Batu Nisan
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Sebagai umat manusia yang menjaga tradisi baik dari para leluhur; menjelang memasuki akhir bulan suci ramadhan beberapa waktu lalu, bersama si sulung saya mengadakan kunjungan “nye...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Sebagai umat manusia yang menjaga tradisi baik dari para leluhur; menjelang memasuki akhir bulan suci ramadhan beberapa waktu lalu, bersama si sulung saya mengadakan kunjungan “nyekar” ke makam keluarga atau lazim disebut ziarah kubur. Berderet nisan dijumpai di sana dengan berbagai ornamen.
Menurut tafsir sejarah, batu nisan tidak identik dengan agama. Ia hanya ornamen yang ditampilkan serta arah posisi saja sebagai penciri; dan lebih kepada budaya. Oleh sebab itu, “penanda” ini konon lebih banyak ada di luar Jazirah Arab. Wallahualam.
Untuk Indonesia, kekentalan warna budaya ini juga berkelindan dengan peninggalan penanda kubur para penjajah yang ada di Indonesia. Ini dibuktikan dengan berseraknya di banyak tempat bekas kuburan Belanda; bahkan untuk beberapa daerah dijadikan destinasi wisata.
Leluhur kita memandang kuburan bukan sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Bila kuburan dianggap sepele, tidak mungkin para cendekiawan Jawa masa lampau menelurkan sinonim kuburan lebih dari lima, yakni kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan. Lebih lanjut ada catatan yang lebih lawas, Babad Tanah Jawa, juga melukiskan kesakralan makam sebagai pusaka keraton hal itu dibuktikan dari nukilan berikut: “Betapa sedihnya hati saya bahwa semua pusaka telah diambil oleh putra Sang Raja (Amangkurat Mas). Tetapi, saya tahu bahwa sekalipun semua barang pusaka yang lain pun diambil, namun kalau saja Masjid Demak dan Makam Adilangu tetap ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati Tanah Jawa”.
Hal itu menunjukkan bagaimana orang Jawa masa itu begitu memposisikan antara masjid dan makam. Oleh sebab itu tidak aneh jika masjid peninggalan masa masa itu di kiri kanan nya ada makam dengan diberi batu nisan sebagai penanda, untuk orang orang saleh pada jamannya atau para pembangun dan atau penyebar agama saat itu.
Sebagai contoh, karena terlalu lekatnya relasi antara agama dengan makam, kakek moyang kita tak segan pula menaruh makam berdekatan dengan ruang sembahyang. Lihat saja di sekitar masjid Kota Gede Yogjakarta, di sama disemayamkan jasad para peletak dasar kerajaan Mataram Islam, yakni Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Sunan Seda ing Krapyak. Selain itu, dijumpai pula makam Sultan Hamengku Buwana II, Pangeran Adipati Pakualam I, serta sejumlah besar makam keluarga raja Mataram lainnya.
Ada satu pesan filosofis yang menarik dengan adanya Batu Nisan, yaitu adanya “tetenger” (penanda) informasi siapa yang dikebumikan di sana, biasanya juga disertai penanda lahir dan penanda wafatnya. Bisa raja, bisa ilmuwan penting bergelar, atau bangsawan; namun hanya batas itu saja derajat dunia tadi ditorehkan; adapun jasad yang ada di liang lahat tidak membawa itu semua, kecuali hanya kain kafan. Perlambang ini menunjukkan kepada kita semua sebagai peringatan, apapun yang kita capai di dunia ini, namun selesai hanya pada torehan batu nisan, semua urusan dunia selesai di sana, dan tidak ada satupun yang di bawa masuk ke lubang kubur. Gelar berpanjang-panjang pun akan selesai dengan satu kata almarhum atau almarhumah.
Semua itu menunjukkan bahwa kaparipurnaan hidup manusia itu ada pada liang lahat. Lahir di dunia sama, tanpa selembar apapun; kemudian kembali hanya berbekal kain kafan pembungkus jasad. Dengan kata lain kekayaan berlamalama di dunia hanya kain kafan itulah yang diperoleh; adapun semua yang ada dan diperoleh tidak akan di bawa. Berapapun usia kita hanya lembaran kain putih itu saja yang di dapat. Kain kafan itupun akan hancur pada waktunya, terakhir serakan tulang belulang yang juga akan menjadi tanah sesuai kodratnya.
Bekal secara fisik itu semua kita dapat memenuhinya, pertanyaan tersisa adakah bekal lain yang harus dipersiapkan. Jawabannya adalah ada, yaitu amal saleh sesuai yang diajarkan oleh agama kita masing masing. Indikator orang saleh itu banyak tersebar dalam kitab suci kita, dan itu bukan domain dari tulisan ini. Justru yang menjadi pertanyaan siapkah kita untuk menjadi orang sholeh atau orang baik, itu memerlukan jawaban tidak mudah, karena ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan dalam bersikap sebagai orang sholeh; diantaranya dari sekian yang ada paling tidak ada empat besar menurut para ahli sufi yaitu: Pertama, siap untuk disakiti; karena orang sholeh itu selalu mendahulukan orang lain. dalam konsep kebahagiannya ia tidak menyediakan untuk dirinya sendiri, kecuali hanya sedikit.
Kedua, siap untuk ditipu; karena orang sholeh selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya. Dia tidak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yang ia pandang penyayang mampu menghianatinya. Ketiga, siap untuk dihina, karena orang sholeh tak pernah diberi kesempatan membela dirinya. Ia hanya harus menerima, meskipun bukan ia yang memulai perkara. Keempat, siap untuk meneteskan air mata; karena orang sholeh tidak ingin membagi kesedihan. Dia terbiasa mengobatai diri sendiri dengan selalu berserah diri kepada Sang Maha Pencipta, karena dia amat yakin bahwa kesedihan itu adalah bahagian lain dari kegembiraan.
Memang betul apa yang dikatakan para bijak bahwa “Orang yang hidupnya paling tenang adalah dia yang tak pernah ikut campur urusan hidup orang lain”. Sebab, persoalan hidup yang sebenarnya adalah setelah kematian; sebab tidak ada satupun diantara kita yang mampu mengetahui kapan kematian itu akan datang, dan persoalan apa saja yang harus kita hadapi, hanya iman kita yang mampu memberikan bekal untuk menjumpainya.
Selamat ngopi pagi.