak, pemain beras, dan mak brengoh. Namun, di pasar beras kuliatas sedang pun harganya menyundul langit. Di pasar modern (swalayan) bahkan harga beras bikin langit jebol karena bisa dua kali lipat lebih dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

…

***

Hati saya terasa mak nyos ketika membaca berita Direktorat Tindak Pidana Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri menggerebek gudang beras PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi. Dari gudang beras itu mereka memproduksi beras merek Maknyus dan Cap Ayam Jago di alan Rengas Km 60, Karangsambung, Bekasi pada Kamis sore, 20 Juli 2017. Polisi menyita 1.161 ton di gudang tersebut.

Penggerebekan dilakukan karena perusahaan pemilik gudang itu diduga memanipulasi harga beras. PT Indo Beras Unggul yang merupakan anak usaha dari PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) itu diduga telah mengubah gabah yang dibeli seharga Rp4.900 dari petani dan menjadi beras bermerek.

“Berdasarkan hasil penyidikan diperoleh fakta bahwa PT IBU melakukan pembelian gabah ditingkat petani sebesar Rp. 4.900,” kata Dirtipideksus Bareskrim Brigjen Agung Setya, Jumat (21/7).

Berapa beras Mak Nyus dijual di pasaran? Bisa mencapai Rp 13.700 – Rp20.400!

***

Penasaran siapa pemilik perusahaan itu, saya pun berselancar di rumah Mbah Google. Hasilnya cukup mengejutkan. Dua nama besar bertengger sebagai komisaris di perusahaan itu: Anton Apriantono (mantan Menteri Pertanian) dan Bondan Winarno (pakar kuliner dan penulis senior).

Kini, setiap menikmati nasi pulen yang terasa enak di lidah saya selalu teringat senyum Pak Bondan Winarno di layar kaca.

Senyum itu terasa mak nyos dan mengejek para petani padi….