Tidak Makan Ikannya tapi Dapat Baunya

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Akhir-akhir ini banyak kita jumpai “ketoprak humor kehidupan”; yang menampilkan ketidakadilan sekaligus ketimpangan. Mereka yang tidak berbuat jahat, namun karena dinilai menghalangi hasrat kem...

Tidak Makan Ikannya tapi Dapat Baunya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Akhir-akhir ini banyak kita jumpai “ketoprak humor kehidupan”; yang menampilkan ketidakadilan sekaligus ketimpangan. Mereka yang tidak berbuat jahat, namun karena dinilai menghalangi hasrat kemauan pemegang kuasa dalam mencapai kehendak, maka bisa jadi perbuatan itu di-jahat-kan. Dan, tentu dicarikan aturan atau pasal hukum yang bisa menghukum. Ada lagi yang lebih seru; mereka yang sekolah serius, dengan biaya mahal, waktu panjang. Namunkarena penyelenggaranya tidak sejalan dengan tongkat yang dipegang deregen sosialnya, maka ujian bisa di tunda atau malah tidak diakui, bahkan tidak dilaksanakan. Maka, bersiaplah uang habis besi binasa, umur bertambah, masa depan tidak jelas.

Masih panjang lagi peristiwa-peristiwa kehidupan akhir-akhir ini jika kita perpanjang daftarnya. Banyak kejadian yang mereka tidak memakan ikannya tetapi terkena bau amisnya. Bisa jadi palu godam dijatuhkan hanya karena ketidaksukaan. Lebih parah lagi, keputusan bersalahnya karena tidak menutup hidung saat bau amis itu berembus. Tulisan ini  mencoba menelisik dari sisi-sisi kehidupan yang berserak di sekitar kita.

Ungkapan “Tidak makan ikannya tetapi kena baunya”, meskipun sederhana memiliki daya ledak filosofis dan politis yang luar biasa. Ia menggambarkan realitas sosial yang kerap kali kita alami: kita tidak mengambil bagian dalam sebuah keputusan, tidak menikmati hasil dari suatu kebijakan, bahkan tidak terlibat dalam perbuatannya, tetapi tetap harus menanggung akibatnya. Dalam bahasa filsafat, ini menyentuh pada tema ketidakadilan struktural, distribusi beban sosial yang timpang, dan penghilangan tanggung jawab elite terhadap penderitaan publik.

Mari kita berpikir sejenak mengapa dalam banyak aspek kehidupan di negeri ini, orang-orang yang tidak pernah makan “ikannya” justru paling sering dipaksa mencium “baunya”. Inilah wajah keseharian rakyat kecil: menanggung konsekuensi dari keputusan yang mereka tidak buat.

Kebijakan publik kerap dirancang dari perspektif mereka yang sudah berada di atas. Mereka yang duduk di kursi empuk parlemen atau kementerian lupa bahwa mayoritas warga tidak punya privilege yang sama. Maka lahirlah kebijakan yang tidak adil, dan rakyat kecil yang tidak makan ikan itulah yang tetap harus menanggung amisnya.

Filsuf Prancis, Emmanuel Levinas, berbicara tentang konsep wajah dalam filsafat etika. Bagi Levinas, etika dimulai saat kita melihat wajah orang lain; karena di sana kita menemukan tanggung jawab yang tak bisa ditolak. Tetapi dalam masyarakat modern kita, wajah-wajah penderitaan seringkali tak terlihat. Mereka tenggelam dalam statistik. Mereka direduksi menjadi “data kemiskinan”, “angka pengangguran”, “kategori penerima bansos”. Dan ketika wajah dihapus, maka tanggung jawab pun ikut menguap.

Inilah mengapa banyak elite politik bisa dengan ringan menyalahkan rakyat karena “kurang bersyukur”, “tidak produktif”, atau “tidak melek teknologi”, padahal merekalah yang menciptakan kondisi struktural yang memiskinkan rakyat tersebut.

Salah satu dampak dari ketidakadilan yang terus-menerus adalah sinisme. Ketika rakyat terus mencium amis, tanpa pernah mendapat keadilan, mereka mulai kehilangan kepercayaan: pada hukum, pada pemerintah, bahkan pada sesama. Tapi sinisme ini tidak boleh dibiarkan menjadi apatisme. Ia harus diubah menjadi kesadaran kritis. Dalam pemikiran Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang membuat manusia menyadari ketimpangan  dan menuntunnya untuk bertindak. Artinya, kita harus belajar membaca realitas, menggugat sistem, dan menyusun solidaritas. Mengeluh itu wajar. Tapi berhenti pada keluhan adalah kegagalan. Kita butuh perubahan struktural, bukan hanya reformasi kosmetik.

Sebuah pertanyaan penting yang jarang diajukan adalah: siapa yang selalu makan ikan, tapi tidak pernah mencium baunya? Jawabannya: mereka yang berkuasa. Mereka yang membuat keputusan tapi tidak menanggung risikonya. Mereka yang duduk di balik meja rapat, membagi proyek, menetapkan harga, memotong anggaran, dan memberi sanksi, akan tetapi tetap nyaman dalam pelindung sosialnya. Mereka punya pengacara, koneksi, dan akses media. Bahkan, jika salah mereka bisa menyulap narasi. Ini bukan sekadar persoalan individu. Ini persoalan sistem dan struktur. Ketika kekuasaan tidak disertai dengan tanggung jawab moral, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan. Dan rakyatlah yang sekali lagi mencium amisnya.

Dalam konteks ini, mencium amis menjadi bentuk kesaksian. Kita mungkin tidak punya kuasa untuk mengubah segalanya. Tapi kita punya hak untuk bersuara, untuk menolak menjadi korban diam, dan untuk berdiri bersama mereka yang selama ini dipaksa menanggung beban sendirian.

Opini ini bukan seruan revolusi. Ini hanya ajakan sederhana: mari kita mulai melihat bau amis itu bukan sekadar nasib, tapi sebagai akibat dari sesuatu yang seyogyanya bisa kita ubah. Dan perubahan itu dimulai saat kita menolak untuk terus mencium bau yang bukan milik kita; dan mulai meminta pertanggungjawaban dari mereka yang sesungguhnya makan ikannya. Memang tampaknya itu sulit, namun tidak ada kesulitan yang tidak ada jalan keluarnya.

Salam waras.